Skip to main content
  • Administrator

Mengenal Etilen Oksida, dan Mengapa Bisa Ada di Indomie

Temuan residu etilen oksida dan senyawa turunannya dalam produk pangan olahan merupakan isu baru keamanan pangan. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Indonesia, temuan ini dimulai dengan notifikasi oleh European Union Rapid Alert System for Food and Feed (EU RASFF) pada 2020 tentang ditemukannya etilen oksida pada biji wijen dari India. Selanjutnya, pada 2021, EU RASFF juga mengeluarkan notifikasi terkait temuan etilen oksida pada locust bean gum (getah kacang belalang) dan pada 2022 terkait temuan etilen oksida pada mie instan serta es krim.

Etilen oksida merupakan senyawa kimia yang di beberapa negara umumnya digunakan di industri, baik sebagai bahan baku untuk sintesis etilen glikol maupun sebagai zat atau bahan sterilisasi untuk alat medis serta sebagai pestisida (fumigan) untuk penanganan pascapanen (post-harvest handling) suatu komoditas pangan. Alhasil, temuan etilen oksida pada produk pangan biasanya dianggap sebagai residu dari pestisida yang melebihi batas maksimal. Penggunaan etilen oksida sebagai pestisida di Indonesia sebenarnya telah dilarang melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pestisida.

Dalam konteks biji wijen, etilen oksida digunakan untuk mengatasi kontaminasi bakteri Salmonella. Berdasarkan informasi dari EU RASFF, dari 2001 hingga 2020 terdapat 658 laporan kontaminasi Salmonella pada biji wijen. Salmonella dapat mencemari biji wijen mulai dari budidaya, penyimpanan, pengolahan pascapanen, kontaminasi silang air yang terkontaminasi, dan proses produksi yang tidak sesuai standar higienitas.

Isu Salmonella pada biji pada biji wijen tidak hanya terjadi pada produk dari India tapi juga ditemukan pada produk biji wijen dari beberapa negara di Afrika. Oleh karena itu, Uni Eropa menetapkan pengawasan ketat terhadap impor biji wijen dari India (2009), Uganda (2016), Nigeria (2017), Sudan (2017), dan Etiopia (2019). Pada 2016-⁠2017, Eropa mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) Salmonellosis (penyakit akibat infeksi bakteri Salmonella) yang ditelusuri berasal dari konsumsi biji wijen asal Nigeria.

Pada September 2020, Belgia mengeluarkan notifikasi pertama terkait etilen oksida pada biji wijen dari India dengan temuan kadar yang sangat tinggi, yaitu 186 miligram per kilogram. Nilai tersebut jauh melebihi batas maksimal residu etilen oksida sebesar 0,5 miligram per kilogram.

Dengan adanya temuan baru tersebut, Uni Eropa segera mengadakan pertemuan krisis pada Oktober 2020 serta menetapkan peraturan baru yang mewajibkan agar setiap pengiriman biji wijen dari India disertai sertifikat resmi yang menyatakan bahwa sampel produk itu sudah dianalisis residu pestisidanya. Dalam Laporan Tahunan EU RASFF 2020, disebutkan bahwa terdapat total 347 notifikasi terkait etilen oksida pada 2020. Mayoritas temuan etilen oksida dilaporkan pada biji wijen dari India atau produk pangan yang menggunakan bahan tersebut dalam formulasinya.

Namun, temuan etilen oksida dan turunannya kini telah meluas tidak hanya pada biji wijen. Berdasarkan data Uni Eropa, dari September 2020 hingga September 2022, terdapat total 857 notifikasi terkait etilen oksida. Jenis komoditasnya beragam, dari kacang-kacangan, sereal, produk roti, rempah-rempah dan herba, suplemen makanan, perisa makanan, makanan ringan, sop dan saus, buah dan sayuran, hingga produk-produk susu.

Dari keseluruhan notifikasi di atas, menurut BPOM, Indonesia menerima 1 notifikasi dari Jerman, yaitu temuan etilen oksida pada produk mie instan pada Desember 2021. Jadi, temuan yang sama oleh otoritas pangan di Taipe, Taiwan, pada 2023 sebenarnya bukanlah temuan baru.

Etilen oksida, sebagaimana telah dijelaskan, adalah gas beracun yang tidak berwarna, memiliki bau seperti eter, reaktif dan mudah terbakar, serta memiliki rumus kimia C2H4O. Etilen oksida merupakan bahan baku yang umum digunakan di industri, misalnya untuk sintesis etilen glikol, agen sterilisasi untuk alat medis, serta digunakan sebagai pestisida di beberapa negara.

