
Memikirkan Kembali Budaya Gelas dan Cangkir Kopi Kita
Seringkali kita mengabaikan betapa cepatnya kita membuang gelas sekali pakai tanpa mempertimbangkan kerusakan lingkungan jangka panjang, yang mencakup pelepasan mikroplastik dan polutan lainnya selama penguraian yang lambat.
Banyak tempat kerja yang menyediakan kopi berkualitas tinggi. Banyak orang juga sering mengunjungi kafe setidaknya sekali setiap pekan, menikmati minuman yang dibuat. Minuman ini bisa berupa latte Starbucks, minuman dingin Dunkin’s, atau chai dari kafe lokal, yang biasanya disajikan dalam cangkir sekali pakai, baik itu kertas, plastik, atau busa polistiren (biasanya dikenal sebagai styrofoam). Gelas-gelas ini mudah dilupakan setelah dibuang, namun jejak lingkungannya terus berlanjut.
Namun, untungnya, tren ini bergeser dengan semakin banyaknya orang yang membawa cangkir atau mug berinsulasi yang dapat digunakan kembali. Kedai-kedai kopi juga beradaptasi, menerima minuman yang dituangkan ke dalam cangkir pribadi pelanggan. Starbucks, misalnya, baru-baru ini menerapkan kebijakan “bawa cangkir Anda sendiri” (BYOC: bring your own cup), yang diperluas hingga ke drive-through dan pemesanan melalui aplikasi seluler. Ini mencerminkan keprihatinan yang semakin besar terhadap cangkir kopi sekali pakai.
Dampak lingkungan dari satu cangkir sekali pakai sangat signifikan. Basu dan Papadopoulos, dua profesor di Kent School of Business, menyoroti seluruh siklus hidup cangkir-cangkir ini, mulai dari pembuatan hingga pembuangannya. Semua proses itu membutuhkan energi yang cukup besar dan berkontribusi kepada kerusakan lingkungan. Penguraian bertahap dari gelas-gelas ini, terutama yang memiliki lapisan plastik, menghasilkan mikroplastik yang masuk ke lingkungan. Jika dibakar, mereka dapat melepaskan polutan udara yang berbahaya.
Gelas sekali pakai pertama terbuat dari kertas, yang muncul selama epidemi flu Spanyol pada 1918 sebagai solusi minum yang sehat. Namun, kedai kopi kemudian beralih ke busa polistiren atau styrofoam pada 1960-an karena sifat retensi panasnya. Amerika Serikat kini memproduksi sekitar 3 juta ton polistiren per tahun, dengan 80% di antaranya berakhir sebagai limbah, termasuk sekitar 25 miliar cangkir. Jumlah ini menyumbang sebagian besar ruang tempat pembuangan akhir (TPA), dan polistiren membutuhkan waktu sekitar 500 tahun untuk terurai. Produksi satu gelas styrofoam juga menghasilkan sekitar 33 gram CO2 – jumlah kecil yang terakumulasi secara signifikan dalam jumlah besar gelas yang diproduksi.
Basu dan Papadopoulos menunjukkan risiko lingkungan dan satwa liar yang terkait dengan busa polistiren, dengan mencatat bahwa busa polistiren tidak dapat terurai secara alami dan berpotensi merusak ekosistem. Ketika terurai, busa polistiren melepaskan bahan kimia ke lingkungan, termasuk zat-zat karsinogen, seperti benzena dan stirena. Hal ini telah menyebabkan pelarangan terhadap styrofoam di berbagai kota dan negara bagian, dan penurunan penggunaannya oleh gerai makanan dan minuman.
Pembicaraan tentang gelas sekali pakai juga mencakup plastik, meskipun lebih jarang digunakan untuk minuman panas. Terbuat dari polipropilena (PP) atau polietilena tereftalat (PET), dan semakin banyak yang terbuat dari bioplastik seperti asam polilaktat, gelas-gelas ini berkontribusi kepada masalah lingkungan. Penguraian plastik yang lambat menyebabkan mikro dan nanoplastik mencemari lingkungan dan tubuh kita. Basu dan Papadopoulos menekankan risiko ekologi dan kesehatan yang ditimbulkan oleh plastik, dengan sebagian besar berakhir di lautan.
Gelas kertas mulai kembali dipopulerkan pada 1980-an oleh Starbucks untuk minuman khusus, tapi tetap memiliki biaya lingkungan yang tersembunyi. Basu dan Papadopoulos mencatat bahwa meskipun gelas kertas dapat terurai secara alami, gelas kertas seringkali mengandung lapisan plastik yang mempersulit daur ulang dan masih dapat melepaskan mikroplastik. Produksi gelas kertas juga memiliki dampak lingkungan yang signifikan, termasuk deforestasi dan emisi CO2.
Mengatasi krisis gelas sekali pakai membutuhkan lebih daripada sekadar inisiatif yang dilakukan oleh perusahaan. Rachel A Meidl dari Rice University’s Baker Institute menyarankan pendekatan yang komprehensif, dengan mempertimbangkan seluruh siklus hidup produk dan tidak hanya berfokus pada metrik tunggal seperti emisi. Dia juga memperingatkan klaim yang menyesatkan tentang kemampuan terurai secara alami oleh beberapa produk.
Solusi yang paling efektif adalah menggunakan cangkir yang dapat digunakan kembali. Memilih termos pribadi atau cangkir keramik secara signifikan dapat mengurangi limbah. Namun, penting untuk diingat bahwa cangkir yang dapat digunakan kembali pun memiliki dampak lingkungan, baik dalam produksi maupun melalui proses pencucian. Kuncinya adalah menggunakannya cukup sering untuk mengimbangi jejak karbon mereka sendiri, dan mengurangi kebutuhan akan banyak cangkir.[]
Sumber:
Nowell, Cecilia. 2024. “The Disposable Cup Crisis: What’s the Environmental Impact of a To-Go Coffee?” The Guardian, January 22, 2024, sec. Environment. https://www.theguardian.com/environment/2024/jan/22/disposable-coffee-cups-environmental-impact.