Skip to main content
  • Administrator

Perlu Insentif Legislatif untuk Atasi Masalah Daur Ulang Plastik

Ketika plastik sekali pakai diperdebatkan, kita mungkin akan mendapatkan pernyataan bahwa, “daur ulang plastik itu tipu-tipu”, atau setidaknya, “daur ulang plastik sulit dilakukan”. Pernyataan pertama jelas salah. Plastik bisa didaur ulang dan telah dilakukan. Pernyataan kedua mengandung kebenaran meskipun “kesulitan” pendaurulangan plastik tidaklah disebabkan oleh materialnya itu sendiri.

“Sulitnya” pendaurulangan plastik juga tidak bisa dijadikan alasan untuk menyerah mendaur ulang material yang sangat murah dan bermanfaat dalam mengemas bahan pangan ini. Akar permasalahan pendaurulangan plastik seharusnya bisa ditangani dengan solusi yang tepat.

Sejauh ini jenis plastik yang telah didaur ulang secara luas adalah plastik dengan nomor kode resin 1 (PET) dan 2 (HDPE). Keduanya mencapai tingkat daur ulang rata-rata lebih daripada 70 persen di dunia, termasuk di Indonesia sebagaimana ditunjukkan oleh hasil survei Sustainable Waste Indonesia (SWI) pada September 2021.

Persoalannya terletak pada plastik dengan nomor kode resin 3-7, yang begitu saja dikategorikan oleh fasilitas daur ulang sebagai “tak dapat didaur ulang”. Padahal, jenis-jenis plastik ini secara fisik bisa didaur ulang. Hanya sistem yang beroperasi saat ini belum mendukung prosesnya.

Di negara bagian California, Amerika Serikat, plastik nomor 3-7 memiliki tingkat daur ulang rata-rata hanya 19,5 persen. Sayangnya, tak ada data yang bisa disajikan di sini terkait hal yang sama di Indonesia.

Mari kita lihat apa penyebab mendasar di balik ketidaklayakan daur ulang plastik nomor 3–7, dan apakah ada solusinya.

Kurang adanya insentif

Fasilitas penyortiran di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia, menyatakan bahwa mereka tidak bisa menyortir plastik nomor 3–7. Ini karena tidak ada pasar untuk plastik ini, dan karenanya tidak ada uang atau keuntungan yang dihasilkan dengan menyortirnya.

Data yang dikumpulkan oleh CalRecycle (Departemen Daur Ulang dan Pemulihan Sumber Daya California) menunjukkan nilai sampah plastik nomor 3-7 di California kurang dari 1 persen dari nilai sampah plastik nomor 1 dan 2. Jelas sekali tak ada insentif yang bisa didapatkan fasilitas daur ulang dalam menyortir sampah plastik nomor 3-7.

Pertanyaannya adalah, mengapa? Menurut Jeremi Nuer, pemerhati kecerdasan buatan yang memiliki perhatian kepada persoalan daur ulang plastik, ini karena plastik nomor 3-7 lebih sulit dan mahal untuk didaur ulang daripada PET dan HDPE. Namun, menurut Nuer, ada kekuatan legislatif yang penting untuk dipertimbangkan.

Nuer menjelaskan konteksnya. Di California, ada undang-undang yang mewajibkan wadah atau kemasan minuman plastik memiliki kandungan daur ulang sebesar 15 persen pada 2021, 25 persen pada 2025, dan 50 persen pada 2030. Peraturan yang sama sebenarnya dimiliki Indonesia dalam Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 yang mewajibkan kandungan daur ulang hingga 50 persen pada 2030.

Kemasan minuman plastik sebagian besarnya adalah PET (plastik nomor 1) dan HDPE (plastik nomor 2). Artinya, undang-undang di California itu, menurut Nuer, akan meningkatkan permintaan kepada plastik nomor 1 dan 2.

Sementara itu, di California, tidak ada undang-undang serupa untuk kemasan lain. Ini mengakibatkan fasilitas daur ulang tidak mau repot-repot menyortir jenis plastik selain nomor 1 dan 2 karena tidak ada permintaan khusus untuk plastik-plastik itu, dan tidak ada insentif untuk menyortirnya.

Jadi, terjadilah “lingkaran setan”. Fasilitas daur ulang tidak berminat membangun infrastruktur untuk menyortir plastik nomor 3-7 karena tidak ada permintaan. Legislator tidak mengeluarkan peraturan untuk meningkatkan permintaan karena tidak ada infrastruktur.

Padahal, legislasi untuk kandungan daur ulang terhadap produksi yang melibatkan plastik nomor 3-7, menurut Nuer, akan membantu menciptakan permintaan berkelanjutan yang sejauh ini kurang bagi plastik-plastik jenis ini. Bagi Nuer, sangat mungkin undang-undang semacam itu akan memberi insentif kepada fasilitas daur ulang untuk membangun infrastruktur yang diperlukan bagi plastik nomor 3-7.

“Selama plastik nomor 3–7 tetap diberi label ‘tidak dapat didaur ulang’ oleh industri daur ulang, saya tidak yakin akan ada undang-undang dalam waktu dekat untuk meningkatkan permintaan plastik daur ulang 3–7,” tulis Nuer dalam artikelnya.

Kesimpulan

Pada dasarnya, hampir semua jenis plastik bisa didaur ulang, dan bahkan berkali-kali. Menurut Chris DeArmitt, seorang ahli lingkungan dalam bukunya The Plastics Paradox, jenis plastik nomor 1 sampai 6 dapat didaur ulang, dan hasilnya adalah 87 persen plastik.

Namun, semua itu bisa terjadi jika tersedia fasilitas yang tepat. Jadi, dari sudut pandang teknis, tidak ada alasan untuk tidak mendaur ulang lebih banyak plastik daripada yang telah dilakukan saat ini.

Di Amerika Serikat, sebagaimana disampaikan Nuer dan DeArmitt, dan Indonesia, sebagaimana bisa dilihat dari data survei Sustainable Waste Indonesia, tingkat daur ulang plastik masih kurang dari 10 persen. Tapi, di beberapa negara lain, seperti di Eropa, tingkat daur ulang rata-rata 45 persen. Ini indikasi jelas bahwa harus ada investasi yang tepat dalam infrastruktur daur ulang.[]

Daftar Bacaan

“Sampah Plastik Jenis PET Miliki Tingkat Daur Ulang Tinggi.” 2021. Bisnis.com. 8 September 2021. https://teknologi.bisnis.com/read/20210908/84/1440315/sampah-plastik-jenis-pet-miliki-tingkat-daur-ulang-tinggi.

DeArmitt, Chris. 2020. The Plastics Paradox: Facts for a Brighter Future. Ohio: Phantom Plastics LLC.

Nuer, Jeremi. 2022. “Thesis for Improved Plastic Recycling Infrastructure.” Medium. 1 December, 2022. https://medium.com/@jereminuerofficial/thesis-for-improved-plastic-recycling-infrastructure-39e95f8ca8d6.

daur ulang plastik, insentif, legislatif