Dampak Lingkungan Limbah Makanan: Dari Krisis Air hingga Emisi Karbon
Di Indonesia, permasalahan limbah makanan menjadi perhatian serius. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia menghasilkan sekitar 64 juta ton sampah setiap tahun, dimana sekitar 26 juta metrik ton atau 40% dari total sampah tersebut merupakan sampah sisa makanan. Padahal, menurut penelitian World Food Programme (WFP) pada 2015, sekitar 19,4 juta penduduk Indonesia mengalami ketidakcukupan pangan atau rawan pangan.
Sementara itu, di Amerika Serikat, limbah makanan mencapai 133 miliar pound (sekitar 60,3 juta metrik ton) setiap tahun, dengan total nilai sebesar $161 miliar (sekitar 2.337 triliun rupiah). Angka ini mewakili 31% dari seluruh pasokan makanan dan seperempat dari semua limbah padat perkotaan di Amerika Serikat. Padahal juga, 38 juta orang Amerika mengalami ketidakcukupan pangan.
Limbah makanan tidak hanya menyebabkan masalah bagi jutaan orang yang kelaparan, tetapi juga berkontribusi terhadap perubahan iklim karena menyia-nyiakan sumber daya seperti energi, air, dan sumber daya lain. Makanan yang dibuang di tempat pembuangan akhir juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang signifikan, menambah masalah lingkungan yang serius.
Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat atau EPA mengidentifikasi lima sektor yang menghasilkan limbah makanan terbanyak, yakni sektor institusional, komersial, industri, perumahan, dan bank pangan. Limbah institusional berasal dari berbagai fasilitas umum seperti kantor, rumah sakit, dan universitas, sementara limbah komersial berasal dari penjual makanan seperti supermarket, restoran, dan hotel. Limbah industri dihasilkan selama proses manufaktur dan pengolahan makanan dan minuman, dan limbah perumahan berasal dari rumah tangga. Namun, EPA tidak mengevaluasi limbah makanan pada sektor pertanian, yang tampaknya juga berperan signifikan.
Dari kelima sektor penghasil limbah makanan tersebut, sektor industri adalah penghasil limbah terbesar dengan kontribusi 39%, diikuti oleh sektor komersial dengan 30%, perumahan dengan 24%, dan institusional sebesar 7%. Limbah dari bank pangan sangat minim. Di sektor komersial, 55% limbah berasal dari restoran dan 28% dari supermarket. Sementara di Indonesia, limbah makanan terbesar justru berasal dari rumah tangga (39%), yang diikuti oleh sektor perdagangan (21%), pasar tradisional (16%), kawasan (7%), fasilitas publik (6,8%), dan perkantoran (6%).
Limbah sisa makanan berdampak pada krisis air
UNICEF melaporkan bahwa lebih daripada 2 miliar orang tinggal di negara-negara dengan pasokan air yang tidak mencukupi. Pada 2025, setengah populasi dunia diperkirakan dapat tinggal di daerah yang kekurangan air. Perubahan iklim memang menyebabkan curah hujan berkurang, tetapi penggunaan air berlebih dan infrastruktur serta manajemen yang buruk juga berkontribusi pada krisis air ini. Hampir seperempat dari semua lahan yang ditanami digunakan untuk pertanian beririgasi, yang lebih produktif setidaknya dua kali lipat dibandingkan pertanian tanpa irigasi.
Pertanian menyumbang 70% pengambilan air di seluruh dunia. Peternakan hewan merupakan sektor yang paling intensif dalam penggunaan air. Produksi satu hamburger saja diperkirakan membutuhkan 660 galon air. Jejak total air dari produksi hamburger dengan tambahan bacon, keju, selada, tomat, dan roti adalah 830 galon, hampir lima kali jumlah air yang diminum seseorang dalam setahun.
Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) memperkirakan bahwa sepertiga dari pasokan makanan global tidak pernah dikonsumsi. Ini berarti hampir seperempat dari pengambilan air di seluruh dunia digunakan secara sia-sia karena limbah makanan itu. Jika kebiasaan ini tidak berubah, permintaan air global bisa meningkat 50% pada 2030, sehingga memperburuk krisis air yang sudah ada.
