Jika Pemerintah Tak Terapkan Cukai MBDK, Maka Biaya Kesehatan Bisa Naik 33%
Pemerintah Indonesia pernah merencanakan untuk menerapkan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada 2023. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi potensi dampak-dampak kesehatan dari konsumsi gula berlebih.
Berdasarkan informasi terkini, total target dari cukai plastik dan cukai MBDK untuk 2023 ditetapkan sebesar Rp 4,06 triliun. Rincian dari target tersebut mencakup pendapatan cukai produk plastik sebesar Rp 980 miliar dan pendapatan dari minuman bergula dalam kemasan sebesar Rp 3,08 triliun.
Kebijakan ini sebenarnya telah tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2023. Namun, dalam perkembangan berikutnya mengenai rencana ini, sebagaimana disampaikan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dan plastik tidak akan dilakukan pada 2023, melainkan baru akan diterapkan pada 2024. Hal ini menunjukkan adanya penundaan dalam implementasi kebijakan tersebut.
Penundaan penerapan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) oleh pemerintah Indonesia hingga 2024 terutama didasarkan pada beberapa pertimbangan utama. Pertama, pemerintah berusaha menyelaraskan kebijakan ini dengan pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa pemerintah akan mencari keseimbangan antara perluasan barang kena cukai dan kondisi ekonomi secara keseluruhan, dengan mempertimbangkan dampak kebijakan tersebut terhadap kesehatan dan lingkungan serta perekonomian secara luas.
Kedua, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, mengakui bahwa masih ada beberapa faktor yang perlu dibahas lebih lanjut sebelum kebijakan cukai MBDK dapat diterapkan. Faktor-faktor ini mencakup kondisi pemulihan ekonomi, kondisi ekonomi global dan nasional, dari sisi industri, dan inflasi, serta masalah kesehatan yang terkait dengan konsumsi minuman berpemanis. Dengan demikian, dia bilang, penundaan ini mencerminkan pendekatan hati-hati pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan cukai ini dengan mempertimbangkan berbagai aspek penting.
Selain itu, menurut Askolani, penundaan ini ditujukan untuk menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku, di mana ekstensifikasi cukai perlu masuk ke dalam susunan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2024. Menurutnya, pengusulan dan penambahan cukai baru ini perlu melalui mekanisme Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan demikian, meskipun penundaan telah terjadi, rencana penerapan cukai atas minuman berpemanis pada 2024 tampaknya juga belum bisa dipastikan. Dari pernyataan pemerintah, hal yang bisa diperkirakan adalah masih akan adanya pertimbangan berbagai aspek kebijakan dan hukum yang relevan serta persiapan ketentuannya. Artinya, bisa jadi di tahun depan sekalipun, kebijakan ini belum akan diterapkan.
Menanggapi penundaan penerapan cukai terhadap minuman berpemanis ini, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, meminta pemerintah lebih mempertimbangkan aspek kesehatan yang juga menurutnya akan selaras dengan pertumbuhan ekonomi. Dia menyatakan minuman berpemanis berdampak negatif terhadap kesehatan, seperti penyakit diabetes. Said juga mendesak pemerintah agar melihat penerapan cukai terhadap minuman berpemanis ini bukan semata-mata untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap produk-produk tersebut.
Said juga menegaskan bahwa pembahasan mengenai cukai ini sudah berlangsung sejak 2022, tetapi pemerintah belum memberi respons yang diharapkan karena masih membutuhkan waktu untuk menyiapkan regulasi dan perangkat yang diperlukan. Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, menyatakan bahwa pemerintah masih harus mempertimbangkan banyak aspek, termasuk kesiapan industri dan masyarakat terhadap dampak penerapan cukai minuman berpemanis. Pemerintah berencana melanjutkan pembahasan dengan DPR terkait implementasi kebijakan ini, termasuk evaluasi terhadap desain kebijakan yang telah dirancang.
Lembaga non-pemerintah Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyatakan penundaan ini berpotensi memperbesar risiko kesehatan bagi masyarakat. Mereka menyayangkan keputusan penundaan ini karena menilai bahwa cukai MBDK merupakan kebijakan penting untuk segera diterapkan, mengingat beban biaya kesehatan yang tinggi akibat penyakit terkait konsumsi gula.
