
Pakar Strategi Pemasaran: Industri Tak Peduli dengan Pendidikan Konsumen
Pakar strategi pemasaran sekaligus dosen komunikasi Universitas Indonesia, Erwin Panigoro, mengatakan, industri makanan dan minuman dalam kemasan tidak mempertimbangkan seberapa besar kandungan bahan tertentu di dalam produknya. Yang paling mengejutkan, menurut Erwin, industri juga tidak peduli dengan edukasi konsumen terkait pengetahuan dan kebiasaan membaca label pangan pada produknya.
“Itu enggak pernah, tidak pernah ada edukasi secara khusus terkait bagaimana cara kita membaca label pangan,” ujar Erwin yang pernah selama 12 tahun bekerja di industri minuman berpemanis dalam kemasan.
Tujuan utama industri, Erwin bilang, hanyalah mempersuasi konsumen agar terus mengonsumsi produknya. “Itu saja tujuannya, increase consumption,” katanya dalam acara Forum for Young Indonesians (FYI) dengan tema “Dunia Tipu-Tipu Minuman Berpemanis dalam Kemasan” yang diselenggarakan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di Jakarta pada 17 September 2022.
Apa yang disampaikan Erwin bersesuaian dengan fakta bahwa produk minuman berpemanis dalam kemasan di Indonesia rata-rata mengandung gula tambahan (dalam bentuk apa saja, baik itu gula alami maupun buatan) lebih daripada 30 gram. Padahal, American Heart Association merekomendasikan angka 25 gram gula per hari sebagai batas aman konsumsi gula. Apalagi, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar, mayoritas penduduk Indonesia (61,3%) mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan lebih daripada satu botol atau kaleng per harinya.
Kenyataan di atas berpotensi meningkatkan risiko kesehatan yang terkait dengan konsumsi gula berlebih, seperti obesitas, diabetes, penyakit jantung, ginjal, pembuluh darah, kanker, stroke, gangguan cemas, dan gangguan perilaku.
Selain itu, industri menargetkan sisi emosional produknya, bukan sisi fungsionalnya. Dari sudut pandang fungsional, sebagian besar orang tahu bahwa konsumsi gula berlebih tidak baik bagi kesehatan. Tapi, industri tidak pernah berbicara itu. Yang mereka lakukan adalah berkomunikasi secara emosional melalui beragam iklan atau promosi.
“Misalnya, meminum minuman berpemanis dikaitkan dengan kesegaran pada situasi kegerahan. Apakah benar kalau kita minum minuman berpemanis, gerahnya hilang? Kan enggak benar,” jelas Erwin.
Dalam teori psikoanalisis, target pemasaran industri adalah apa yang disebut Sigmund Freud sebagai “id”. Id, menurut Freud, adalah agen mental yan berkaitan dengan hasrat instingtif. Ia senang dengan kenikmatan atau pleasure. Menurut Erwin, pleasure itulah yang terus didorong oleh iklan-iklan produk.
“Kita tidak pernah sadar bahwa sesuatu yang sifatnya pleasure itu sebenarnya by design, bukan by default. Itulah yang saya pelajari dari sekian puluh tahun bekerja di industri ini.”
Selain menyasar hasrat konsumen kepada kesenangan dan kenikmatan, menurut Erwin, komunikasi pemasaran sebuah produk, termasuk produk minuman, selalu menyisipkan hidden message, yang mencoba membangun pemahaman baru. Pemahaman baru itu diharapkan bisa menjadi kebiasaan, perilaku, dan mindset baru dari target khalayak.
Dia mencontohkan bagaimana sebuah produk minuman berpemanis dikomunikasikan dengan jargon, “Enaknya Ganjel Lapar”. “Padahal, kalau lapar, kenapa minum? Itulah kebiasaan baru yang ingin dibentuk oleh produk itu,” jelas Erwin.
Lalu, ada pula yang dalam komunikasi pemasaran disebut dengan imitative desires. Strategi ini bertujuan menciptakan role model dari sebuah produk. Ini menjual mimpi agar konsumen yang mengonsumsi produknya dipersepsi seperti role model yang ditampilkan.
“Di Indonesia, ini sangat sangat berhasil dengan segala macam nama role model seperti brand ambassador, endorser, dan lainnya, padahal si role model belum tentu menggunakan produk itu.”
Satu-satunya tujuan strategi itu adalah imitative desires. Ini karena setiap manusia dianggap selalu menginginkan sesuatu yang lebih, yang menarik, dan yang patut contoh. Perilaku seperti inilah yang sangat ditarget oleh industri.
Pendekatan terakhir yang paling terkini adalah subliminal message. Ini teknik yang digunakan dalam pemasaran untuk mempengaruhi orang tanpa mereka menyadari apa yang dilakukan si pembawa pesan. Biasanya ini diterapkan dengan melibatkan penggunaan flash text dalam durasi sepersekian detik, gambar tersembunyi, atau isyarat halus yang mempengaruhi konsumen pada tingkat di bawah kesadaran.
“Ini masih mengeksplotasi id dalam psikoanalisis,” kata Erwin.
Tidak sampai di situ, industri juga berupaya masuk ke dalam 24 jam kegiatan kita melalui apa yang disebut activation dan engagement. Mereka kini beriklan di gim-gim daring, yang mungkin lebih daripada 5 jam sehari dimainkan melalui gawai-gawai kita.
“Kita dipaksa untuk berinteraksi dengan brand 24 jam,” kata Erwin, “Kalau sedang main PUBG, misalnya, tiba-tiba muncul pop-up ‘Anda dapat free skin dari brand tertentu’.”
Jadi, Erwin menyimpulkan, industri sekarang menggunakan tiga strategi: emotional, experiential, dan aesthetic behaviors. Semuanya dilebur menjadi satu, yakni menciptakan pleasure atau kesenangan. “Itulah kenapa semua iklan itu rata-rata tidak masuk akal, tapi tetap mendapatkan perhatian.”
Dari paparannya, Erwin kemudian menekan pentingnya literasi konsumen dalam membaca dan memahami label pangan. Sejumlah penelitian, menurutnya, menunjukkan bahwa tingkat literasi label pangan berhasil menurunkan faktor risiko penyakit.
“Itu padahal cuma kebiasaan membaca label pangan, dan ini yang tidak ada di Indonesia.”
Oleh karena itu, bagi Erwin, upaya untuk meningkatkan kesadaran terkait kebiasaan atau perilaku membaca label pangan sangatlah penting. “Itu dimulai dari mana, ya dari diri kita sendiri.”[]