Skip to main content
  • Administrator

Mengapa BPOM di Indonesia Mewajibkan Pelabelan BPA pada AMDK Galon Pakai Ulang?

Air merupakan kebutuhan pokok bagi kelangsungan hidup manusia. Sejak kecil hingga tua, manusia sangat membutuhkan air. Sayangnya di Indonesia, kebutuhan akan air minum belum bisa dipenuhi oleh air perpipaan. Cakupan ketersediaan air bersih dari air perpipaan di Indonesia kurang dari 10 persen rumah tangga. Lebih daripada 31,23 persen rumah tangga mengonsumsi air minum dalam kemasan (data BPS 2022), dan ini merupakan jumlah terbesar sumber air minum yang digunakan rakyat Indonesia.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memiliki tugas dan kewenangan terkait keamanan pangan dan mutu pangan, termasuk di dalamnya perihal persyaratan pelabelan. Berdasarkan tugas dan kewenangan ini, BPOM secara periodik melakukan peninjauan ulang keamanan kemasan pangan, termasuk terhadap kemasan AMDK yang menggunakan galon plastik keras atau polikarbonat.

Peninjauan ulang juga dilakukan berdasarkan hasil pengawasan BPOM di lapangan, perkembangan penelitian, ilmu pengetahuan, teknologi, serta regulasi dan bukti ilmiah, baik di berbagai negara maupun Indonesia.

Sebagaimana pernah ditulis dalam beberapa artikel di website ini, sejumlah riset menyebut bahwa BPA bekerja dengan mekanisme endocrine disruptor, khususnya hormon estrogen. Sejumlah riset juga mengatakan bahwa senyawa kimia ini bisa luluh dari struktur plastik polikarbonat yang dibangunnya, baik setelah penggunaan berulang kali maupun pada suhu tertentu, sehingga dapat bermigrasi ke makanan atau minuman lalu ke tubuh manusia.

Fakta ilmiah tersebut membuat keberadaan BPA yang melebihi ambang batas aman di dalam tubuh kita dapat berkaitan dengan:

  1. Gangguang sistem reproduksi. Paparan BPA memiliki risiko terhadap gangguan perkembangan janin, menghasilkan kondisi “feminisasi” janin fetus, infertilitas, kualitas, sperma, menurunnya libido, dan sulit ejakulasi.
  2. Gangguan sistem kardiovaskular. Peningkatan paparan BPA juga menyebabkan berbagai risiko penyakit kardiovaskular, antara lain gagal jantung, jantung koroner, aritmia, dan hipertensi.
  3. Peningkatan Paparan BPA menyebabkan risiko penyakit kanker, seperti prostat, payudara, dan ovarium.
  4. Diabetes dan obesitas. Peningkatan paparan BPA menyebabkan risiko obesitas dan penyakit diabetes.
  5. Penyakit ginjal. Konsentrasi tinggi BPA dalam darah memiliki kecenderungan lebih besar untuk menimbulkan penyakit ginjal.
  6. Gangguan perkembangan otak. Paparan BPA berpeluang menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak, antara lain ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder), ASD (Autism Spectrum Disorder), dan gangguan kesehatan mental lainnya.

Melihat fakta-fakta ilmiah yang diungkap sejumlah penelitian di atas, sejumlah negara pun telah memperketat persyaratan terhadap penggunaan BPA dalam kehidupan sehari-hari. Otoritas Keamanan Pangan Uni Eropa atau EFSA, misalnya, telah memperketat aturan batas toleransi asupan harian atau tolerable daily intake (TDI) dari BPA. Pada 2010, batas itu ditetapkan pada angka 50 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Lalu berturut-turut pada 2015 dan 2023, TDI kian diperketat menjadi masing-masing 4 mikrogram dan 0,0002 mikrogram. Angka terakhir membuat TDI menjadi 20 ribu kali lebih rendah daripada angka sebelumnya.

Pengetatan juga terjadi terhadap aturan batas migrasi BPA (dari kemasan ke pangan). Uni Eropa memperketat batas migrasi dari 0,6 bpj (bagian per juta) pada 2011 menjadi 0,05 bpj pada 2018. Thailand (turun dari 0,6 bpj pada 2005 menjadi 0,05 bpj pada 2022), Mercosur (Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay) turun dari 0,6 bpj pada 2012 menjadi 0,05 bpj pada 2021. Indonesia sendiri, melalui BPOM, masih menetapkan batas migrasi sebesar 0,6 bpj sejak 2019, serupa dengan batas migrasi di Cina dan Korea Selatan.

