Limbah Makanan Lebih Berbahaya bagi Lingkungan daripada Sampah Plastik
Kemasan plastik, terutama yang sekali pakai, hari-hari ini dianggap musuh lingkungan. Kemasan plastik yang berakhir menjadi timbulan sampah, dan kemudian tak terkelola, serta tercecer di lingkungan hanya bisa diurai alam paling tidak dalam 1.000 tahun.
Alhasil, ia mencemari lingkungan.
Perhatian pemerintah, media, aktivis lingkungan, selebritas, dan figur publik saat ini benar-benar ditunjukkan kepada plastik dan dampak limbahnya terhadap lingkungan serta krisis iklim. Kampanye-kampanye “anti-plastik” kini viral berseliweran di internet dan media sosial. Selain itu, tak kalah gencar sosialisasi penggunaan kantong-kantong belanja guna ulang di toko-toko kelontong serta penggunaan sedotan non-plastik (entah itu sedotan kertas, baja, atau besi).
Pandangan terhadap plastik seperti di atas tak akan kita temukan dalam satu dekade silam. Plastik dulu dipandang sebagai material paling berguna untuk menyimpan makanan.
Simon Lockrey, profesor dari School of Design, RMIT University, Melbourne, Australia, menceritakan bagaimana Coca Cola beralih dari botol kaca ke botol plastik sebagai kemasan produk minumannya. Pada 1970, perusahaan itu meriset dampak lingkungan dari botol kaca guna ulang. Riset itu kemudian menemukan bahwa botol plastik sekali pakai bisa lebih baik dalam banyak konteks daripada botol kaca. Sejak awal 1990-an, Coca Cola pun beralih ke plastik.
Menurut Lockrey, riset pada 1970 itu menggunakan metode yang saat ini dikenal sebagai “penilaian siklus hidup”. Metode ini menghitung energi yang digunakan serta limbah dan emisi yang dihasilkan pada setiap tahap dari pembuatan, penggunaan, dan pembuangan kemasan serta mengaitkan potensi dampak lingkungan kepada setiap tahap tersebut. Untuk alasan komersial, hasil lengkap dari riset Coca Cola tidak dipublikasikan, tetapi ringkasan yang dirilis pada 1976 menyimpulkan bahwa sumber daya yang diperlukan untuk memelihara sistem terkait kemasan botol kaca guna ulang lebih besar daripada botol plastik sekali pakai.
Penilaian siklus hidup, menurut Lockrey, merupakan metode yang baik untuk menyelidiki pertukaran lingkungan yang kompleks. Sejak riset Coca Cola itu, plastik dianggap bisa meminimalisasi masalah global lain, yakni pemborosan makanan dan limbahnya.
Hal itu karena kemasan plastik yang dirancang dengan baik mampu membantu memperpanjang usia simpan dengan melindungi makanan dari benturan, panas dan dingin, berbagai gas dan cahaya yang merusak. Ini terjadi tentu saja karena rantai pasokan makanan dan minuman makin rumit dan menjadi global.
Kemasan plastik juga dipandang berperan dalam membantu menghemat makanan setelah berada di rumah. Saset pengurang kelembapan, ritsleting yang dapat ditutup kembali, informasi pada kemasan tentang saran penyimpanan yang benar, tanggal kedaluwarsa, semuanya berfungsi untuk menjaga makanan tetap dalam kondisi terbaiknya. Alhasil kemasan plastik dianggap bermanfaat dalam meminimalisasi terjadinya pemborosan makanan.
Plastik juga uniknya merupakan bahan kemasan paling ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan lain seperti baja, aluminium, kaca, dan kertas. Tanpa plastik, dunia akan mengonsumsi energi dua kali lipat lebih banyak. Misalnya, produksi alumunium mengonsumsi energi 74,1 kWh per kilogram, baja mengonsumsi 13,9 kWh per kilogram, kaca mengonsumsi 7,9 kWh per kilogram, kertas mengonsumsi 7,1 kWh per kilogram, sementara plastik hanya mengonsumsi 3,1 kWh per kilogram.
Tapi, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, plastik kini benar-benar dipandang berbeda. Bahan ini dianggap sebagai masalah yang harus diselesaikan.
