Transparansi Produk Makanan: Kunci Loyalitas Konsumen Masa Kini
Transparansi dalam produk makanan kini menjadi keinginan yang semakin meningkat di kalangan konsumen. Laporan yang dirilis oleh sebuah firma riset, Response Media, menunjukkan bahwa 99 persen orang menginginkan transparansi pada makanan segar, 98 persen pada makanan kemasan, dan 70 persen dari mereka seringkali dipengaruhi oleh transparansi saat membeli produk makanan. Menurut media Food Dive, “transparansi” menjadi kata kunci utama yang sedang populer di industri makanan belakangan ini.
Sebagai respons terhadap permintaan konsumen ini, produsen mulai menerapkan praktik yang lebih berkelanjutan, serta meningkatkan penjualan makanan organik dan yang berasal dari sumber-sumber bahan baku lokal. Beberapa perusahaan besar seperti McDonald’s, Starbucks, dan KFC pun turut membuat komitmen baru dalam penyediaan sumber bahan baku.
Transparansi makanan merupakan konsep penting yang melibatkan penyediaan informasi kepada konsumen tentang bahan baku, sumbernya, proses produksi, dan keberlanjutan suatu produk. Hal ini kini menjadi kian penting seiring meningkatnya kesadaran konsumen tentang dampak pangan terhadap kesehatan dan lingkungan.
Namun, pengawasan otoritas makanan dan obat-obatan (seperti FDA di Amerika Serikat atau BPOM di Indonesia) terbatas pada keamanan dan kemanjuran produk makanan dan obat-obatan, sementara detail lebih lanjut seperti praktik berkelanjutan tidak termasuk dalam jurisdiksi mereka. Inovasi teknologi dalam industri makanan telah mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan kembali berbagai pertanyaan menantang tentang regulasi dan pelabelan. Sebagai contoh, kini ada perdebatan tentang apakah “daging” yang dihasilkan di dalam laboratorium harus diberi label sebagai “daging” atau apakah otoritas pengaturannya berada di bawah BPOM atau kementerian pertanian.
Laporan tren makanan dan minuman dari firma riset pasar Mintel pada 2018 menempatkan transparansi sebagai tren nomor satu. Ini menunjukkan betapa pentingnya aspek ini bagi konsumen. Teknologi yang semakin canggih dalam manufaktur makanan, seperti daging produksi laboratorium dan GMO menduduki peringkat kelima dalam laporan tersebut. Industri makanan kemudian dihadapkan pada tantangan baru untuk menjadikan transparansi dan keterlacakan produksi mereka sebagai salah satu prioritas utama.
Untuk menjawab tantangan ini, produsen, dan termasuk pengecer, dituntut untuk membuat transparansi dan keterlacakan tadi menjadi lebih mudah diakses oleh semua kalangan konsumen, terlepas dari tingkat pendapatan mereka. Hal ini akan memungkinkan konsumen untuk membuat keputusan yang lebih baik atas dasar informasi yang lebih jelas tentang produk yang mereka beli, sehingga menciptakan pasar yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua pihak.
Survei yang dilakukan oleh Label Insight menunjukkan bahwa 94 persen konsumen menganggap penting bagi suatu merek untuk transparan tentang makanan mereka dan cara bagaimana diproduksi. Meskipun demikian, hanya 12 persen konsumen yang menilai produsen sebagai sumber informasi paling tepercaya tentang makanan mereka, sementara 20 persen lebih mempercayai informasi yang diberikan oleh pemerintah.
Namun, sebanyak 67 persen konsumen tetap percaya bahwa menyediakan informasi merupakan tanggung jawab merek dan produsen. Lebih daripada sepertiga di antara mereka juga siap untuk beralih merek jika merek yang mereka gunakan saat ini kurang transparan.
Menurut Snacking Trends Reports, generasi milenial semakin mempertimbangkan dampak makanan yang akan mereka konsumsi pada diri mereka, masyarakat, dan planet saat membuat keputusan untuk membeli. Mereka membutuhkan bukti dampak positif dari suatu merek dan tidak hanya menerima klaim perusahaan begitu saja. Oleh karena itu, merek harus membuktikan bagaimana mereka memberi dampak positif kepada diri konsumen, masyarakat, dan juga lingkungan.
Namun, seiring dengan permintaan transparansi informasi oleh konsumen, kemampuan konsumen untuk mengakses dan mengelola informasi produk makanan secara rinci dan proporsional belum berimbang. Salah satu tantangan yang dihadapi adalah masih banyaknya label yang ambigu, seperti “alami”, “bebas antibiotik”, atau “organik”. Label-label seperti ini bisa membingungkan konsumen dalam memahami artinya. Hal ini juga membuat konsumen sulit untuk menilai produk dengan benar dan membuat keputusan yang tepat saat membeli.
Untuk mengatasi masalah ini, FDA sedang mengerjakan "Strategi Inovasi Nutrisi" yang bertujuan untuk mendesain ulang label nutrisi dan mendefinisikan arti sebenarnya dari label "alami". Diharapkan dengan adanya perubahan ini, konsumen dapat lebih mudah memahami informasi yang disajikan oleh merek dan membuat keputusan yang lebih baik dalam memilih produk makanan yang mereka konsumsi.
Kepercayaan kini menjadi “mata uang” baru dalam loyalitas merek bagi generasi milenial. Generasi konsumen yang baru ini menginginkan pengetahuan bahwa makanan yang mereka makan memberi manfaat, baik bagi diri mereka maupun lingkungan, dan mengharapkan informasi tersebut disediakan langsung oleh produsen, dan bukan oleh pemerintah.
Transparansi mungkin bukan sesuatu yang murah, tetapi produsen makanan harus menyesuaikan model bisnis mereka agar dapat mempertahankan loyalitas pelanggan. Hal ini menjadi kabar baik bagi merek yang bersedia menyediakan transparansi karena mereka akan berhasil menguasai pangsa pasar yang semakin besar. Jika merek makanan tidak ingin kehilangan lebih dari sepertiga pelanggan mereka, mereka harus segera memenuhi tuntutan yang berubah dari konsumen.[]
Sumber:
Chater, Alexina. “The Bottom Line or Consumer Demand-Which Is Driving Food Transparency?”. NYC Food Policy Center. 21 Februari 2019. https://www.nycfoodpolicy.org/the-bottom-line-or-consumer-demand-which-is-driving-food-transparency/.