Risiko Kesehatan Aspartam (pemanis pada Soft Drink): Pertarungan antara WHO dan Industri
Aspartam, zat yang 200 kali lebih manis daripada gula tapi mengandung lebih sedikit kalori, telah menjadi bahan pokok dalam industri makanan dan minuman global selama 40 tahun terakhir. Aspartam digunakan di dalam beragam produk, termasuk Diet Coke, yogurt rendah lemak, permen karet rendah kalori, obat batuk, dan sereal sarapan. Bahan ini telah menjadi kontributor yang signifikan bagi pasar makanan diet dan rendah kalori, menjadi komponen utama dalam sekitar 5.000 produk di seluruh dunia.
Namun, seperti dilaporkan oleh The Telegraph pada 4 Juli 2023, sebuah pengumuman baru-baru ini dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bakal mengganggu status quo ini. WHO diperkirakan akan menyatakan Aspartam sebagai bahan yang “berpotensi karsinogenik” dalam beberapa pekan mendatang. Berita ini telah mengirim gelombang kejut kepada industri minuman diet senilai 327 miliar paun (sekitar 6.169 triliun rupiah), yang sangat bergantung pada Aspartam untuk produknya yang rendah kalori. Selain itu, hal ini menimbulkan kekhawatiran di antara miliaran konsumen yang secara teratur mengonsumsi produk yang mengandung Aspartam, seperti mereka yang secara teratur meminum sekaleng Diet Coke di sore hari.
Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (International Agency for Research on Cancer—IARC), cabang Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang berfokus pada kanker, belum mengungkap metodologi di balik keputusan yang akan diambilnya tentang Aspartam. Namun, diyakini bahwa faktor penting dalam keputusan ini adalah sebuah penelitian observasional besar yang dilakukan di Perancis. Studi ini menemukan korelasi antara konsumsi tinggi Aspartam dan acesulfame K, pemanis buatan lainnya, dengan peningkatan risiko kanker payudara dan obesitas.
Selain itu, Aspartam telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan dalam penelitian lain. Ini termasuk gangguan suasana hati, leukemia, penyakit kardiovaskular, migrain, dan diabetes. Luas dan parahnya potensi risiko kesehatan yang terkait dengan konsumsi Aspartam ini telah menimbulkan kekhawatiran serius tentang penggunaannya yang terus berlanjut dalam produk makanan dan minuman.
Namun, rasa manis dari Aspartam membuatnya tetap diminati oleh konsumen. Pertama kali disetujui oleh Otoritas Makanan dan Minuman Amerika Serikat (FDA) pada 1981, Aspartam telah menjadi bahan yang ada di mana-mana, sekarang ditemukan di 95 persen dari semua minuman diet berkarbonasi. Pasar untuk minuman ini sangat besar dan terus berkembang, dengan proyeksi yang mengindikasikan bahwa pasar ini dapat mencapai 9,5 miliar paun (sekitar 183 triliun rupiah) pada 2027. Pertumbuhan ini terus berlanjut bahkan di tengah-tengah perdebatan yang sedang berlangsung tentang keamanan Aspartam.
Deklarasi yang akan datang dari Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC), yang dibuat bersama dengan Organisasi Pangan dan Pertanian/Komite Pakar WHO untuk Bahan Tambahan Pangan (JECFA), telah menimbulkan kontroversi lebih lanjut. Banyak pihak yang mempertanyakan toksisitas Aspartam, dengan mengajukan pertanyaan tajam: jika Aspartam memang beracun, bukankah seharusnya Aspartam telah menyebabkan kerusakan yang meluas? Pertanyaan ini menggarisbawahi ketegangan antara potensi risiko kesehatan yang terkait dengan Aspartam dan penggunaannya yang meluas dalam industri makanan dan minuman.
Terlepas dari pernyataan yang bakal datang dari Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC), Cancer Research UK (di Inggris) dan badan-badan pengawas di 90 negara dimana Aspartam digunakan, terus menegaskan keamanan zat kimia ini untuk dikonsumsi. Para pendukung Aspartam dengan cepat menolak penyataan WHO yang akan datang, dengan menyebutnya sebagai “bodoh” dan berpendapat bahwa pengumuman tersebut bergantung pada “penelitian yang telah didiskreditkan secara luas”. Mereka berpendapat bahwa posisi baru ini bertentangan dengan bukti-bukti berkualitas tinggi selama puluhan tahun yang sebelumnya telah menegaskan keamanan Aspartam.
Aspartam, ketika dikonsumsi, terurai menjadi asam aspartat, fenilalanin, dan metanol di dalam tubuh. Metanol selanjutnya dimetabolisme menjadi formaldehida, yang dikenal sebagai karsinogen. Namun, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) telah menetapkan batas konsumsi harian masing-masing sebesar 40mg dan 50mg per kilogram berat badan. Menurut pedoman ini, orang dewasa yang mengonsumsi antara 12-36 kaleng minuman diet yang mengandung Aspartam setiap hari agar berpotensi menyebabkan bahaya. Ambang batas yang tinggi ini semakin memicu perdebatan seputar keamanan Aspartam.