Produksi makanan dan emisi karbon
Sejak awal, produksi makanan menghasilkan karbondioksida, dan deforestasi untuk pertanian berkontribusi kepada kehilangan habitat. Produksi daging sapi dan kedelai bertanggung jawab atas lebih dari dua pertiga kehilangan habitat di Hutan Amazon. Selain itu, mesin bertenaga fosil yang digunakan untuk membersihkan hutan melepaskan karbon ke atmosfer.
Proses pertanian berkontribusi pada sebagian besar emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh produksi makanan. Gas rumah kaca juga terkait dengan panen, pengolahan, pengangkutan, pengemasan, dan penyimpanan makanan. Misalnya, sawah yang tergenang air menghasilkan lebih banyak metana daripada tambak ikan.
Menurut World Wildlife Fund (WWF), emisi dari produksi makanan di Amerika Serikat saja setara dengan emisi yang dihasilkan oleh 32,6 juta mobil. “Karbon tersemat” (embodied carbon) mengacu kepada jumlah emisi yang dihasilkan makanan sebelum mencapai piring kita. Ini mencakup semua emisi yang dihasilkan sepanjang siklus hidup produk makanan.
Berikut data “karbon tersemat” dari beberapa jenis makanan.
| Jenis Makanan | Emisi Setara CO2 per Kilogram |
| Daging sapi | 60 |
| Keju | 21 |
| Cokelat | 19 |
| Kopi | 17 |
| Minyak sawit | 8 |
| Minyak zaitun | 6 |
| Beras | 4 |
| Tomat | 1.4 |
| Susu kedelai | 0.9 |
| Apel | 0.314 |
Persoalan kemasan pangan
Pada 2018, menurut data EPA, 82,2 juta ton plastik dihasilkan, dengan 54% didaur ulang, 9% dibakar, dan 37% dibuang ke tempat pembuangan akhir. Plastik sangat umum digunakan dalam industri makanan, termasuk untuk pengemasan, perlindungan bahan pangan, dan pengangkutan. Plastik populer untuk kemasan produk makanan karena biayanya yang rendah, berat yang ringan, fleksibilitas, dan kebersihannya.
Namun, plastik tidak mudah terurai. Ketika disegel, plastik juga memperlambat dekomposisi makanan, yang berdampak pada emisi metana.
Oleh karena itu, mengurangi limbah plastik pada 133 miliar pound makanan yang berakhir di tempat pembuangan akhir setiap tahunnya dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan pencemaran plastik. Dengan demikian pula, menyelamatkan makanan dari pemborosan dapat berarti emisi gas rumah kaca yang lebih sedikit dari produksi plastik dan limbah plastik.
Emisi dari pembuangan
Membuang 133 miliar pound makanan setiap tahunnya juga menghasilkan gas metana melalui dekomposisi anaerob. Metana dapat dilepaskan sebanyak 8,3 pound per 100 pound limbah makanan. Ini berarti pelepasan metana mencapai total 11 miliar pound per tahun.
Metana merupakan gas rumah kaca yang kuat. Metana memiliki kekuatan pemanasan atmosfer 80 kali lebih besar daripada karbondioksida.
Selain itu, membakar limbah makanan menghasilkan gas rumah kaca lainnya, termasuk di antaranya karbindioksida (CO2) dan nitrousoksida (N2O). Nitrousoksida memiliki potensi 310 kali lebih besar daripada karbondioksida. Ini membuatnya menjadi sangat berbahaya bagi lingkungan.
Diperkirakan limbah makanan bertanggung jawab hingga 8% dari total emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia di seluruh dunia. Mengurangi jumlah limbah makanan bisa menjadi langkah penting untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi lingkungan kita dari dampak perubahan iklim.[]
Sumber:
BPS. 2018. Statistik Lingkungan Hidup 2018. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia. 2020. Laporan Kinerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2019.
United States Environmental Protection Agency. 2020. Advancing Sustainable Materials Management: 2018 Fact Sheet.
USDA. n.d. “Food Waste FAQs.” Usda.gov.
Feeding America. 2019. “Our Approach to Food Waste and Rescue. Feedingamerica.org.
Young, Olivia. 2021. “How Does Food Waste Really Impact the Environment?” TreeHugger, 3 Dsember 2021.