Skip to main content
  • Administrator

Kementerian Kesehatan Angkat Bicara Soal BPA

Kementerian Kesehatan angkat bicara soal penggunaan Bisfenol A atau BPA pada wadah pangan (makanan dan minuman). Dalam sebuah workshop yang diselenggarakan pada Selasa, 8 November 2022, Kementerian Kesehatan berbagi pandangan yang sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait dengan pemanfaatan bahan kimia sintesis itu pada wadah pangan.

Pelaksana Harian Direktur Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, Cucu Cakrawati Kosim, mengatakan sejumlah penelitian terbaru menunjukan bahwa BPA pada kemasan dapat terurai dan masuk ke dalam produk pangan. FDA atau BPOM di Amerika Serikat sebenarnya menyatakan bahwa BPA itu aman dalam jumlah kecil, tapi sayangnya penggunaan wadah pangan yang dibuat dengan BPA secara tidak tepat bisa memicu pelepasan BPA lebih banyak.

“BPA bisa memicu berbagai masalah kesehatan otak dan kelenjar prostat pada bayi dan anak, selain juga dipercaya bisa memicu perubahan perilaku anak,” kata Cucu. “Sedangkan pada orang dewasa, BPA bisa menyebabkan gangguan kesuburan, baik pada wanita maupun pria.”

BPA digunakan dalam pembuatan plastik jenis polikarbonat atau plastik keras yang tidak mudah pecah. Polikarbonat biasanya digunakan sebagai wadah pangan, baik makanan maupun minuman, seperti stoples, botol minum, tempat makan, dan galon air minum dalam kemasan (AMDK) guna ulang.

Penggunaan lainnya adalah sebagai resin epoksi. Ini material yang digunakan sebagai pelapis dalam kemasan kaleng. Ia berfungsi mencegah karat.

Dalam kesempatan yang sama, ahli dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar, Anwar Daud, juga mengungkap sejumlah studi biomonitoring yang menunjukan aplikasi BPA yang luas telah mengakibatkan bahaya kesehatan bagi manusia. Sebuah penelitian pada 2012 menyatakan manusia terpapar BPA melalui rute dan sumber yang berbeda, tetapi pangan telah dikonfirmasi sebagai sumber utama paparan BPA.

Sebagai xenoestrogen (tipe senyawa kimia yang mengimitasi estrogen—hormon seksual yang berperan dalam perkembangan sistem reproduksi dan karakter seks sekunder), BPA menjadi perhatian para ahli terkait perkembangan beberapa penyakit. “Sebagai contoh, beberapa studi epidemiologi melaporkan peningkatan kadar urin yang berhubungan dengan obesitas, gangguan kesuburan, dan penyakit kardiovaskular,” papar Anwar. Menurut Anwar, Paparan BPA juga dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker. Meskipun badan internasional untuk penelitian kanker belum mengategorikan BPA ke dalam kelompok karsinogenik (penyebab kanker), mereka menyarankan persoalan ini diprioritaskan untuk tinjauan lebih lanjut.

Mengutip aturan yang ditetapkan oleh Otoritas Keamanan Pangan Uni Eropa (EFSA), Anwar menyatakan asupan harian BPA bagi manusia yang dapat di toleransi (tolerable daily intake atau TDI) sementara ini adalah 4 mikogram per kilogram berat badan per hari. Berdasarkan TDI yang ditetapkan itu, maka batas migrasi spesifiknya adalah 0,05 mikrogram BPA per kilogram makanan dalam wadah makanan.

Untuk mengendalikan dan meminimalisasi risiko kesehatan dari paparan BPA, Anwar antara lain merekomendasikan kita untuk mengurangi sumber paparan. Ini dilakukan dengan meningkatkan kesadaran publik dan membuat kebijakan khusus.

BPOM sebenarnya telah merancang revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Dalam revisi tersebut, BPOM antara lain mengatur kewajiban produsen AMDK yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat untuk mencantumkan label “Berpotensi Mengandung BPA”. Pada 2017, Menteri Kesehatan juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 62 Tahun 2017 yang mewajibkan botol susu bayi mencantumkan label “Bebas BPA”.

