Pada 28 November 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merilis rancangan peraturan yang akan mengubah Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Dalam rancangan revisi tersebut, BPOM antara lain mengatur kewajiban produk air minum dalam kemasan yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat (plastik keras) mencantumkan tulisan “Berpotensi Mengandung BPA”.

Pada akhir Januari 2022, dilaporkan bahwa BPOM telah melakukan harmonisasi terhadap rancangan revisi dimaksud. Namun, hingga Maret 2022, kabar terkait penerbitan peraturan revisi tersebut tak terdengar lagi.

Yang muncul di media kemudian adalah respons dari Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin). Dalam pemberitaan di sejumlah media, Aspadin mengeluarkan pernyataan yang meminta BPOM untuk tidak melanjutkan pembahasan rancangan peraturan revisi tersebut.

Pada saat yang sama, banyak kemasan pangan mulai memasang label “BPA Free”, terutama botol bayi. Ini karena pada 2017 Menteri Kesehatan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 62 Tahun 2017 yang mewajibkan botol bayi mencantumkan label “Bebas BPA”. Sejumlah kalangan, terutama dokter anak dan kaum ibu, pun mulai mengutamakan kemasan pangan yang berlabel “BPA Free” daripada yang tidak.

BPA adalah singkatan dari Bisfenol A, zat kimia yang ada pada bahan pembuat plastik keras atau polikarbonat. Sebagai kemasan, polikarbonat biasanya digunakan untuk wadah penyimpanan pangan olahan, baik makanan maupun minuman, seperti stoples, botol minum, tempat makan, dan galon air minum dalam kemasan guna ulang.

Sudah lebih daripada seratus literatur ilmiah yang menyatakan BPA berisiko memicu kanker dan kelainan seksual, di antaranya kemandulan. Pada kemasan pangan berbahan plastik keras (polikarbonat), BPA berpotensi luluh dan mencemari pangan, baik selama proses produksi, distribusi, maupun penyimpanan.

BPOM, melalui uji “post-market”, mengungkap bahwa pihaknya menemukan adanya potensi bahaya migrasi BPA dari kemasan ke dalam pangan pada fasilitas produksi dan sarana distribusi air minum dalam kemasan. Hasil uji ini menunjukkan sekitar 33 persen sampel pada sarana distribusi dan peredaran serta 24 persen sampel pada sarana produksi berada pada rentang batas migrasi BPA 0,05 mg per kilogram yang ditetapkan Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) serta 0,6 mg per kilogram berdasarkan ketentuan di Indonesia. Potensi bahayanya, menurut BPOM, 1,4 kali lebih besar pada sarana distribusi dan peredaran daripada sarana produksi.

Pada 28 Maret 2022, FMCG Insghts menyelenggarakan webinar “FMCG Talk” dengan tema “Mengenal BPA dan Risikonya bagi Kesehatan Masyarakat”. Webinar ini menghadirkan enam narasumber. Salah satunya adalah ahli teknologi polimer dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr. Chandra Liza.

Berikut ini petikan paparan Chandra Liza dalam webinar itu terkait apa itu BPA dan mengapa BPA perlu diatur.

Material yang digunakan untuk kemasan mempunyai persyaratan tertentu. Pertama, ia tidak reaktif, sehingga tidak memengaruhi keamanan dan kualitas dari produk. Kedua, ia dapat melindungi produk terhadap faktor dari luar.

Jadi, kemasan itu berfungsi supaya produk tidak terkontaminasi dan bersih.

Plastik atau sering juga disebut polimer merupakan bahan yang paling banyak digunakan untuk kemasan. Sekitar 40 persen kemasan menggunakan plastik sebagai bahannya.

Plastik memiliki banyak jenis. Kalau orang awam bilang, plastik kresek, itu baru satu jenis. Jenis plastik yang paling banyak digunakan untuk kemasan adalah polietilena, yakni 56 persen.

Untuk membuat plastik, kita membutuhkan raw material. BPA atau bisfenol A merupakan senyawa kimia yang menjadi salah satu raw material untuk membuat jenis plastik polikarbonat.

Polikarbonat adalah jenis plastik yang banyak dipakai untuk galon air minum. Karena sifatnya yang transparan, ia juga banyak digunakan untuk hal-hal terkait transparansinya, kacamata atau headlamp pada mobil.

Sebagai raw material, BPA pasti ada dalam pembentukan polikarbonat. Pada setiap pembentukan polimer atau plastik ini, kita tahu akan ada residu. Residu inilah yang diatur dalam sebuah peraturan. Jadi, berapa minimum residu yang harus ada mesti diatur, dan ini bukan hanya untuk polikarbonat. Beberapa material yang memang mempunyai kecenderungan menghasilkan residu mesti diatur.

Selain itu, terjadi interaksi di antara produk (pangan) dengan kemasannya. Ini yang kita sebut dengan “migrasi”. Ia adalah proses berpindahnya komponen pada kemasan ke dalam produk (pangan).

Karena merupakan residu, BPA cenderung bisa keluar. Keluarnya BPA ini adalah proses migrasi dari kemasannya ke dalam produk (pangan).

Maka, BPA ini harus diatur dalam suatu regulasi. Regulasi ini dibuat untuk keamanan konsumen.

Sejatinya, sebuah regulasi juga mesti terus kita evaluasi secara periodik. Mungkin di sinilah tarik ulur terjadi, yakni dalam rangka melakukan review terhadap regulasi sebelumnya (rencana BPOM membuat revisi atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan).

Dalam peraturan BPOM, kita hanya mengatur limit migrasi BPA. Tapi, beberapa negara membuat regulasi tolerable daily intake, atau asupan harian yang diperkenankan. Ini karena BPA tidak hanya ada di polikarbonat, sehingga beberapa negara membuat regulasi bukan lagi terkait limit migrasi tapi tolerable daily intake atau TDI.

Angka-angka TDI sangat beragam di sejumlah negara. Tiap-tiap negara itu sudah memperhitungkan asupan yang bisa ditoleransi oleh konsumen.[]