Selain aturan batas TDI dan migrasi yang diperketat, sejumlah negara dan wilayah juga menerapkan peraturan lain, dari yang keras, yakni pelarangan, hingga yang lebih moderat, yakni pelabelan. Pelarangan penggunaan BPA pada kemasan pangan, misalnya, diberlakukan di Perancis, Brazil, serta Negara Bagian Vermont dan Columbia di Amerika Serikat. Pelarangan BPA untuk botol bayi ditetapkan di Uni Eropa, Amerika Serikat, Cina, dan Mercosur (Argentina,Brazil,Paraguay,Uruguay).

Sementara itu, pencantuman peringatan label bahaya BPA berupa kanker, gangguan kehamilan, dan fungsi reproduksi diwajibkan di Negara Bagian California (Amerika Serikat). Di California, BPA termasuk dalam salah satu senyawa yang diatur dalam daftar “Proposition 65” (Peraturan Negara Bagian alifornia) yang harus mencantumkan peringatan (“WARNING” ) pada label kemasan setiap produk dan pada rak penjualan di toko-toko ritel. Aturan serupa berlaku di Kota Chicago, Negara Bagian Illinois, Amerika Serikat, seperti tercantum dalam “Municipal Code of Chicago, 7-28-637 BPA-free kids ordinance”.

BPOM tidak sekadar melihat perkembangan penelitian dan juga aturan di luar negeri, tetapi juga melakukan pengawasan lapangan langsung di sejumlah daerah di Indonesia terhadap AMDK galon pakai ulang. Hasil pengawasan migrasi BPA pada periode semester 2/2021, semester 1/2022 dan semester 2/2022 menunjukkan bahwa migrasi BPA, baik di sarana distribusi dan peredaran maupun di sarana produksi, cenderung meningkat.

Pada sarana distribusi dan peredaran, hasil uji migrasi BPA di atas 0,6 bpj meningkat berturut turut dari 3,13%, 3,45%, hingga 4,58%. Sementara itu, hasil uji migrasi BPA pada kisaran 0,05-0,6 bpj meningkat berturut turut dari 28,12%, 49,56%, hingga 50,98%.

Pada sarana produksi, hasil uji migrasi BPA di atas 0,6 bpj meningkat dari nol menjadi 12,99%. Sementara itu, hasil uji migrasi BPA pada kisaran 0,05-0,6 bpj meningkat berturut turut 30,00%, 33,33%, dan 41,56%.

Hasil pengawasan BPOM juga mengungkap dua hal. Pertama, migrasi BPA cenderung meningkat pada saat AMDK galon pakai ulang didistribusikan dan diedarkan. Ini kemungkinan berkaitan dengan cara peredaran serta distribusi dan cara penyimpanan galon-galon pakai ulang tersebut. Kedua, sarana produksi AMDK galon pakai ulang ternyata juga tidak terbebas dari risiko migrasi BPA. Meskipun tingkat paparannya masih di kisaran 0,05 hingga 0,6 bpj, temuan sampel cukup tinggi, yakni mencapai hampir separuh sampel yang diuji oleh BPOM.

Oleh karena itu, sebenarnya sangatlah beralasan dan berlandaskan bukti-bukti ilmiah yang kuat ketika BPOM memutuskan untuk merevisi Peraturan BPOM tentang Label Pangan Olahan. Apalagi revisi yang ditempuh BPOM sangatlah moderat, yakni:

  1. Mewajibkan produsen mencantumkan tulisan “Simpan di tempat bersih dan sejuk, hindarkan dari matahari langsung, dan benda-benda berbau tajam”.
  2. Mewajibkan produsen AMDK yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat untuk mencantumkan tulisan: “Berpotensi Mengandung BPA”.
  3. Dua kewajiban di atas baru diberlakukan paling lama dua tahun sejak Peraturan diundangkan.

Alhasil, BPOM sebenarnya tidak melarang penggunaan kemasan galon polikarbonat, sehingga dapat dipastikan tidak ada kerugian ekonomi bagi pelaku usaha. Peraturan ini juga hanya berlaku bagi produk AMDK yang mempunyai izin edar, sehingga tidak berdampak terhadap depot air minum isi ulang.

Selain itu, revisi regulasi ini juga akan mendorong pelaku usaha berinovasi, sehingga ada kompetisi atau daya saing untuk menghasilkan produk yang aman dan bermutu. Pada akhirnya, tujuan pelabelan ini adalah melindungi kesehatan masyarakat, mengedukasi masyarakat, dan membuat produk serta produsen makin transparan kepada konsumen—dan transparansi produk merupakan hak konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen.[]


Sumber:

“Rancangan Revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan”. 2023. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

amdk, BPA, BPOM, polikarbonat, batas aman, bahaya BPA, Plastik Keras, pelabelan BPA, galon pakai ulang, migrasi BPA