Skip to main content
  • Administrator

Apakah Plastik Masalah Jika Dibandingkan dengan Polutan Lain? (Memikirkan Ulang Kampanye Antiplastik Bagian 4—HABIS)

Pengantar:

Tulisan berikut ini disarikan dari artikel ilmiah karya 13 ahli dari berbagai bidang, seperti ilmu lingkungan, teknik, industri, dan kebijakan. Terbit dalam jurnal WIREs Water, 22 Oktober 2020, artikel yang berjudul “It’s the product not the polymer: Rethinking plastic pollution” itu berargumen bahwa kampanye antiplastik yang marak belakangan ini telah dieksploitasi oleh politisi dan industri. Masalahnya tidak terletak pada plastik. Material ini sudah menjadi bagian integral sebagian besar kehidupan modern dan dianggap sebagai fasilitator konsumsi yang lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan material lain. Akar dari banyaknya limbah antropogenik di lingkungan, baik itu plastik ataupun lainnya, adalah budaya konsumsi, kebijakan pengelolaan limbah atau sampah, dan desain produk.

Baca: Apakah Plastik Masalah bagi Lingkungan dan Kesehatan Manusia? (Memikirkan Ulang Kampanye Antiplastik Bagian 3)

Seperti disebutkan pada bagian sebelumnya, plastik hanyalah salah satu jenis material antropogenik yang mencemari lingkungan. Material antropogenik lain, seperti serat tekstil alami (kapas dan wol), partikel-partikel karbon, dan karbon hitam, semuanya bisa memiliki efek merugikan bagi lingkungan. Material-material ini seringkali jauh lebih berlimpah daripada mikroplastik di lingkungan tapi tidak sekasat mata seperti plastik.

Material lainnya, seperti kaca, aluminium, dan kertas, yang kerap dijadikan “alternatif bagi plastik” dan dikampanyekan sebagai solusi untuk polusi plastik, pada kenyataannya merupakan upaya sampingan dari ketidaknyamanan untuk mengubah praktik konsumsi yang menjadi akar masalahnya. Dampak eko-toksikologi dari beberapa material ini kurang diketahui jika dibandingkan dengan polusi plastik dan mikroplastik. Tapi, material ini bisa memiliki dampak lingkungan yang signifikan.

Biodegradasi kapas dan wol, misalnya, yang dianggap lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan plastik, dapat menyebabkan pelepasan bahan kimia yang lebih cepat, seperti pewarna yang digunakan dalam pembuatannya. Serat alami secara luas dianggap dapat terurai di lingkungan tapi studi arkeologi telah mencatat daya tahan serat alami di lingkungan tertentu selama berabad-abad dan bahkan ribuan tahun.

Dalam pembicaraan mengenai polutan kimia, tidak adanya penilaian objektif tentang tekanan antropogenik pada lingkungan menghadirkan tantangan bagi pemantauan, penilaian, dan regulasi lingkungan. Misalnya, Sungai Yangtze diperkirakan membawa maksimum 480.000 ton plastik (termasuk mikroplastik) per tahun. Dengan total debit air tahunan sekitar 500 triliun liter air, perkiraan itu mewakili 0,001 g/L di dalam sungai yang juga membawa konsentrasi dari merkuri, timbal, arsenik, tembaga, dan seng yang sangat beracun serta limbah mentah, obat-obatan, dan pestisida.

Dipengaruhi oleh eksploitasi media dan politik terhadap isu lingkungan yang emosional, kepedulian publik terhadap lingkungan didominasi oleh isu polusi plastik. Namun, sebagai komunitas ilmiah, kita semestinya memastikan bahwa jumlah waktu dan dana yang dicurahkan untuk mengatasi masalah populer ini (sampah plastik) tidak membuat kita melupakan masalah antropogenik lain yang kurang nyata pada lingkungan kita, yang berasal dari material-material seperti logam berat, obat-obatan, dan pestisida. Penelitian lingkungan yang tidak berimbang berisiko merusak kepercayaan publik pada ilmu lingkungan.

Polusi plastik sebenarnya menghadirkan peluang untuk mengubah perilaku masyarakat dan memanfaatkan keterlibatan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengurangi budaya “membuang”, merombak kesalahan pengelolaan sampah atau limbah, serta meningkatkan kesadaran akan masalah lingkungan lain yang bahayanya berpotensi lebih besar (daripada plastik). Menurut kami, prioritas berlebihan terhadap plastik di atas masalah lain akan menyebabkan peluang ini terlewatkan.

Seberapa Banyak Plastik yang Bisa Kita Kurangi?

