Industri air minum dalam kemasan (AMDK) banyak menggunakan plastik, terutama polietilena tereftalat (PET), sebagai kemasan. Laju produksinya mencapai lebih dari satu juta botol di seluruh dunia setiap menitnya.
PET telah digunakan secara luas sejak 1990-an, ketika Nestle memperkenalkannya dalam bentuk botol plastik. PET berasal dari minyak bumi dan dapat dengan mudah diformat menjadi berbagai bentuk ketika dipanaskan. Inilah karakteristik yang membuat PET makin populer dalam produksi botol plastik sekali pakai. PET pun telah menjadi bahan kemasan yang paling umum digunakan dalam industri minuman. Hampir 80% plastik yang digunakan sebagai wadah air minum adalah PET.
Terlepas dari kenyamanan yang diberikannya, botol plastik menimbulkan tantangan signifikan bagi lingkungan karena polusi limbahnya. Laju penguraian yang lambat dari bahan ini, yang dapat memakan waktu hingga 1.000 tahun, menghasilkan penumpukan limbah yang sangat besar. Setiap tahun, sekitar 400 juta ton sampah plastik diproduksi secara global, dengan PET berkontribusi sebesar 5,5% dari total tersebut. Tingginya penggunaan PET dalam industri air minum dalam kemasan (AMDK) secara substansial berkontribusi kepada tingkat produksi sampah plastik.
Pada 2019, sektor air minum dalam kemasan didapati menggunakan 35% dari semua botol PET yang diproduksi secara global, persentase yang relatif stabil dari waktu ke waktu. Namun, siklus hidup akhir dari botol air PET ini mengkhawatirkan. Sekitar 85% dari semua botol air PET yang diproduksi tidak didaur ulang tetapi dibuang ke tempat pembuangan akhir atau menjadi limbah.
Jumlah rata-rata tahunan limbah botol air PET sejak awal abad ini adalah sekitar 18 juta ton, tetapi pada 2021, telah meningkat menjadi lebih daripada 25 juta ton. Analisis geografis mengungkap bahwa Amerika Utara, Cina, dan Eropa merupakan kontributor terbesar limbah PET dari industri air minum dalam kemasan. Fakta-fakta ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk mengatasi polusi plastik, terutama dari botol PET sekali pakai, untuk mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan.
Seperti telah disampaikan, sebanyak 85% dari semua botol plastik yang terjual berubah menjadi sampah. Sebagian besar sampah ini menyusup ke dalam ekosistem laut. Sungai, jalur transportasi utama untuk sampah tersebut, bertanggung jawab membawa 70-80% plastik ke lingkungan laut, atau sekitar 22 juta ton pada 2019.
Kondisi tersebut menyebabkan komplikasi masalah lingkungan, termasuk penyumbatan pada sistem pembuangan limbah dan kontaminasi sungai, danau, dan pantai. Akibatnya, hal ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak pariwisata dan menurunkan nilai bentang alam.
PET, seperti kebanyakan plastik, pada akhirnya akan terurai menjadi mikroplastik. Potongan-potongan kecil yang seringkali tidak terlihat ini merupakan bentuk sampah plastik yang paling banyak didokumentasikan di lautan. Mikroplastik, meskipun kecil, menimbulkan risiko lingkungan dan kesehatan yang cukup besar. Mereka dicerna oleh beragam organisme, yang mengarah kepada potensi bioakumulasi dan biomagnifikasi polutan terkait plastik dalam rantai makanan.
Botol plastik, selain menghasilkan limbah fisik, juga melepaskan zat berbahaya ke lingkungan. Di antaranya adalah minyak bumi dan turunan kimia beracun yang dikenal sebagai polutan organik persisten (POPs), termasuk zat-zat seperti bifenil poliklorinasi (PCB) dan diklorodifeniltrikloroetana (DDT). Karena tahan terhadap degradasi lingkungan, POPs ini menyebar melalui rantai makanan, mencemari sumber makanan hewan dan manusia. Mikroplastik juga dapat bertindak sebagai vektor untuk polutan lingkungan lainnya seperti polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dan logam berat, yang diserap oleh permukaannya. Hal ini mengakibatkan terbentuknya campuran polutan plastik yang berbahaya di lingkungan, yang semakin meningkatkan dampak merugikan dari sampah plastik.
Mikroplastik, partikel plastik berukuran kecil yang ada di lingkungan kita, telah masuk ke dalam rantai makanan manusia. Diperkirakan bahwa setiap orang secara tidak sadar menelan plastik seukuran kartu kredit setiap pekannya. Konsumsi plastik ini termasuk mikroplastik yang ditemukan dalam air minum kemasan, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang bioakumulasinya di dalam tubuh manusia, terutama di usus dan hati. Risiko kesehatan yang lebih besar bahkan dikaitkan dengan nanoplastik karena ukurannya yang sangat kecil. Selain itu, telah ditemukan bukti adanya bahan kimia yang mengganggu endokrin (Bisfenol-A) dalam air kemasan yang tersedia secara komersial.