“Belum ada bukti yang meyakinkan bahwa Aspartam buruk bagi Anda dalam dosis yang kita dapatkan,” kata Giles Yeo, profesor neuroendokrinologi molekuler di University of Cambridge, Inggris. “Orang-orang bertanya: apakah Aspartam buruk bagi Anda? Dan pertanyaannya adalah, dibandingkan dengan apa? Apakah lebih baik minum air putih daripada minum sesuatu yang mengandung aspartam? Tentu saja lebih baik.”
Sejarah Aspartam adalah medan pertarungan kompleks antara para peneliti kesehatan di laboratorium dan industri minuman berpengaruh. Persetujuan penggunaan zat ini digambarkan sebagai “salah satu yang paling diperdebatkan dalam sejarah FDA”. Kontroversi dimulai ketika produsen Aspartame, G.D. Searle, dituduh memalsukan data dalam penelitian yang diajukan ke FDA untuk mendapatkan persetujuan pada 1974. Meskipun penelitian tersebut dikritik karena “dirancang dengan buruk, dilakukan dengan ceroboh, atau dianalisis atau dilaporkan secara tidak akurat”, Aspartam pada awalnya disetujui. Namun, karena masalah keamanan, petisi untuk audiensi publik juga dikabulkan pada tahun berikutnya.
Pada akhir 1975, Searle dilarang memasarkan Aspartame, dan sebuah investigasi dewan juri diperintahkan untuk memeriksa apakah dua penelitian Searle itu dipalsukan atau tidak lengkap. Namun, penyelidikan ini tidak pernah dilanjutkan. Menambah kontroversi, komisaris FDA yang sepenuhnya menyetujui Aspartame pada 1983 kemudian bergabung dengan perusahaan itu sebagai pejabat hubungan masyarakat. Selain itu, selama sebagian besar proses persetujuan, dari 1977 hingga 1985, Searle dipimpin oleh Donald Rumsfeld, yang kemudian menjadi Menteri Pertahanan AS. Hubungan yang erat antara para pemain utama industri dan otoritas pembuat hukum ini telah memicu teori bahwa persetujuan Aspartam tidak dapat dihindari, dan tidak ada pemerintah yang akan menentang industri bernilai miliaran dolar ini, terlepas dari jumlah penelitian yang dihasilkan.
“Penelitian yang disponsori industri hampir selalu memberi hasil yang diinginkan,” kata Marion Nestle, seorang ahli biologi molekuler di New York University dan penulis Soda Politics: Taking on Big Soda (and Winning).
Dia telah secara informal melacak penelitian yang didanai oleh grup-grup perusahaan makanan dan minuman—yang pada tahun 2015, misalnya, menunjukkan 156 dari 168 penelitian mendukung kepentingan sponsor. Sebuah analisis terhadap 166 artikel jurnal medis yang diterbitkan antara 1980-1985 menemukan bahwa semua penelitian yang dibiayai oleh industri memastikan keamanan Aspartam, sementara dari 92 artikel yang didanai secara independen yang diterbitkan pada periode yang sama, 84 di antaranya menunjukkan dampak yang merugikan bagi kesehatan.
Selain donasi mereka yang cukup besar untuk penelitian, lobi yang lebih halus dari perusahaan juga sering dilakukan. Pada 2014, Coca-Cola menyumbangkan 1,5 juta dolar AS (sekitar 22,6 miliar rupiah) kepada sebuah lembaga nirlaba yang sekarang sudah bubar, yang mengklaim mendanai penelitian tentang obesitas—yang hasilnya mempromosikan gagasan bahwa meningkatkan level olahraga lebih penting untuk kesehatan daripada makanan atau minuman yang dikonsumsi. Pada tahun berikutnya, mereka memberi $1 juta (senilai 15 miliar rupiah) kepada Fakultas Kedokteran Universitas Colorado untuk mendanai kelompok advokasi yang menepis kaitan antara minuman bersoda dengan obesitas (uang tersebut kemudian dikembalikan).
Menyusul investigasi New York Times, perusahaan ini mengakui bahwa antara 2010 dan 2015, mereka telah menghabiskan 132,8 juta dolar AS (sekitar 1,9 triliun rupiah) untuk penelitian ilmiah dan kemitraan.
Nestle mengatakan bahwa taktik ini merupakan bagian integral dari strategi yang digunakan industri rokok untuk meragukan bukti bahwa merokok menyebabkan kanker paru-paru—dan semua industri yang telah mengikutinya. Menurutnya, strateginya sama. “Hal pertama yang Anda lakukan adalah meragukan sains (dengan mengatakan) bahwa penelitiannya tidak cukup kuat. Kemudian mereka akan menyerang para ilmuwan yang mengatakan sebaliknya dengan mengatakan bahwa mereka memiliki agenda, atau tidak melakukan penelitian dengan baik. Dan mereka akan melobi di belakang layar untuk memastikan bahwa tidak ada negara atau pemerintah yang (memperkenalkan) peraturan apa pun untuk mencoba menyingkirkan hal ini.”[]
Sumber:
Lytton, Charlotte. 2023. “Aspartame: The Billion Dollar Battle to Keep Sweeteners in Our Drinks.” The Telegraph, July 4, 2023. https://www.telegraph.co.uk/health-fitness/body/aspartame-everything-you-need-to-know/.
minuman berpemanis, aspartam, diet coke, soft drink, minuman ringan