Persoalannya, benarkah sampah plastik satu-satunya masalah, atau setidaknya masalah terbesar, terhadap lingkungan? Mari kita melihat data timbulan sampah, terutama di Indonesia.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, timbulan sampah di Indonesia mencapai 30,34 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sampah plastik menyumbang 17,3 persen atau sekitar 5,24 juta ton.
Lantas, sampah jenis apakah yang mendominasi timbulan sampah di Indonesia? Jawabannya adalah sampah sisa makanan yang berkontribusi 40,3 persen atau 12,23 juta ton.
Meskipun lebih besar, bukankah sampah sisa makanan merupakan sampah organik yang cepat diurai oleh alam? Jawabannya ya, tapi persoalannya lebih kompleks daripada itu.
Setiap potongan makanan yang mendarat di tempat pembuangan sampah memiliki dampak besar terhadap lingkungan. Jika sampah plastik menghasilkan emisi karbondioksida saat dibakar, maka sampah sisa makanan menghasilkan gas metana dalam jumlah besar gas saat membusuk. Ini merupakan ancaman yang lebih besar daripada karbondioksida bagi bumi.
Menurut EPA (Environmental Protection Agency—Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat), satu ton metana menyebabkan kerusakan 25 kali lebih banyak terhadap atmosfer selama periode 100 tahun daripada satu ton karbondioksida. Melihat betapa sedikitnya perhatian yang diberikan kepada limbah makanan ketika ada pembicaraan tentang krisis iklim merupakan sesuatu yang mengejutkan.
Sebagaimana plastik, ini juga bukan hanya soal makanan yang dibuang ke tempat sampah. Semua energi dan air yang digunakan untuk menanam, memanen, mengangkut, dan mengemas makanan juga menjadi terbuang sia-sia.
Jika di Indonesia, ada 12,23 juta ton limbah makanan, maka di dunia sendiri ada 1,3 miliar ton makanan yang disia-siakan. Nilainya diperkirakan mencapai satu miliar dolar AS per tahun. Jumlah itu pun bisa memberi makan dua miliar orang yang kelaparan di dunia sebanyak dua setengah kali dalam sehari.
Gas metana 30 kali lebih kuat sebagai pemerangkap panas daripada karbondioksida. Saat makanan mulai membusuk di tempat pembuangan sampah, bakteri anaerobik mengurainya dan melepaskan metana. Setelah dilepaskan ke udara, metana mengendap di atmosfer dan memerangkap panas, sehingga berkontribusi kepada perubahan iklim.
Meskipun perhatian kepada sampah plastik tentu saja penting, semakin jelas juga bahwa perhatian kepada limbah makanan harus jauh lebih besar.
Persoalan lain, jika dibandingkan dengan sampah plastik, limbah organik sisa makanan saat ini sulit didaur ulang. Kenyataan ini disampaikan Waste4Change, sebuah perusahaan sosial yang berupaya menghadirkan solusi kepada pengelolaan sampah.
Kepada tim FMCG Insighst, perwakilan Waste4Change menyampaikan tantangan terbesar mereka saat ini adalah limbah organik sisa makanan. Selain jumlahnya besar, limbah sisa makanan tidak memiliki nilai ekonomi sehingga tidak ada perusahaan yang tertarik untuk mengupayakan daur ulang atau pemanfaatannya kembali.
Sejauh ini, Waste4Change mengembangkan bisnis belatung dengan memanfaatkan limbah sisa makanan. Belatung-belatung yang dikembangbiakkan dari sisa makanan itu diproses menjadi bahan bagi pembuatan berbagai produk, di antaranya kosmetik. Tapi, menurut mereka, kapasitas produksi masih sangat terbatas.
Dari jumlah 30 juta ton lebih timbulan sampah di Indonesia, baru sekitar 65 persen yang bisa dikelola. Pengelolaan di sini berarti pemanfaatan kembali, pendaurulangan, dan penanganannya. Penanganan adalah pemrosesan akhir sampah di tempat pembuangan akhir sampah.
Itu juga berarti sampah yang tidak terkelola mencapai 35 persen. Sampah-sampah ini tercecer di lingkungan, mengotori sumber air, udara, dan tanah.
