
FMCG Insights: Label Gula pada Minuman Berpemanis Harus Lebih Jelas dan Transparan
Konsumsi gula tambahan yang berlebihan dapat merusak kesehatan kita. Namun, banyak yang tidak menyadari keberadaannya dalam makanan kita.
Meskipun pedoman kesehatan menyarankan untuk mengurangi asupan gula, label produk seringkali tidak mengungkap jumlah gula tambahan dengan jelas. Gula tambahan tidak hanya ditemukan dalam makanan yang jelas-jelas manis, tetapi juga secara diam-diam dimasukkan ke dalam makanan yang dipromosikan sebagai makanan “sehat”, seperti energy bar, jus buah, yoghurt, atau susu oat.
Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan mencatat 61,3 persen orang Indonesia mengonsumsi minuman berpemanis (dengan gula tambahan) lebih daripada satu kali dalam sehari. Ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan transparansi yang lebih besar dalam pelabelan makanan, khusus label gula.
Tantangan dengan Label Makanan Saat Ini
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tentang Informasi Nilai Gizi (ING) pada Label Pangan Olahan memang mewajibkan produsen untuk mencantumkan jumlah gula yang ditambahkan. Namun, konsumen sulit untuk mengetahui jumlah gula tambahan dalam produk hanya dari label saja. Ini karena gula seringkali tersebar di berbagai tempat dengan berbagai nama, sehingga sulit untuk menentukan dan mengukur jumlahnya.
Tabel ING pada pangan olahan memang menunjukkan kandungan total gula. Namun, ING tidak membedakan antara gula yang secara alami ada dalam makanan dan gula yang ditambahkan selama proses produksi. Ketidakjelasan ini, ditambah dengan banyaknya istilah yang digunakan untuk gula tambahan, mengindikasikan bahwa metode pelabelan yang ada saat ini tidak cukup untuk memberi informasi yang tepat dan transparan kepada konsumen.
Mengadvokasi Pelabelan yang Transparan
Untuk memberdayakan konsumen agar dapat membuat keputusan yang lebih sehat, FMCG Insights mengusulkan tiga perubahan utama pada tabel ING:
- Kandungan gula harus eksplisit digambarkan dalam bentuk takaran satuan sendok teh. Minuman berpemanis merupakan sumber utama gula tambahan. Sebagian besar remaja mengonsumsi gula sebanyak yang ditemukan dalam empat kaleng minuman soda atau lebih daripada 38 sendok teh sehari, padahal peneliti kesehatan hanya menyarankan kurang daripada 8 sendok teh per hari. Karena itu, minuman harus mencantumkan kandungan gulanya dengan jelas dalam takaran satuan sendok teh.
- Identifikasi gula tambahan dalam istilah yang jelas. Dengan lebih daripada 60 sinonim untuk gula tambahan yang digunakan dalam daftar bahan pangan, ada kebutuhan mendesak untuk mengelompokkan istilah-istilah ini dalam istilah umum yang jelas, untuk memudahkan pengenalan. Beberapa istilah yang biasa digunakan—dan terkesan mengamuflase keberadaan gula tambahan—di antaranya adalah nektar, sirup barley malt, tetes tebu hitam (blackstrap molasses), palm sugar, sari tebu/kristal sari tebu, karamel, sirup carob, sirup jagung, fruktosa kristal, sirup kurma, dekstrin, dekstrosa, kristal Florida, fruktosa, konsentrat jus, pasta buah, bubuk buah, madu, maltodekstrin, maltosa, sirup maple, molase, muscovado, dan lain-lain.
- Informasi harus jelas, mana gula tambahan dan mana gula instrinsik. Gula intrinsik ditemukan dalam makanan kaya nutrisi seperti susu, buah, dan sayuran. Makanan ini direkomendasikan dan merupakan bagian dari diet yang sehat dan seimbang. Sarannya adalah untuk mengurangi asupan gula tambahan, yaitu gula yang ditambahkan ke dalam produk oleh produsen makanan. Inilah sebabnya mengapa kami ingin jumlah gula tambahan diidentifikasi secara terpisah pada ING.
