
Studi: 87% Produk Pangan Berpemanis Hanya Mengandung Gula Tambahan
Ketika para pejabat kesehatan masyarakat menyerukan pengurangan, dan bahkan penghilangan, gula tambahan dari dalam produk makanan dan minuman, sebuah studi baru yang diterbitkan oleh Georgetown University Business for Impact Center malah menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Laporan studi tersebut mencatat bahwa gula tambahan mendominasi produk yang mengandung pemanis, dengan 87% produk diformulasikan dengan cara ini.
Temuan tersebut lebih lanjut menyimpulkan bahwa penggunaan pemanis rendah atau tanpa kalori (LNCS) makin diperlukan untuk menggantikan gula tambahan dalam jumlah yang berarti. LNCS diyakini bisa menawarkan cara yang efektif dan lebih aman.
Pemanis rendah atau tanpa kalori yang ada saat ini tidak seperti “siklamat” pada 50 tahun yang lalu, yang mana telah dilarang pada 1969 karena dicurigai sebagai pemicu kanker (karsinogenik). Namun, pemanis non-kalori masa kini seperti stevia, sucralose, dan aspartam memang harus diakui terkadang mengalami kesulitan untuk meyakinkan konsumen dan otoritas kesehatan masyarakat bahwa mereka bisa memiliki peran penting dalam menggantikan gula tambahan.
Setelah melakukan peninjauan yang cermat terhadap puluhan penelitian ilmiah, para peneliti melihat bahwa menggunakan LNCS sebagai pengganti gula tambahan dapat memberi manfaat dalam menurunkan berat badan, menurunkan indeks massa tubuh (BMI), dan mengurangi asupan gula. Penelitian ini, yang dikenal sebagai uji coba terkontrol secara acak, merupakan standar terbaik dalam menentukan hubungan sebab-akibat, tidak seperti penelitian observasional lain yang sering dikutip di media.
Ketika Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan otoritas kesehatan terkemuka lainnya mengatakan kepada kita untuk mengurangi gula tambahan, konsumen sebenarnya telah menerima pesan tersebut. Menurut International Food Information Council (IFIC), hampir 3 dari 4 orang sudah mencoba membatasi atau menghindari konsumsi gula, terutama gula tambahan. Data Natural Marketing Institute (NMI), yang juga digunakan dalam studi Georgetown University ini, menegaskan bahwa “kandungan gula” dan “gula tambahan” termasuk di antara empat item teratas yang paling sering dicek pada label pangan (kalori dan natrium adalah dua item lainnya).
Namun, inilah masalahnya: konsumen ternyata tidak ingin mengorbankan rasa, atau benar-benar menolak rasa manis dari makanan mereka. Survei yang dilakukan oleh IFIC, NMI, dan perusahaan riset lainnya secara terus menerus menghasilkan kesimpulan yang sama: alasan utama mengapa konsumen membeli suatu produk adalah karena rasanya.
Di sinilah, LNCS dapat membantu konsumen memenuhi kebutuhan mereka akan rasa manis dan membantu mereka mengatur berat badan pada saat yang bersamaan. Faktanya, banyak sekali merek makanan dan minuman populer yang sudah mengandung LNCS. Pemanis-pemanis tersebut telah digunakan dengan aman selama beberapa dekade.
Jadi, di mana masalahnya?
Sejak siklamat dilarang pada 1969 dan aspartam diperkenalkan pada awal 1980-an, ada kecurigaan terkait keaslian bahan-bahan rendah dan tanpa kalori ini. Hal ini terjadi meskipun ada proses persetujuan yang berliku-liku yang disyaratkan oleh beberapa badan pengawas makanan dan penelitian yang cukup banyak dari para ahli mengenai masalah ini.
Studi Georgetown University ini mencoba menengahi semua kebisingan dan mengemukakan beberapa kebenaran yang tidak menyenangkan: bahwa menjadikan LNCS sebagai pengganti gula tambahan tidak hanya memberikan manfaat dalam penurunan berat badan, indeks massa tubuh yang lebih rendah (BMI), dan pengurangan asupan kalori, tetapi juga LNCS ternyata tidak berdampak pada kadar glukosa darah dan insulin, dan bahwa LNCS aman.
Dengan adanya rekomendasi WHO agar konsumen membatasi asupan gula tambahan hingga 10 persen dari asupan kalori harian, maka seharusnya lebih banyak makanan dan minuman yang memanfaatkan LNCS untuk mencapai tujuan tersebut.
Salah satu tantangannya adalah mengatasi kesalahpahaman. Dengan semakin meningkatnya preferensi terhadap bahan-bahan yang “alami”, banyak konsumen yang secara otomatis menganggap sesuatu yang tidak alami atau buatan tidaklah aman. Kita membutuhkan lembaga tepercaya untuk menjernihkan kebingungan ini, karena sudah jelas bahwa efek gula tambahan pada kesehatan masyarakat lebih besar daripada potensi kesalahpahaman mengenai LNCS.
Kita kini harus fokus pada gambaran besarnya: dunia kini menghadapi epidemi kelebihan berat badan dan obesitas, dan organisasi seperti WHO menyatakan bahwa gula tambahan dan kalori yang menyertainya adalah faktor yang terkait. Jika konsumen – atau publik – menginginkan produk yang mengutamakan rasa, bersama dengan manfaat tambahan yang tidak terlalu buruk, maka LNCS dapat memenuhi kebutuhan tersebut dalam lebih banyak produk.[]
Sumber:
Cardello, Hank. October 31, 2023. “87% of Sweetened Products Contain Added Sugars Only, Study Finds.” Forbes.
gula, berpemanis, minuman berpemanis, diabetes, pemanis non-gula, obesitas