Apa itu MSG? Berbahayakah MSG bagi Kita?
Apa kesan pertama Anda ketika disebut istilah “MSG”? Anda sangat mungkin akan mengatakan, MSG itu enak, tetapi rasa enak itu datang dengan konsekuensi.
Kesan itu muncul karena citra buruk yang melekat pada MSG. Zat aditif penguat rasa makanan ini diklaim bisa menyebabkan kecanduan dan gangguan pada otak. Alhasil, kita sering mendengar orang mencemooh orang lain dengan sebutan, “generasi micin atau vetsin” untuk mengatakan bahwa seseorang bodoh.
Namun, apakah MSG benar-benar buruk bagi Anda? Jika ya, mengapa Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia menyatakan bahan tambahan makanan ini aman?
Berikut ini yang dikatakan para ahli tentang MSG.
Pertama, apa sebenarnya MSG itu?
MSG alias monosodium glutamat merupakan gabungan antara natrium dengan glutamat, asam amino non-esensial yang tidak bisa diproduksi tubuh. Glutamat inilah yang menambah umami (rasa gurih) pada makanan. Sering disebut “rasa kelima”, umami sebenarnya adalah rasa gurih yang kompleks dan meningkatkan persepsi garam.
MSG—di Indonesia kita biasanya menyebutnya micin atau vetsin—ditemukan di beberapa makanan populer, termasuk sup kalengan, mie instan, kecap, saus, dan banyak jenis makanan ringan. Meskipun diproduksi secara komersial, MSG sebenarnya juga bisa diperoleh secara alami dari tomat, jamur, keju, dan protein nabati yang terhidrolisis.
Bagaimana bisa MSG mendapatkan citra buruk?
Persepsi bahwa MSG tidak sehat atau bahkan tidak aman dimulai ketika sebuah laporan anekdotal (hanya berdasarkan bukti kasual dan individual) yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada 1968 menyalahkan MSG yang dikonsumsi di restoran Cina sebagai sebab potensial gejala sakit kepala dan mual. Lalu, cerita bahwa MSG tidak sehat itu tersebar luas selama beberapa dekade berikutnya.
Makanan dan restoran Cina menjadi targetnya. Istilah “sindrom restoran Cina” (Chinese restaurant syndrome) bahkan masuk ke dalam kamus Merriam-Webster dengan makna “gejala yang disebabkan oleh makanan dan terutama makanan Cina yang dibumbui dengan monosodium glutamat.”
Dalam beberapa tahun terakhir, persepsi negatif publik tentang MSG mulai coba dibongkar. Pada 2020, sebagai tanggapan terhadap kampanye online, kamus Merriam-Webster memperbarui definisinya tentang “sindrom restoran Cina”. Penyusun kamus itu menyatakan bahwa istilah tersebut telah dikritik sebagai “menyesatkan dan berpotensi menyinggung” dan bahwa “penelitian di tahun-tahun setelahnya telah gagal untuk membangun hubungan yang jelas antara reaksi merugikan tersebut dengan konsumsi MSG”.
Lalu, apakah MSG aman?
Tidak ada bukti ilmiah kuat yang menunjukkan bahwa MSG berbahaya, demikian menurut Kantha Shelke, pendiri Corvus Blue, sebuah firma penelitian pangan yang berbasis di Chicago. Para ilmuwan belum dapat secara konsisten memicu reaksi pada orang yang mengidentifikasi diri mereka sensitif terhadap MSG—yang ini menurut FDA di Amerika Serikat.
Pada 1995, MSG dinyatakan aman oleh Federation of American Societies for Experimental Biology. Namun, laporan organisasi itu, yang ditugaskan oleh FDA, menyatakan bahwa gejala diidentifikasi pada beberapa orang sensitif yang mengonsumsi 3.000 miligram MSG atau lebih dalam sekali makan tanpa makanan.
Di Indonesia, MSG adalah salah satu bahan pangan penguat rasa yang dinyatakan aman dan diizinkan untuk dikonsumsi. Ini berdasarkan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 033 Tahun 2012 dan Peraturan Kepala BPOM RI Nomor 23 tahun 2013. Inti dari kedua aturan ini adalah MSG aman dikonsumsi dalam takaran yang sesuai.
Oleh karena itu, FDA menyatakan, mengingat bahwa sajian makanan dengan tambahan MSG biasanya mengandung kurang dari 500 miligram, sangat tidak mungkin orang akan mengonsumsi lebih daripada 3.000 miligram MSG tanpa makanan dalam sekali makan. Nah, sebenarnya jika Anda mengurangi makan makanan olahan, kemasan, dan cepat saji, kemungkinan besar Anda akan mengonsumsi lebih sedikit MSG.
Baru-baru ini, laporan pada 2017 dari Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) menyatakan bahwa gejala dari MSG jarang terlihat pada tingkat asupan di bawah 3.000 miligram dan asupan harian yang dapat ditoleransi (TDI) adalah 14,5 miligram per pon berat badan. Misalnya, jika berat Anda 150 pon atau 60-an kilogram, itu berarti TDI Anda adalah 2.175 miligram.
Namun, perlu dicatat bahwa MSG adalah sumber sodium. Meskipun MSG mengandung lebih sedikit sodium daripada garam dapur, Anda mungkin masih mengonsumsi banyak sodium jika makan terlalu banyak MSG. MSG mengandung 480 miligram sodium per sendok teh, dan rekomendasi harian untuk sodium kurang dari 2.300 miligram per hari.
Jadi, intinya?
MSG tidak terlalu buruk bagi kita. Namun, jika masih khawatir, Anda dapat memeriksa labelnya dan makan lebih sedikit makanan dengan bahan penyedap yang mungkin mengandung MSG.[]
Sumber Bacaan
Pang-Chieh Ho. “Smarter: Is MSG Bad for You?” Consumer Reports. 28 Juni 2022. https://www.consumerreports.org/nutrition-healthy-eating/smarter-is-msg-bad-for-you-a8196478344/.
“Amankah Pemakaian MSG(Monosodium Glutamat)?” Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. Yankes.kemkes.go.id. https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/611/amankah-pemakaian-msgmonosodium-glutamat.