Paparan terhadap senyawa ini dapat mengiritasi mata, kulit, dan saluran pernapasan, sehingga menyebabkan pusing dan mual serta mempengaruhi sistem saraf pusat. Etilen oksida berpotensi menyebabkan kanker pada manusia menurut International Agency for Research on Cancer pada 2012. Etilen oksida diklasifikasikan sebagai grup 1 “carcinogenic to humans”. Etilen Oksida ditemukan juga sebagai senyawa genotoksik dan mutagenik.

Bukti karsinogenitas etilen oksida teramati dari studi pada inhalasi kronis di tikus dan mencit. Pada studi, tersebut muncul tumor pada sistem limfa dan pembuluh darah, otak, paru-⁠paru, uterus serta kelenjar payudara.

Batas Maksimal Residu

Etilen oksida diklasifikasikan sebagai senyawa karsinogenik genotoksik, sehingga tidak ada nilai dosis referensi akut atau asupan harian yang dapat ditoleransi yang diidentifikasi. Namun, berdasarkan hasil kajian Bundesinstitut für Risikobewertung (Institut Federal untuk Penilaian Risiko), Jerman, dosis paparan yang masih dapat ditoleransi untuk manusia terhadap etilen oksida adalah 0,037 mikrogram per kilogram berat badan per hari.

Etilen oksida yang terhirup atau tertelan dengan mudah diserap melalui paru-⁠paru dan saluran pencernaan. Etilen oksida juga mudah larut dalam darah, sehingga akan cepat terdistribusi ke seluruh tubuh meskipun kadar etilen oksida yang tersisa pada ginjal dan pankreas lebih tinggi 3-4 kali lipat jika dibandingkan pada darah. Etilen oksida juga cepat diekskresikan dari tubuh, terutama melalui urin. Pada studi yang dilakukan terhadap mencit dengan memberi paparan etilen oksida selama 60-75 menit, 78% senyawa ini diekskresikan melalui urin dalam waktu 48 jam.

BPOM sendiri, dalam Peraturan BPOM Nomor 30 Tahun 2018, memperkirakan kadar yang dapat ditoleransi dari paparan etilen oksida adalah antara 0,01 hingga 0,06 mikrogram per kilogram berat badan per hari, tergantung pada jenis pangan yang dikonsumsi. Berdasarkan perkiraan perkiraan itu, maka risiko atau batas maksimal residu etilen oksida pada pangan olahan yang ditetapkan adalah sebesar 0,01 mikrogram per kilogram berat badan per hari.

Codex Alimentarius Commission (CAC), organisasi internasional di bawah WHO dan FAO, sebenarnya belum mengatur batas maksimal residu etilen oksida. Senyawa ini juga tidak sedang dibahas dalam forum Codex Committee on Pesticide Residue (CCPR). Etilen oksida terakhir dibahas pada sidang CCPR ke-⁠22 pada 1990. Dalam laporan hasil sidang tersebut, dikatakan bahwa senyawa ini belum menjadi prioritas dan data toksikologinya masih terbatas.

Hingga saat ini tidak ada satu pun negara yang mengatur etilen oksida sebagai cemaran pangan. Demikian pula senyawa ini tidak pernah dibahas dalam Codex Committee on Contaminants in Foods (CCCF), melainkan di CCPR. Etilen oksida dan hasil degradasinya saat ini masih dianggap sebagai residu pestisida.

Pengaturan etilen oksida di berbagai negara

1. Uni Eropa

Etilen oksida telah dilarang digunakan di Eropa sebagai pestisida sejak 1991. Saat ini, produk pangan yang beredar di pasar Eropa harus memenuhi regulasi yang menetapkan bahwa batas maksimum residu etilen oksida ada pada rentang 0,01 sampai 0,1 mikrogram per kilogram.

Uni Eropa sendiri menjelaskan bahwa saat ini belum ada batas aman untuk paparan etilen oksida dari pangan. Ada kemungkinan efek bahaya dari senyawa tersebut kepada kesehatan tapi hasil penelitian saintifiknya belum memiliki kepastian.

Mempertimbangkan hal itu, Uni Eropa menerapkan prinsip kehati-⁠hatian untuk menjamin perlindungan konsumen. Inilah yang membuat batas maksimum residu etilen oksida di Eropa ditetapkan pada kuantifikasi limit. Pangan yang mengandung etilen oksida di atas kuantifikasi limit itu (0,01 hingga 0,1 mg/kg) dianggap membahayakan konsumen.