Plastik sebenarnya membantu kita dalam mengurangi limbah makanan serta menurunkan biaya produksi dan jejak karbon jika kemasan plastik dibandingkan dengan alternatif yang lebih berat, seperti kaca. Mengurangi kemasan plastik untuk makanan dapat meningkatkan penggunaan pengawet kimia pada makanan di supermarket dan meningkatkan limbah makanan.

Perbandingan jejak karbon dan penilaian siklus hidup (LCA) dapat mulai membongkar perdebatan ini. Wadah kaca dan logam memiliki potensi jejak pemanasan global yang lebih tinggi daripada beberapa wadah plastik karena emisi gas rumah kaca yang terkait dengan tahap tertentu dari siklus hidup kaca dan logam.

Tentu saja ada produk-produk plastik yang sebenarnya tidak diperlukan, dan tersedia alternatifnya yang layak, seperti glitter dalam kosmetik dan mikroplastik dalam produk perawatan pribadi. Namun, aksi-aksi untuk meminimalkan polusi plastik, termasuk undang-undang yang melarang mikroplastik pada kosmetik, pengenaan pajak pada kantong plastik, dan insentif keuangan bagi wadah yang dapat digunakan kembali, berisiko menanamkan rasa puas diri pada masyarakat, sehingga mengabaikan masalah lingkungan lain yang tidak senyata polusi plastik. Solusi lainnya kemungkinan besar berfokus pada desain material dan produk yang dapat didaur ulang serta adanya pasar dan fasilitas untuk mendaur ulang semua sampah plastik.

Akar masalah polusi plastik tidak terletak pada plastik itu sendiri, tetapi pada hubungan manusia dengannya, yang telah direkayasa dan dimanipulasi oleh industri sedemikian rupa sehingga tampak tidak dapat dihindari. Kenyamanan dan keterjangkauan produk plastik yang berumur pendek telah memfasilitasi gaya hidup “bisa dibuang”. Ada keinginan yang dapat dimengerti untuk menimalisasi sampah plastik di lingkungan secara global, tetapi tindakan positif untuk itu perlu diinformasikan dengan baik dan tidak boleh memperburuk bentuk degradasi lingkungan lain yang terkait dengan material “alternatif plastik”.

Material plastik begitu terintegrasi ke dalam kehidupan kita, sehingga pengurangan penggunaan plastik tanpa pandang bulu akan menjadi sangat menantang dan tidak bertanggung jawab. Penilaian siklus hidup (LCA) memiliki potensi untuk menginformasikan penilaian lingkungan dan menargetkan upaya-upaya untuk mengurangi penggunaan plastik, dan bahkan polimer tertentu, di industri-industri yang berbeda. Demikian pula, meningkatkan sirkularitas produk dengan memasukkan kapasitas daur ulangnya ke dalam desain produk memiliki potensi besar dalam mengurangi jumlah plastik yang berakhir menjadi sampah di lingkungan.

Namun demikian, meskipun LCA dan peningkatan sirkularitas dapat mengurangi sampah plastik, LCA kurang memiliki ketahanan yang diperlukan untuk memperhitungkan keragaman faktor yang dipertimbangkan oleh pengambil keputusan, seperti faktor sosial, lingkungan, dan ekonomi. Peningkatan sirkularitas juga bergantung pada ketersediaan infrastruktur pengelolaan sampah atau limbah yang sesuai. Sayangnya, ini kurang tersedia di wilayah di mana sebagian besar polusi plastik terkonsentrasi dan tercecer ke lingkungan.

Sementara penelitian yang mendokumentasikan keberadaan plastik di lingkungan dan dampaknya terhadap ekosistem sangat banyak dilakukan, pemahaman yang objektif tentang masalah ini tidak dapat dicapai hanya dengan mengubah praktik ilmiah saja. Mengatasi masalah polusi plastik memerlukan perubahan politik dan ekonomi dalam skala besar, tetapi perubahan ini harus diinformasikan oleh sains dan ilmu sosial yang sehat dan objektif.

Saat ini, sayangnya, ada keterputusan antara penelitian ilmiah dan penelitian pelengkap yang diperlukan untuk memahami dimensi sosial dari masalah polusi plastik. Menyadari kesenjangan pengetahuan ini, dan lalu menutupnya, sangat penting jika kita ingin mengurangi jumlah material antropogenik, plastik ataupun bukan plastik, yang ada di lingkungan.[]

Sumber Artikel:

Stanton, Thomas, et.al. (22 Oktober 2020). It’s the product not the polymer: Rethinking plastic pollution dalam jurnal WIREs Water. Diambil pada 25 September 2022 dari https://wires.onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/wat2.1490.

kampanye, antiplastik