Sayangnya, hingga kini, revisi peraturan BPOM tersebut belum diresmikan karena mendapat penolakan dari asosiasi produsen AMDK. Mereka berdalih peraturan itu bisa menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan menambah jumlah sampah plastik sekali pakai, padahal produsen penguasa pasar AMDK adalah juga penghasil terbesar sampah plastik sekali pakai.

[Baca juga: Danone Aqua ‘Rajai’ Timbulan Sampah Plastik di Bali]

Sementara itu, Koordinator Kelompok Substansi Standardisasi Bahan Baku, Kategori, Informasi Produk, dan Harmonisasi Standar Pangan Olahan, BPOM, Yeni Restiani mengatakan alasan utama BPOM mewajibkan pelabelan “Berpotensi Mengandung BPA” pada produk AMDK galon polikarbonat adalah adanya potensi migrasi yang telah dijelaskan oleh Anwar. Migrasi adalah terjadinya perpindahan zat pada kemasan kepada pangannya.

“Jadi karena memang BPA adalah monomer (zat pembentuk) plastik polikarbonat, maka kemasan polikarbonat mempunyai kemungkinan melepaskan BPA,” katanya. Apalagi, menurut Yeni, EFSA sudah merevisi TDI BPA pada 2021, dari yang awalnya 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari menjadi 0,00004 mikogram per kilogram berat badan per hari atau 100.000 kali lebih rendah.

Alasan kenapa produk AMDK dijadikan target awal adalah karena produk AMDK banyak dikemas dalam galon polikarbonat. “Dari registrasi pangan olahan yang ada pada BPOM hingga pertengahan 2022, sekitar 22 persen adalah produk AMDK, dan yang dikemas dalam galon polikarbonat mencapai 90 persen,” papar Yeni.

Selain mengurangi sumber paparan, Yeni juga merekomendasikan kepada masyarakat untuk memperhatikan perlakukan pada kemasan polikarbonat, baik pada tahap produksi, distribusi, maupun konsumsi. Misalnya, proses pencucian yang tidak tepat (seperti dicuci dengan air bersuhu lebih daripada 75 derajat celcius) bisa mengakibatkan potensi migrasi. Demikian juga halnya penggunaan sikat yang terlalu keras sehingga menimbulkan goresan-goresan pada galon, adanya residu detergen yang digunakan pada proses pencucian, dan juga penyimpanan yang tidak tepat, seperti di bawah sinar matahari langsung atau dekat dengan benda-benda berbau tajam.

“Itu adalah faktor-faktor yang memengaruhi risiko migrasi BPA ke produk pangan,” katanya.

Yeni lebih jauh mengatakan semua itu sebenarnya sudah ada aturannya di Indonesia. Dia menyebut sejumlah beleid, seperti (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (kewajiban menggunakan kemasan pangan yang tidak membahayakan kesehatan manusia); (2) Permenperin Nomor 24 Tahun 2010 terkait kewajiban mencantumkan logo tara pangan dan kode daur ulang; (3) Peraturan Dirjen Industri Agro dan Kimia No.36/IAK/Per/8/2010 tentang Pelaksanaan dan Pengawasan Pencantuman Logo Tara Pangan dan Kode Daur Ulang pada Kemasan Pangan dari Plastik; (4) Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan (kewajiban pencantuman cara penyimpanan); (5) Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2021 (pencantuman tulisan, logo, dan gambar terkait keharusan kemasan pangan memenuhi standar keamanan); dan (6) Peraturan BPOM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan (batas migrasi BPA).

Semua aturan di atas, termasuk rencana BPOM mengatur kewajiban pelabelan “Berpotensi Mengandung BPA”, menurut Yeni, merupakan upaya mitigasi risiko yang sedang dilakukan oleh pemerintah. “Dalam membahas ini, kami (BPOM) tidak sendirian, tapi melibatkan beberapa kementerian dalam sebuah tim pakar,” katanya.

Maka, tinggallah kini kehendak pelaku usaha untuk ikut terlibat dalam mitigasi risiko ini, agar masyarakat konsumen merasa aman dalam mengonsumsi produk pangan olahan.[]

BPA, kementerian kesehatan