Skip to main content
  • Administrator

Kenali Beda Etilena Glikol dalam Obat Sirop dan pada Kemasan AMDK

Etilena glikol pastinya nama yang asing bagi kebanyakan orang yang tak berkecimpung di bidang kimia dan farmasi. Namun, nama ini belakangan makin dikenal publik di Indonesia menyusul munculnya kasus gagal ginjal akut pada anak. Konsumsi obat sirop penurun demam yang terkontaminasi oleh etilena glikol dan dietilena glikol diduga menjadi penyebab kasus misterius tersebut.

Hingga 18 Oktober 2022, dilaporkan ada 206 kasus gagal ginjal akut pada anak di 20 provinsi. Dari jumlah kasus itu, 99 anak meninggal dunia atau tingkat kematiannya mencapai 48 persen.

Bahan kimia organik ini sebenarnya sudah lama ada di sekitar kita. Etilena glikol adalah salah satu penyusun (monomer) molekul plastik jenis polietilena tereftalat atau PET. Plastik ini banyak digunakan oleh industri makanan dan minuman sebagai bahan baku kemasan produk mereka.

Mungkin belum muncul kecemasan terkait etilena glikol pada kemasan PET, terutama pada produk air minum dalam kemasan (AMDK) yang menjadi konsumsi harian masyarakat. Tapi, ini bisa menjadi persoalan jika tidak segera dijelaskan oleh ahli dalam bidangnya.

Sebagaimana bahan kimia lain, etilena glikol memiliki potensi bahaya bagi kesehatan manusia jika mencemari makanan dan minuman dalam jumlah di atas ambang batas aman. Di antara potensi bahaya itu antara lain keterkaitannya dengan kondisi sakit kepala, sakit perut, gagal ginjal, hingga kerusakan otak.

Ahli teknologi polimer dari Universitas Indonesia, Mochamad Chalid, menjelaskan bahwa etilena glikol yang menjadi monomer pada berbagai kemasan plastik PET (seperti botol dan galon AMDK sekali pakai) berbeda dengan etilena glikol yang disebut dalam kasus gagal ginjal akut pada anak. Etilena glikol dalam obat sirop yang berujung pada kasus gagal ginjal akut digunakan di dalam produknya (siropnya) sebagai zat aditif pembantu pelarut, dan bukan pada kemasannya. Ini jelas berbeda dengan etilena glikol yang digunakan sebagai zat penyusun plastik PET yang kemudian dibuat menjadi kemasan.

Chalid kemudian memaparkan proses pembuatan kemasan PET. PET tersusun dari etilena glikol dan asam tereftalat dengan katalis yang disebut antimon.

Saat terjadi reaksi antara etilena glikol dan asam tereftalat yang berbentuk cairan, terbentuklah padatan yang disebut “kalung mutiara” (PET). Jika telah terbentuk untaian “kalung mutiara”, akan hilanglah karakteristik utama dari etilena glikol dan asam tereftalat.

“Jadi kalau PET sudah terbentuk, maka indikasi terkait karakteristik etilena glikol, seperti sifat toksiknya, itu sudah tidak ada lagi,” kata Chalid.

Hal yang sama juga terjadi pada katalisnya (antimon). Selain katalis ini digunakan dalam jumlah yang sangat sedikit, ketika sudah terbentuk untaian “kalung mutiara” tadi, maka katalis (antimon) secara otomatis akan dikeluarkan dari sistem atau mengambang, sehingga mudah dipisahkan.

“Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit dan tentunya berada dalam kondisi ambang batas yang aman, sehingga teknologi PET ini tidak bermasalah untuk diaplikasikan sebagai kemasan makanan dan minuman.”

Lalu apakah etilena glikol yang telah berubah menjadi bentuk padat berupa plastik PET bisa luluh kemudian berimigrasi kepada produk makanan dan minuman dalam kemasan?

Chalid mengatakan, dalam kondisi normal, PET yang digunakan sebagai kemasan tidak mudah luluh, apalagi kemudian mencemari makanan dan minuman. Menurut Chalid, diperlukan kondisi suhu ekstrem dari 225 hingga 250 derajat celcius bagi “kalung mutiara” tadi untuk lepas atau leaching dan kemudian menjadi etilena glikol kembali.

“Alhasil, penggunaan PET untuk kemasan makanan atau minuman itu aman, sehingga banyak digunakan di dunia.”

Menurut Chalid, ada beberapa kondisi yang harus terpenuhi sehingga proses pelepasan atau leaching terjadi. Pertama, dibutuhkan suhu ekstrem (225-250 derajat celcius). Kedua, ada penambahan katalis kembali.

“(Kondisi) itu sebenarnya mirip dengan proses daur ulang (recycling) PET agar menjadi bahan baku kembali.”

Dari penjelasan di atas, kita harus membedakan etilena glikol dalam kasus gagal ginjal akut pada anak dengan etilena glikol pada kemasan botol dan galon AMDK. Dalam kasus pertama, etilena glikol menjadi zat yang ditambahkan (aditif) pada produk (sirop) sebagai pembantu pelarut atau cemaran yang dihasilkan dari pelarut, seperti propilena glikol (sebagaimana banyak diberitakan). Dalam konteks botol dan galon AMDK, etilena glikol hanyalah penyusun plastik yang menjadi bahan baku kemasan, dimana etilena glikol dan sifat toksiknya sudah tidak ada lagi.

“Etilena glikol pada kemasan itu bentuknya sudah padat sementara pada sirop itu bentuknya cairan, sehingga (etilena glikol pada sirop) lebih memungkinkan memberi efek racun,” kata Chalid.

Bahan-bahan kimia penyusun kemasan plastik pada dasarnya aman selama kemasan itu digunakan normal. Pertama, kemasan plastik untuk makanan dan minuman, termasuk AMDK, tidak digunakan tanpa batas alias berulang-ulang. Kemasan PET sendiri memang hanya digunakan sekali. Kedua, kemasan plastik tidak ditempatkan pada kondisi ekstrem dalam jangka waktu lama.

Penjelasan Chalid didukung oleh Frank Welle, ahli kimia dari Freiburg University, Jerman dalam artikelnya “The Facts about PET”. Welle mengatakan PET merupakan jenis plastik yang lebih inert atau lengai jika dibandingkan dengan jenis plastik lain. Artinya, bahan-bahan kimia penyusunnya tidak mudah luluh, apalagi berimigrasi. Tentu saja, seperti dikatakan Chalid, Welle juga mengatakan hanya kondisi ekstrem tertentu, seperti yang dilakukan dalam percobaan di dalam laboratoium, yang bisa membuat etilena glikol lepas dari untaian “kalung mutiara” yang membentuk PET.[]

amdk, Etilena Glikon, obat sirop