Meminimalkan Asupan Gula Tambahan
Pendekatan proaktif terhadap kesehatan melibatkan pengurangan konsumsi makanan olahan (processed foods). Ini karena makanan olahan adalah penyebab utama gula tambahan. Sebaliknya, fokus pada makanan utuh (real foods) seperti, daging, telur, buah-buahan, dan sayuran segar dapat mengurangi asupan gula secara signifikan.
Sebagian besar asupan gula kita tidak berasal dari masakan rumah, melainkan dari makanan olahan. Sekitar 74 persen makanan kemasan mengandung gula tambahan. Di Indonesia, menurut data pemerintah, pada 1996, keseluruhan konsumsi minuman berpemanis dari segala jenis hanya sekitar 51 juta liter. Pada 2005, jumlah konsumsi minuman berpemanis mengalami kenaikan yang sangat signifikan, yaitu sebesar 105 persen menjadi sekitar 253 juta liter. Pada 2014, konsumsi minuman berpemanis terus meningkat dengan total konsumsi mencapai 780 juta liter atau meningkat sekitar 71 persen dalam sembilan tahun.
Risiko Kesehatan dari Gula Berlebihan
Asupan gula yang tinggi tidak hanya menyebabkan kenaikan berat badan dan penyakit terkait, seperti diabetes tipe 2 dan penyakit jantung, tetapi juga menimbulkan risiko gigi yang parah. Gula memberi makan bakteri yang mengikis enamel gigi, yang menyebabkan gigi berlubang dan masalah gigi lainnya. WHO menyarankan agar gula tambahan tidak boleh lebih dari 10 persen dari asupan kalori harian kita. Namun, pola konsumsi saat ini, terutama di kalangan remaja, melebihi rekomendasi tersebut.
Makanan ‘Sehat’ yang Menyesatkan
Lorong makanan kesehatan di supermarket, yang dipasangi label “bebas gluten”, “organik”, dan “alami”, mungkin tidak sesehat yang dibayangkan. Banyak dari produk ini memiliki kandungan gula yang tinggi, sehingga sangat penting untuk meneliti labelnya. Produk-produk seperti minuman berenergi, jus buah, susu protein, batang cokelat protein, air kelapa, minuman vitamin C, dan sereal, semuanya memiliki gula tambahan yang cukup banyak. Ini terkadang disembunyikan di balik nama yang berbeda dan label “sehat”.
Langkah Super Indo terkait Label Gula
Waralaba supermarket, Super Indo, pada awal 2023 mengimplementasikan panduan indikator kandungan gula. Waralaba milik Grup Salim ini mengelompokkan produk yang mengandung gula (saat ini baru kategori minuman) melalui indikator warna pada rak display produk. Indikator ditetapkan berdasarkan kandungan gula per 100 ml lalu dikategorikan menjadi 4 warna, yang meliputi: 1) Kuning (kandungan gula ≤ 0,5 gr); 2) Jingga Muda (kandungan gula 0,5 - 6 gr); 3) Jingga (kandungan gula 6 - 12 gr); dan 4) Jingga Tua (kandungan gula > 12 gr).
Upaya tersebut patut diapresiasi. Namun, itu belum cukup karena beberapa hal.
Pertama, indikator hanya berdasarkan atas kandungan gula per 100 ml (per sajian), padahal data menunjukkan konsumen di Indonesia mengonsumsi minuman berpemanis lebih daripada satu botol atau kaleng, yang ukurannya bisa mencapai 300-600 ml, per hari. Kedua, menurut pantauan FMCG Insights, indikator lebih banyak dipasang pada rak minuman teh berpemanis dan minuman berkabonasi, tetapi tidak pada minuman ‘yang selama ini dianggap sehat’, seperti susu berperasa, jus buah, dan yoghurt, padahal kandungan gula tambahannya tetap ada.[]
gula, label pangan, pangan olahan, minuman berpemanis, diabetes, obesitas, Super Indo, informasi nilai gizi