CISDI menyoroti bahwa alasan kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya karena pandemi tidak relevan dengan penundaan cukai MBDK, mengingat cukai tersebut tidak berasal dari kebutuhan pokok, melainkan dari minuman berpemanis. CISDI juga menekankan pentingnya pembatasan konsumsi MBDK, baik melalui kebijakan cukai, pengaturan pemasaran, maupun pembatasan ketersediaan MBDK di sekolah dan tempat publik, untuk mengurangi risiko kesehatan seperti obesitas, diabetes, hipertensi, kerusakan liver dan ginjal, penyakit jantung, beberapa jenis kanker, dan gizi kurang.
Biaya penanganan diabetes di Indonesia, yang merupakan salah satu penyakit terkait konsumsi gula, diproyeksikan meningkat hingga 33 persen pada 2045. Data dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan biaya pengobatan penyakit gula di Indonesia sebesar US$ 323,8 (sekitar Rp 5 juta) per orang pada 2021, atau meningkat 305 persen dari US$ 80 (sekitar Rp 1,2 juta) per orang pada 10 tahun lalu. Pada 2030, IDF memperkirakan biaya penanganan diabetes ini dapat meningkat 14 persen menjadi US$ 370,6 dan pada 2045 peningkatan biaya penanganan diabetes dapat mencapai US$ 431,7 per orang, lebih tinggi 33 persen jika dibandingkan dengan 2021.
Lebih lanjut, menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan, prevalensi berbagai penyakit terkait gaya hidup di Indonesia adalah sebagai berikut:
- Diabetes: Pada 2023, terdapat 13 persen atau 35 juta dari 270 juta masyarakat Indonesia yang terkena diabetes. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, angka ini meningkat meski ia tak menyebutkan berapa persen peningkatannya.
- Obesitas: Prevalensi obesitas di Indonesia saat ini mencapai 35% dari total populasi sebanyak 270 juta jiwa. Menurut Kementerian Kesehatan, satu dari tiga orang dewasa Indonesia mengalami obesitas dan satu dari lima anak berusia 5 hingga 12 tahun mengalami kelebihan berat badan dan obesitas.
- Penyakit Jantung: Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit jantung di Indonesia adalah sebesar 1,5%. Ini berarti bahwa 15 dari 1.000 orang Indonesia menderita penyakit jantung, dengan angka kejadian yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Data-data tersebut menunjukkan bahwa penyakit gaya hidup seperti diabetes, obesitas, dan penyakit jantung memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia. Ini mengindikasikan adanya kebutuhan untuk intervensi kesehatan dan perubahan gaya hidup secara lebih luas.
Nah, salah satu intervensi kesehatan yang diharapkan dari pemerintah adalah kebijakan cukai terhadap minuman berpemanis. Tapi, sayangnya pemerintah masih maju-mundur, padahal beberapa negara di Asia telah menerapkan cukai terhadap minuman berpemanis.
Di kawasan Asia, cukai ini telah diberlakukan oleh beberapa negara, antara lain Thailand, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Brunei Darussalam, dan India. Penerapan cukai ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengatasi masalah kesehatan publik, khususnya yang berkaitan dengan konsumsi gula berlebih. Di beberapa negara ini, kebijakan fiskal ini dilaporkan telah berhasil menurunkan konsumsi minuman berpemanis di tengah masyarakat[].
Sumber:
- Rachman, Arrijal. 24 Juli 2023. “Minuman Berpemanis Batal Kena Cukai Tahun Ini, Kalau 2024?” CNBC Indonesia.
- “Penerapan Pungutan Cukai Minuman Berpemanis Diundur ke 2024.” Kompas.com. April 18, 2023.
- Ramadhan, Sari. 27 Juli 2023. “CISDI: Penundaan Cukai Minuman Manis Perbesar Risiko Kesehatan.” Antara News.
- “Biaya Penanganan Diabetes Di Indonesia Diproyeksikan Meningkat 33% Pada 2045”. 29 November 2021. Katadata.co.id.
- “Data Kemenkes 2023: 35 Juta Masyarakat Terkena Diabetes.” 3 Februari 2023. Katakini.com.
- “Obesitas Di Indonesia, Satu Dekade Pertambahan Berat Badan.” 11 Oktober 2019. Departemen Gizi Kesehatan UGM.
- “Penyakit Jantung Penyebab Utama Kematian, Kemenkes Perkuat Layanan Primer.” 28 September 2022. Kemenkes.go.id.
- “Menko PMK: Prevalensi Penyakit Jantung Terus Meningkat.” 13 Juni 2021. Mediaindonesia.com.