Skip to main content
  • Administrator

BPOM: Paparan BPA di 4 Daerah Melebihi 100 Persen

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sedikit demi sedikit mulai mengungkap rincian hasil dari uji post-market terhadap migrasi BPA pada produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) galon polikarbonat pada 2021. Setelah sebelumnya hanya menyatakan hasil uji tersebut cukup mengkhawatirkan, BPOM, melalui Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi Bahan Baku Standar Pangan Olahan, Yeni Restiani mengungkap bahwa TDI (tolerable daily intake—jumlah asupan senyawa kimia yang aman bagi manusia dalam jangka panjang) BPA di empat kabupaten/kota ternyata telah melebihi angka 100 persen, atau melampaui ambang batas aman 4 mikogram per kilogram berat badan per hari.

Pengungkapan ini tentu saja sangat mengkhawatirkan, apalagi sampel BPOM adalah kelompok bayi (6-11 bulan) dan anak-anak (1-3 tahun).

“Kajian kami menunjukan empat kabupaten/kota paparannya sampai 159 persen,” kata Yeni dalam sebuah workshop tentang bahaya BPA di Jakarta pada Kamis, 8 November 2022. “Ini (kajian) sudah menunjukan bahwa memang ada risiko bahaya (dari BPA).”

BPA adalah singkatan dari Bisfenol A, salah satu senyawa kimia pembentuk (monomer) dalam proses produksi polikarbonat—salah satu jenis plastik yang kita kenal dengan karakternya yang keras dan kuat. Hampir 70 persen produksi BPA digunakan untuk membuat polikarbonat sementara 30 persen sisanya untuk menghasilkan resin epoksi (material pelapis kaleng agar tak berkarat).

Sebagian besar polikarbonat diproduksi untuk menjadi kemasan wadah pangan olahan, baik makanan maupun minuman. Salah satunya adalah galon air minum. Hampir 90 persen galon air minum dalam kemasan (AMDK) dibuat dari polikarbonat.

Dampak kesehatan BPA bagi manusia telah menjadi isu dalam banyak riset ilmiah. Ini karena BPA merupakan xenoestrogen, kelompok senyawa kimia yang meniru aktivitas estrogen di dalam tubuh sebagai pengganggu endokrin (endocrine-disrupting chemical) atau sistem hormonal.

Estrogen sendiri adalah hormon yang berperan dalam perkembangan sistem reproduksi manusia. Alhasil, BPA kerap dikaitkan dengan gangguan sistem reproduksi (seperti kemandulan), kelainan pada janin, risiko penyakit kardiovaskular, dan bahkan kanker.

Meskipun efek tersebut tidak dirasakan segera, paparan BPA dalam jangka panjang dinilai mengkhawatirkan. Lembaga kesehatan di banyak negara telah meneliti BPA, tak terkecuali Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Beberapa negara dan wilayah kemudian mengambil langkah untuk mengurangi paparan BPA, dengan melarang penggunaannya sama sekali atau memberi peringatan akan risikonya.

Menurut Yeni, setidaknya empat negara dan negara-bagian sudah melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan, yaitu Perancis, Brazil, Negara Bagian Vermont (Amerika Serikat), dan Negara Bagian South Carolina (Amerika Serikat). Negara Bagian California (Amerika Serikat) tidak melarang tapi mewajibkan pencantuman label peringatan tentang risiko BPA pada kemasan plastik polikarbonat atau kaleng yang dilapisi resin epoksi dan pada rak di toko-toko ritel.

Sementara itu, Uni Eropa menempuh langkah menetapkan ambang batas aman migrasi BPA (perpindahan BPA ke bahan pangan) sebesar 0,05 bpj (bagian per juta). Ambang batas itu jauh lebih kecil daripada yang ditetapkan BPOM, yakni 0,6 bpj.

Begitupun, hasil pengawasan BPOM (berupa uji post-market) menunjukkan ada 3,4 persen sampel di sarana distribusi yang tingkat migrasi BPA-nya sudah melampaui 0,6 bpj. “Yang 3,4 persen ini berarti sudah tidak memenuhi syarat, sudah melanggar regulasi,” ujar Yeni.

Sementara itu, dalam rentang migrasi 0,05 bpj (ambang batas aman standar Eropa) hingga 0,6 bpj (ambang batas aman standar Indonesia), ditemukan 46,97 persen di sarana distribusi dan 30,91 persen di sarana produksi. “Jadi, dari hasil pengawasan kami, migrasi BPA di sarana distribusi lebih tinggi jika dibandingkan dengan di sarana produksi,” kata Yeni.

Yeni bilang, kondisi tersebut bisa terjadi karena faktor perlakukan terhadap galon atau kemasan polikarbonat. Pencucian yang menggunakan air pada suhu lebih daripada 75 derajat celcius dan sikat yang terlalu keras bisa meningkatkan potensi migrasi BPA. “Penyimpanan yang tidak tepat, seperti terkena sinar matahari langsung atau dekat dengan benda berbau tajam, juga bisa mengakibatkan migrasi BPA.”

Berdasarkan analisis terhadap hasil uji post-market itulah, menurut Yeni, BPOM sejak akhir November 2021 memutuskan untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Revisi itu antara lain berisikan kewajiban bagi perusahaan AMDK yang menggunakan galon polikarbonat untuk mencantumkan tulisan “Berpotensi Mengandung BPA” paling lambat dua tahun setelah revisi itu disahkan.

Sayangnya, revisi itu hingga kini tak kunjung disahkan oleh pemerintah. Pihak industri AMDK yang diwakili Aspadin menolak revisi peraturan tersebut. Aspadin mengklaim revisi peraturan itu bersifat diskriminatif karena hanya menyasar industri AMDK, padahal BPA juga digunakan industri pangan lain (misalnya sebagai pelapis pada kaleng wadah pangan).

“Kenapa dipilih AMDK karena memang produk AMDK banyak dikemas dalam polikarbonat,” kata Yeni menanggapi respons pihak industri. “Berdasarkan data registrasi pangan olahan hingga pertengahan 2022, ada sekitar 90 persen AMDK yang dikemas dalam polikarbonat.”

Lebih jauh, Yeni menyatakan kebijakan merevisi peraturan itu ditempuh BPOM karena adanya potensi negatif bagi kesehatan masyarakat. “Ini upaya mitigasi risiko yang dilakukan pemerintah,” katanya. “Revisi itu juga mendorong pelaku usaha untuk berinovasi sehingga menghasilkan produk yang aman dan bermutu.”[]

BPA, BPOM, paparan BPA