Terlepas dari temuan-temuan tersebut, hingga saat ini, masih ada kekurangan data dan bukti ilmiah yang dapat menimbulkan kekhawatiran akan kesehatan manusia terkait konsumsi mikroplastik melalui air minum.
Industri air minum dalam kemasan juga berkontribusi secara signifikan terhadap polusi karbondioksida, yang merupakan masalah lingkungan utama di seluruh dunia. Pada 2019, emisi dari siklus hidup semua plastik mencapai 860 juta ton karbondioksida di seluruh dunia, angka yang diproyeksikan meningkat tiga kali lipat pada 2050. Jumlah ini setara dengan emisi yang dihasilkan oleh 189 pembangkit listrik tenaga batu bara yang beroperasi dengan kapasitas penuh.
Meskipun data tentang emisi karbon khusus PET, dan khususnya yang berasal dari botol air PET, masih terbatas, dapat dipahami bahwa pembuangan PET, termasuk dari air kemasan, seringkali melalui pembakaran, dapat secara signifikan menambah emisi karbon. Hal ini menggarisbawahi dampak lingkungan dari penggunaan plastik, terutama dalam industri seperti air minum dalam kemasan.
Tingkat daur ulang plastik juga masih sangat rendah, dengan hanya sekitar 14% dari semua plastik yang didaur ulang saat ini, atau naik dari 6,5% sejak dekade 1950-an. Situasi dengan botol PET, kemasan utama untuk air minum dalam kemasan, sangat memprihatinkan karena sebagian besarnya dibuang setelah sekali pakai. Pembuatan botol baru membutuhkan tambahan minyak mentah, sehingga memperparah masalah lingkungan.
Tingkat daur ulang plastik berbeda secara signifikan di antara negara-negara. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kebijakan dan peraturan setempat. Negara-negara seperti Denmark, Jerman, Norwegia, dan Swiss memiliki peraturan yang ketat, yang menghasilkan tingkat daur ulang plastik yang tinggi, bisa melebihi 80%. Angka ini secara signifikan lebih tinggi daripada tingkat daur ulang rata-rata Eropa sebesar 41% dan jauh melampaui Amerika Utara, dimana tingkat daur ulang PET mencapai sekitar 35% pada 2019.
Meskipun biaya yang terkait dengan daur ulang plastik menjadi tantangan bagi perusahaan, ada kesadaran sosial yang berkembang tentang implikasi lingkungan dari sampah plastik dan kebutuhan mendesak untuk daur ulang.
Kini juga berkembang upaya untuk mencari alternatif ramah lingkungan bagi botol plastik tradisional. Industri telah melihat munculnya bioplastik (terbuat dari tanaman) yang dapat terurai secara alami. Bioplastik ini, yang diperkenalkan pada 1980-an, telah dikembangkan ke dalam berbagai bentuk. Salah satu contohnya adalah botol asam polilaktat (PLA) berbasis jagung, yang, dalam kondisi tertentu, dapat terurai secara alami.
Namun, kondisi yang diperlukan untuk penguraiannya, seperti suhu tinggi, kelembapan tinggi, dan keberadaan mikroorganisme tertentu, biasanya tidak ditemukan di tempat pembuangan sampah, sehingga botol PLA membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terurai jika dibandingkan dengan botol PET. Selain itu, botol PLA berpotensi menyebabkan eutrofikasi ketika memasuki badan air dan telah menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan untuk melekat pada PET, sehingga dapat mempersulit pemisahan.
Alternatif lain yang muncul adalah penggunaan botol ENSO: botol PET konvensional tapi mengandung zat aditif yang dirancang untuk membuat botol lebih menarik bagi mikroorganisme pengurai plastik. Ketika mengurai botol ENSO, mikroorganisme ini mengubahnya menjadi biogas dan humus, dan yang terpenting tidak meninggalkan bahan beracun.
Terlepas dari alternatif-alternatif yang menjanjikan tersebut, semuanya belum menjadi sebagai solusi terobosan yang diakui dan mampu secara signifikan mengurangi dampak lingkungan dari botol plastik.[]
Sumber:
Bouhlel, Z., Köpke, J., Mina, M., and Smakhtin, V., 2023. Global Bottled Water Industry: A Review of Impacts and Trends. United Nations, University Institute for Water, Environment and Health. Hamilton: Canada.