
Ekonomi Sirkular: Tak Cukup Plastik, Tapi Juga Budaya Konsumsi
Plastik sejak lama dikembangkan dalam pola ekonomi linear. Akibatnya, hanya 14 persen limbah plastik yang bisa dikumpulkan untuk didaur ulang dan hanya 2 persen yang benar-benar didaur ulang dalam closed-loop atau menjadi plastik kembali.
Fakta tersebut memicu para aktivis lingkungan menekan perusahaan-perusahaan terkenal untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar atas kemasan plastik sekali pakai mereka. Para aktivis dan LSM lingkungan berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut terlalu lama untuk mengganti kemasan plastik mereka dengan bahan yang bisa digunakan kembali atau didaur ulang.
Pada kenyataannya, transisi ke kemasan sirkular (bisa digunakan kembali atau didaur ulang) bukanlah pekerjaan yang mudah bagi industri. Selalu saja ada elemen-elemen yang sulit didaur ulang dari produk dan kemasan produk perusahaan-perusahaan itu.
Pada 2020, misalnya, Starbucks memperkenalkan desain sippy cup untuk minuman kopinya. Gelas plastik ini memiliki cerat yang dibentuk pada tutupnya, sehingga konsumen tidak lagi memerlukan sedotan. Meskipun merupakan langkah ke arah yang benar, secara realistis inisiatif ini hanya akan mengurangi jumlah plastik yang digunakan sekitar 5 persen. Apalagi, desain tutup yang baru bisa jadi mengandung lebih banyak plastik daripada yang lama. Alhasil, insiatif ini malah berpotensi mengurangi dampak keseluruhan dari perubahan tersebut.
Meskipun demkian, beberapa pihak seperti Nicholas Mallos, Direktur Ocean Conservancy, memuji inisiatif Starbucks untuk menghentikan penggunaan sedotan plastik sekali pakai. Mallos menekankan pentingnya perusahaan mengambil peran aktif dalam memerangi masalah polusi plastik di lautan, dimana 8 juta metrik ton limbah plastik masuk ke lautan setiap tahunnya. Dia memuji Starbucks atas kepeloporan mereka dalam hal ini dan mendesak perusahaan lain untuk mengikuti langkah tersebut.
Meskipun penghapusan sedotan plastik oleh Starbucks merupakan upaya yang bertujuan baik, penting untuk diketahui bahwa sedotan hanya sebagian kecil dari plastik yang masuk ke lautan. Di sisi lain, inisiatif ini bisa saja membuat konsumen merasa telah berkontribusi kepada lingkungan dan, pada gilirannya, dapat menghasilkan lebih banyak lagi sampah plastik karena berkurangnya rasa bersalah.
Gagasan ekonomi sirkular bisa menjadi sia-sia ketika kita mencoba mengubah apa yang awalnya telah dirancang sebagai ekonomi linear. Mengadaptasi visi seperti itu ke dalam model ekonomi sirkular menghadirkan tantangan yang cukup besar karena membutuhkan pemikiran dan pengerjaan ulang banyak aspek dari operasi dan produksi perusahaan.
Lebih daripada itu, model ekonomi linear seringkali lebih menguntungkan. Ini salah satunya karena pihak eksternal, yakni pemerintah, menanggung sebagian biaya yang terkait dengan pengelolaan sampah atau limbah.
Model ini juga telah menyebabkan pertumbuhan layanan take-out dan drive-in. Akibatnya, banyak industri bergantung kepada kemasan plastik sekali pakai untuk kenyamanan dan kemudahan. Sistem linear didorong oleh kebutuhan akan produk yang dapat dibeli, dibawa pulang, dan dibuang, sehingga memunculkan ekosistem tempat sampah yang luas dan layanan penjemputan sampah, yang semuanya berfokus untuk mendukung kemasan sekali pakai.
Ekonomi sirkular yang sesungguhnya mensyaratkan pemulihan dan daur ulang semua kemasan plastik sekali pakai menjadi kemasan baru. Perubahan ini bertentangan dengan konsep kenyamanan yang mendasari sistem linear saat ini. Bergerak menuju ekonomi sirkular merupakan proses kompleks dan sulit, yang membutuhkan perubahan signifikan dalam perilaku konsumen dan praktik industri.
Untuk menciptakan ekonomi sirkular yang sesungguhnya, sangat penting untuk menghilangkan konsep linear: beli, bawa pulang, lalu buang. Kita harus menerapkan cara hidup baru yang lebih berkelanjutan.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan mengadopsi gaya lama menikmati kopi ala orang Italia: berdiri di bar untuk minum kopi atau duduk untuk menikmati minuman dalam cangkir yang dapat digunakan kembali. Dengan beralih ke sistem yang berfokus pada pencucian dan penggunaan kembali cangkir, kita dapat mengurangi limbah kemasan secara signifikan dan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Perubahan itu juga berkaitan dengan budaya makan modern, yang merupakan faktor pendorong yang signifikan di balik limbah yang berlebihan. Makan saat bepergian dan makanan ringan portabel telah menyebabkan bencana limbah kemasan.
Untuk mendesain ulang sistem menjadi sirkular dari awal hingga akhir, kita tidak hanya harus mengubah plastiknya tetapi juga budayanya. Dengan mendorong kebiasaan konsumsi yang lebih bijaksana dan mempromosikan alternatif kemasan yang dapat digunakan kembali, kita dapat menciptakan komunitas yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.[]
Sumber:
Alter, Llyod. 9 Januari 2019. “To Get to a Circular Economy We Have to Change Not Just the Cup, but the Culture.” Treehugger. https://www.treehugger.com/if-you-want-circular-economy-you-have-change-our-culture-not-cup-4855622.