2. Amerika Serikat dan Kanada

Di Amerika Serikat dan Kanada, batas maksimum residu etilen oksida adalah 7 mg per kg. Kanada memandang etilen oksida akan cepat hilang dan residunya akan berkurang signifikan setelah diaplikasikan, sehingga paparan senyawa ini dari pangan, menurut mereka, dapat diabaikan.

3. Korea Selatan dan Jepang

Korea dulu menggunakan etilen oksida sebagai agen fumigasi dan insektisida pada pangan sampai akhirnya melarangnya pada 1991. Di Korea, etilen oksida merupakan pestisida yang tidak diatur batas maksimum residunya secara spesifik. Oleh karena itu, di sana, dikenakan batasan seragam (uniform limit), yakni sebesar 0,01 mg  per kg. Jepang juga menerapkan sistem serupa dengan menetapkan uniform limit 0,01 mg per kg.

4. Taiwan

Sementara itu di Taiwan, etilen oksida sebenarnya secara spesifik tidak disebutkan dalam aturan tentang pestisida. Namun, disebutkan bahwa untuk pestisida yang tidak didaftar, maka harus tidak boleh terdeteksi dalam produk.

5. Singapura

Singapura hanya mengatur batas maksimum residu etilen oksida pada rempah-rempah, dengan batas 50 mg per kg.

6. Indonesia

Indonesia, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43 Tahun 2019 tentang Pendaftaran Pestisida, melarang penggunaan etilen oksida. Namun, menurut BPOM, sebaiknya dalam peraturan ini juga ditetapkan nilai kuantifikasi limit sebagai batasan deteksinya dan nilai ini dapat menjadi rujukan dalam pengawasan pangan olahan.

Menurut BPOM, penolakan ekspor mie instan ke Taiwan sebenarnya sudah terjadi pada Juli 2022. Otoritas kesehatan negara itu menemukan etilen oksida pada bumbu, minyak bumbu, dan cabe bubuk mie instan. Sumber kontaminasi diduga berasal dari bahan, yakni di antaranya bubuk cabe dan jinten, yang kemungkinan dalam proses pengolahannya melibatkan etilen oksida di India. Demikian juga pada komposisi minyak bumbu, terdapat bawang merah hasil impor dari India. Temuan etilen oksida pada mie instan terus berlanjut, sehingga telah terjadi penolakan produk mie instan asal Indonesia di beberapa negara, yakni Hongkong, Singapura, dan Malaysia.

Kandungan etilen oksida juga pernah ditemukan pada produk es krim pada Juli 2022. Indonesia menerima notifikasi dari EU RASFF tentang ditemukannya etilen oksida dengan kadar yang melebihi batas yang diizinkan oleh Uni Eropa. Produk tersebut pun akhirnya ditarik dari peredaran, baik di Indonesia, Australia, Selandia Baru, Malaysia, Singapura Taiwan, Hongkong, negara-⁠negara di Eropa, termasuk Belgia, Spanyol, Perancis, dan Irlandia. Diketahui bahwa penyebab kontaminasi tersebut berasal dari perisa vanila yang digunakan sebagai bahan baku pada beberapa jenis varian es krim.

Berdasarkan pengalaman tersebut, BPOM menyimpulkan bahwa terdapat beberapa kemungkinan sumber kontaminasi etilen oksida pada produk pangan. Pertama, kontaminasi berasal dari residu pestisida. Meskipun sejumlah negara, termasuk Indonesia, sudah melarang penggunaan etilen oksida sebagai pestisida, beberapa negara lain masih mengizinkan penggunaannya. Alhasil, ada potensi masuknya bahan baku yang mengandung residu etilen oksida, terutama dari negara yang masih mengizinkannya.

Kedua, kontaminasi bersumber dari bahan tambahan pangan, yang dalam proses pengolahannya masih melibatkan etilen oksida sebagai agen fumigasi, seperti pada kasus getah kacang belalang. Ketiga, kontaminasi bisa bersumber dari penggunaan etilen oksida sebagai agen sterilisasi alat-alat dalam proses pascapanen.[]


Sumber:

Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2022. “Pedoman Mitigasi Risiko Kesehatan Senyawa Etilen Oksida, 2,6-diisopropilnaftalena dan 9,10-Antrakinon”. Jakarta: BPOM.

etilen oksida, indomie