Skip to main content
  • Administrator

Dokter KS Denta: Gula Berbahaya karena Bekerja seperti Narkotika

Kandungan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di Indonesia rata-rata lebih daripada 25 gram. Angka 25 gram adalah batasan kandungan gula tambahan dalam MBDK yang disarankan oleh American Heart Association. Rata-rata MBDK di Indonesia mengandung 30 gram sampai 40 gram gula tambahan.

“Kalau minum satu botol saja, kita sudah melampaui batas harian tersebut,” kata Kurniawan Satria Denta, seorang dokter spesialis anak dalam acara Forum for Young Indonesians (FYI) yang bertajuk “Dunia Tipu-Tipu Minuman Berpemanis dalam Kemasan” yang diselenggarakan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di Jakarta pada 17 September 2022.

Sementara itu, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar, 61,3 persen penduduk di Indonesia yang berusia di atas 3 tahun mengonsumsi MBDK lebih daripada satu botol atau kaleng dalam sehari. Lalu Denta, sebagai dokter spesialis anak, mengungkap bahwa 42,6 persen balita di Indonesia juga sudah terpapar MBDK.

“Ini bahaya sekali. Kita mesti tahu bahwa makin dini seseorang terpapar minuman berpemanis, makin tinggi kemungkinan risikonya menghadapi kondisi obesitas, diabetes, penyakit jantung, ginjal, pembuluh darah, kanker, stroke, gangguan cemas, dan gangguan perilaku.”

Lalu, kenapa gula bisa menjadi penyebab semua komplikasi atau risiko kesehatan tersebut?

Menurut Denta, gula, baik itu yang alami maupun sintetik, bekerja di dalam tubuh kita tidak hanya di level permukaan tapi hingga level molekuler dan seluler. Inilah yang menyebabkan pengaruh gula bisa sangat sistemik.

“(Gula) enggak cuma bisa bikin gigi bolong tapi juga bisa bikin jantung bolong, tidak hanya bisa memporak-porandakan ginjal tapi juga bisa memporak-porandakan hati atau lever karena gula bekerja hingga level molekuler,” papar Denta.

Denta menambahkan, sebenarnya banyak orang menyadari risiko kesehatan terkait konsumsi gula dan MBDK berlebih. Meskipun begitu, lebih dari 60 persen penduduk Indonesia tetap mengonsumsi gula berlebih. Hal itu bisa terjadi lantaran gula bekerja seperti candu.

“Cara kerja gula di otak kita seperti kerja candu, sama kayak kerja narkotika, sama kayak kerja alkohol, sama kayak kerja rokok,” kata Denta.

Otak kita tahu untuk membatasi konsumsi nasi. Otak kita tahu untuk membatasi konsumsi lemak. Otak kita mengirim sinyal agar kita merasa cukup dan berhenti makan daging. Pada suatu waktu, perut kita langsung merasa cukup dan penuh.

“Tapi ketika melihat makanan penutup, kita masih mau makan. Kenapa?” tanya Denta.

Ini karena otak kita tidak mengenal bagaimana caranya membatasi gula. Otak kita tidak begitu pandai membatasi gula karena otak kita justru memberi reward. Kalau makan gula, kita jadi excited.

“Ketika kita mendapatkan gula, ada lonjakan energi, otak memberi hadiah kepada kita, sehingga kita akan meminta lebih.”

Nah, Denta bilang, fakta tersebut diketahui oleh industri minuman berpemanis dalam kemasan. Psikolog, dokter, dan ilmuwan yang bekerja di industri tersebut mengetahui bagaimana cara gula bermain-main dengan dopamine reward system tersebut.

“Makanya, mereka bisa datang dengan slogan ‘berbukalah dengan yang manis’,” kata Denta, “Itu bukan ajaran siapa-siapa, itu ajaran industri.”

Denta lalu memaparkan beberapa solusi yang bisa kita tempuh untuk mengurangi konsumsi gula berlebih. Pertama, kita harus meningkatkan pemahaman kita dengan mau membaca label fakta nutrisi setiap kali akan membeli minuman berpemanis dalam kemasan. Kedua, kita harus membatasi akses kita, terutama anak-anak, kepada MBDK. Ketiga, kita harus meminta pemerintah dan DPR sebagai pemangku kebijakan untuk membatasi akses terhadap MBDK dengan menetapkan cukai terhadap MBDK.

“Ada satu metanalisis yang saya baca bahwa dengan menetapkan cukai atas MBDK, konsumsi MBDK akan menurun sebesar 15 persen dan bisa menyelamatkan 2 juta orang dari kematian akibat konsumsi gula berlebih,” kata Denta mengakhiri paparannya.[]

gula, narkotika