Secara kontras, di antara timbulan sampah, sampah plastik sebenarnya berpotensi besar untuk dimanfaatkan kembali dan didaur ulang. Namun, di Indonesia saat ini, baru 30 persen sampah plastik yang didaur ulang.
Jumlah industri daur ulang mencapai 1.000 perusahaan dengan tenaga kerja lebih daripada 3 juta orang. Kapasitas produksinya mencapai 2,3 juta ton per tahun. Dari kapasitas itu, hanya 1,5 juta ton yang disuplai dari sampah lokal. Sisanya, sekitar lebih daripada 700 ribu ton, harus diimpor.
Indonesia sendiri mengonsumsi plastik sekitar 5,7 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, 3 juta ton adalah plastik yang bisa digunakan kembali (reuseable) sementara 2,7 juta ton adalah plastik sekali pakai. Dari 2,7 juta ton plastik sekali pakai, baru 1 juta ton yang bisa didaur ulang sementara yang menjadi sampah sekitar 1,7 juta ton.
Artinya, dengan melihat data kapasitas dan kebutuhan bahan baku industri daur ulang nasional serta data sampah plastik, masih sangat besar potensi yang bisa dioptimalkan. Jika ini bisa dilakukan, maka ekonomi sirkular di Indonesia akan berkembang dan menghidupi banyak orang serta jumlah sampah yang tidak terkelola pun makin berkurang.
Tantangannya, menurut Waste4Change, berada di hulu, yakni pada pengumpulan dan pemilahan sampah. Kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya sekaligus memilah berbagai jenis sampah masih rendah. Pemilahan ini sangat bermanfaat dalam proses pemanfaatan kembali dan pendaurulangan. Sebab, makin terpilah, makin sampah itu memiliki nilai ekonomi, terutama sampah plastik.
Kepada FMCG Insights pada Juni lalu, ahli teknologi lingkungan, Firdaus Ali, mengatakan bahwa kampanye yang harus digiatkan bukan hanya pengurangan penggunaan plastik, atau bahkan pelarangan penggunaan plastik, tapi juga bagaimana mengubah sikap kita terhadap sampah plastik. Itu lebih penting dilakukan agar sampah plastik tidak berakhir di tempat pembuangan sampah tapi menjadi bahan baku bagi ekonomi sirkular.
Hal senada disampaikan Lockrey. Dia menulis, jika pengurangan kemasan (plastik) akan menyebabkan lebih banyak limbah makanan, maka pendekatan yang bernuansa dan canggih diperlukan untuk mempertimbangkan masalah kembar ini. Pada akhirnya, menurut Lockrey, pilihan terbaik bagi lingkungan adalah mengurangi keduanya, baik kemasan (plastik) yang berlebihan maupun limbah makanan.[]
Daftar Bacaan
Lockrey, Simon. (18 Juni 2022). Plastic Pollution Is Bad, But Food Waste Is Far Worse. Diambil pada 6 Juli 2022 dari https://en.tempo.co/read/1603295/plastic-pollution-is-bad-but-food-waste-is-far-worse.
Saraswati, Aviaska Wienda. (3 Februari 2022). The Threat of Indonesian Waste Management Problem. Greeneration Foundation. Diambil pada 6 Juli 2022 dari https://greeneration.org/en/media/green-info/the-threat-of-indonesian-waste-management-problem/.
Toner, Jane. (19 Juli 2022). Could Food Waste Be Worse For the Environment Than Plastic? Food Cycler. Diambil pada 20 Juli 2022 dari https://www.foodcycler.com/post/could-food-waste-be-worse-for-the-environment-than-plastic.
Kusumastuti, Diana. (2022). Peran Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS 3R): Infrastruktur Pengolahan Sampah Skala Komunal untuk Mitigasi Perubahan Iklim. [Slide Presentasi].
Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia. (2022). Kolaborasi Pengelolaan Sampah Mandiri dan Berkelanjutan. [Slide Presentasi]. ADUPI.
Direktorat Jenderal Industri Kimia Farmasi dan Tekstil. (2020). Peran Industri Plastik dalam Mengelola Sampah Plastik yang Dihasilkan. [Slide Presentasi].