Lihat Baterai, Ingat Bahan dan Proses Produksinya
Demi energi yang lebih bersih, dunia beralih kepada baterai. Hampir seluruh peralatan sehari-hari manusia modern ditenagai oleh baterai. Dari mulai peralatan kerja, hiburan, kendaraan, hingga perawatan pribadi, nyaris semuanya menggunakan baterai agar bisa berfungsi—baik itu baterai sekali pakai maupun yang dapat diisi kembali.
Alhasil, baterai mudah ditemui di toko-toko kelontong atau pengecer. Ia sudah menjadi barang kebutuhan sehari-hari.
Namun, baterai hadir bukan tanpa masalah, apalagi ketika mereka mati, rusak, atau usang. Kita tak bisa dengan mudah membuang baterai tak terpakai ke tempat sampah begitu saja.
Di sejumlah negara, ada aturan yang melarang orang membuang baterai ke tempat sampah. Indonesia juga memiliki aturan mengenai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), termasuk baterai. Dalam aturan itu, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 diwajibkan untuk melakukan pengelolaan.
Namun, aturan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 itu kurang disosialisasikan, terutama kepada konsumen. Selain tidak begitu mengetahui bagaimana menangani limbah baterai, kita juga kurang memperoleh informasi terkait lokasi pengepulan baterai tak terpakai sebelum kemudian diserahkan kepada pengelola limbah B3 yang sudah mendapatkan izin.
Yang pasti, kita tak bisa membuang limbah baterai sembarangan. Kita harus memisahkannya dari jenis sampah lain dan menyimpannya di wadah khusus.
Limbah baterai sebenarnya bisa didaur ulang. Tapi, sejauh ini pencapaian daur ulangnya sangat kecil. Sierra Club, sebuah organisasi lingkungan di Amerika Serikat, memperkirakan kurang dari 10 persen limbah baterai yang didaur ulang dari sekitar 5 miliar baterai yang dibeli di negara itu setiap tahunnya.
Baterai, entah itu baterai standar alkaline AA pada remot televisi kita, baterai hidrida logam-nikel yang dapat diisi ulang pada ponsel kita, ataupun baterai sel-basah pada kendaraan kita, semuanya mengandung bahan kimia beracun, seperti kadmium, timah, seng, mangan, nikel, perak, merkuri, dan litium. Adonan semua bahan kimia itu membuat limbah baterai mesti dibuang atau didaur ulang secara aman dan bijak. Meskipun tampaknya hanya tindakan kecil, membuang baterai ke tempat sampah secara serampangan dapat menyebabkan beberapa efek yang sangat berbahaya terhadap lingkungan.
Jika berakhir di tempat pembuangan sampah tanpa lapisan, maka baterai dapat melarutkan bahan-bahan kimianya ke dalam tanah, mencemari pasokan air tanah. Jika baterai dibakar di insinerator, asap beracun akan melayang ke udara dan kemudian terhirup. Bahkan, jika tidak disimpan dengan benar, limbah baterai bisa mengalami korsleting, terlalu panas, dan terbakar.
Produksi baterai pun sangat boros energi, sehingga ketika membelinya, kita harus benar-benar memikirkan penggunaannya secara efektif dan efisien. Menurut penelitian oleh Departemen Ilmu dan Teknik Material MIT, 88% dari output lingkungan yang digunakan dalam produksi baterai berasal dari sumber bahan bakunya dan pemrosesannya, dari penggunaan listrik hingga bahan bakar fosil pada fasilitas manufaktur. Menggunakan data penelitian MIT ini, sebuah makalah yang diterbitkan dalam Journal of Industrial Ecology –yang berjudul “Charging up Battery Recycling Policies”—memperkirakan “dibutuhkan lebih daripada 100 kali energi untuk memproduksi baterai alkaline daripada yang tersedia selama fase penggunaannya”.
Selain itu, senyawa kimia yang membentuk baterai berasal dari pertambangan dan pemurnian. Sejumlah penyelidikan dan laporan jurnalistik mendalam mengungkap sejumlah masalah di balik penambangan bahan baku baterai. Mangan, bahan utama dalam baterai alkaline, misalnya, diduga berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia, pekerja anak, dan kesehatan kerja yang buruk. Pertambangan litium juga dianggap kerap membahayakan kesehatan dan keselamatan para pekerja. Mencoba mencari tahu apakah logam-logam di dalam baterai kita ditambang secara bertanggung jawab juga teramat kompleks karena hampir tidak mungkin kita melacak rantai pasokannya.
Sebelum membeli, cari tahu dulu berapa kali kita harus mengisi ulang baterai tertentu hingga baterai itu aus. Produk-produk yang sering digunakan, seperti telepon seluler, kamera, dan mainan elektronik sebaiknya menggunakan baterai yang dapat diisi ulang cukup lama. Pertimbangkan bahwa International Journal of Life Cycle Assessment menyatakan bahwa kita perlu mengisi ulang setidaknya 150 kali untuk mengimbangi dampak lingkungan dari produksi baterai.
Meskipun baterai tampak sebagai barang yang tidak berbahaya, yang bersemayam di remot televisi atau telepon seluler, banyak hal yang telah “dikorbankan” untuk menghasilkan baterai itu, dari energi lingkungan hingga kesehatan dan keselamatan para pekerja tambang. Banyak pula bahaya yang mengintai jika kita tidak memperlakukan limbahnya secara bijak.[]
Sumber: Lindsey Reynolds. “What’s Wrong with Batteries?” Treehugger. 2 Desember 2019. https://www.treehugger.com/whats-wrong-batteries-4861203.