Skip to main content
  • Administrator

Minuman Berpemanis dan Dampak Kesehatannya

Pemerintah berencana menerapkan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan pada 2023. Alasannya adalah minuman jenis ini berdampak negatif terhadap kesehatan. Meskipun DPR RI sudah menyetujui rencana itu, Pemerintah merasa masih harus mempertimbangkan kebijakan itu dari sisi kesiapan industri dan faktor ekonomi masyarakat.

Apa sebenarnya minuman berpemanis? Lalu apa dampak kesehatan yang ditimbulkannya?

Minuman Berpemanis

Minuman berpemanis atau sugar-sweetened beverages (SSBs) adalah segala jenis minuman dengan tambahan gula dari berbagai macamnya. Gula biasanya terbagi dua: gula bernutrisi maupun gula non-nutrisi, baik alami maupun buatan. Jenis-jenisnya mencakup antara lain gula pasir, gula merah, pemanis jagung, sirup jagung, dekstrosa, fruktosa, glukosa, sukrosa, dan jenis gula lainnya.

Konsumsi minuman berpemanis biasanya dibagi menjadi empat kategori, yaitu air teh dalam kemasan, minuman ringan berkarbonasi, sari buah kemasan, dan minuman kesehatan atau berenergi.

Akhir-akhir ini berkembang pula minuman free sugar atau kadang disebut minuman diet. Minuman jenis ini mengandung gula non-nutrisi atau pemanis buatan (non-nutritive sweeteners—NNSs). Minuman yang ditambahkan NNSs makin populer karena dianggap rendah kalori dan bisa menggantikan gula.

Dampak Kesehatan Minuman Berpemanis

Sejumlah penelitian menunjukkan korelasi signifikan antara peningkatan konsumsi minuman bermanis dengan penambahan berat badan yang memicu obesitas. Korelasi lain yang ditemukan adalah konsumsi minuman berpemanis dengan peningkatan berbagai risiko kesehatan, seperti penyakit jantung koroner dan diabetes.

Karena efek negatif terhadap kesehatan dari konsumsi berlebihan minuman berpemanis, The National Academy of Medicine, lembaga non-pemerintah di Amerika Serikat, telah merekomendasikan kepada negara-negara untuk menerapkan cukai terhadap minuman jenis ini sejak 2009. World Health Organization (WHO) sendiri telah menyarankan orang dewasa dan anak-anak untuk mengurangi asupan gula hingga kurang dari 10 persen total asupan energi per harinya, dan dilanjutkan hingga kurang dari 5 persen.

Di antara sejumlah penelitian terkait pengaruh minuman berpemanis terhadap kesehatan, Malik, Schulze, dan Hu (2006), misalnya, meneliti hubungan antara konsumsi minuman berpemanis terhadap kenaikan berat badan. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif antara konsumsi minuman berpemanis terhadap berat badan, yang pada gilirannya meningkatkan risiko obesitas, baik pada anak-anak maupun orang dewasa.

Menurut Gruber (2015), obesitas sangat erat berkaitan dengan peningkatan risiko sejumlah penyakit degeneratif (proses kemunduran fungsi sel-sel tubuh). Jika pemerintah tidak menanggapi secara serius masalah obesitas, dapat timbul biaya kesehatan yang harus ditanggung pemerintah di kemudian hari.

Penelitian Malik dan kawan-kawan juga mengkaji secara kuantitatif peran minuman berpemanis terhadap perkembangan penyakit kronis terkait metabolisme, seperti sindrom metabolisme dan diabetes tipe 2. Simpulan penelitian menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi minuman berpemanis dengan risiko sindrom metabolisme dan diabetes tipe 2. Seseorang yang mengkonsumsi minuman berpemanis sebanyak 1-2 kaleng per hari secara reguler memiliki risiko diabetes tipe 2 sebanyak 26 persen lebih besar jika dibandingkan dengan orang yang jarang mengonsumsi minuman berpemanis.

Perlu diketahui diabetes adalah penyakit kronis (menahun) berupa gangguan yang ditandai dengan kadar gula darah melebihi batas normal. Diabetes melitus tipe 2 merupakan diabetes yang disebabkan oleh kenaikan gula darah karena penurunan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Diabetes dapat menyerang setiap organ dalam tubuh serta menyebabkan risiko tinggi terhadap kondisi gagal jantung, stroke, dan sirkulasi buruk yang berujung dengan amputasi.

Data Sample Registration Survey (SRS) 2014 menunjukkan diabetes dengan komplikasi menjadi penyebab kematian terbesar nomor tiga di Indonesia dengan 6,7 persen setelah stroke (21,1 persen) dan penyakit jantung koroner (12,9 persen). Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan 2013 menunjukkan prevalensi berat badan berlebih (overweight) mencapai 13,5 persen dan obesitas 15,4 persen. Keduanya menjadi faktor risiko terbesar peningkatan diabetes.

Sementara itu, dua dari tiga warga Indonesia tidak mengetahui dirinya memiliki diabetes. Ini berakibat pada keterlambatan akses layanan kesehatan.

Hasil penelitian WHO pada 2015 menunjukkan persentase orang dewasa dengan diabetes 8,5 persen (atau satu di antara sebelas orang dewasa menyandang diabetes). Hampir 80 persen penderita diabetes berada di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Data IDF Diabetes Atlas pada 2015 menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-7 dunia untuk prevalensi penderita diabetes setelah Cina, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Meksiko. Diperkirakan jumlah penyandang diabetes di Indonesia sebesar 10 juta jiwa.

Data BPJS Kesehatan juga menunjukkan biaya kesehatan yang ditanggung negara sehubungan dengan penyakit kencing manis dan gangguan metabolisme, termasuk diabetes, sejak 2014 hingga 2016 terus meningkat. Pada 2014, biaya kesehatan dimaksud mencapai 430,78 miliar rupiah dan meningkat 13,8 persen menjadi 490,84 miliar. Data terakhir pada 2016 menunjukkan angka 568,68 miliar rupiah meningkat kembali sebesar 15,9 persen.

Walaupun dianggap berkalori rendah dan bisa menjadi alternatif bagi gula, minuman dengan pemanis non-nutrisi atau NNSs (di antaranya minuman dengan label “free sugar” atau “diet”) ternyata juga memiliki dampak yang kurang lebih sama. Studi-studi terbaru, yang dilakukan untuk melihat apakah NNSs menimbulkan risiko besar untuk perkembangan penyakit tertentu, menemukan NNSs dapat meningkatkan nafsu makan sehingga berpotensi menambah berat badan. Studi-studi tersebut juga menemukan berbagai dampak negatif kesehatan yang terkait dengan NNS, termasuk obesitas, sindrom metabolisme, diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, dan kanker kandung kemih.

Melihat dampak-dampak konsumsi berlebihan minuman berpemanis terhadap kesehatan publik di atas, sudah bukan saatnya lagi pemerintah ragu untuk menerapkan cukai terhadap minuman berpemanis.[]

Daftar Bacaan

Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). (2022). Ringkasan: Kebijakan Urgensi Implementasi Kebijakan Cukai-Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di Indonesia. Jakarta.

Damia Liana. (2021). Menilik Usulan Cukai Minuman Berpemanis. Buletin APBN Vol. VI. Ed. 17, September 2021. Jakarta.

Hu, F.B. (2013). Resolved: There is sufficient scientific evidence that decreasing sugar-sweetened beverage consumption will reduce the prevalence of obesity and obesity-related diseases. Obesity Reviews, 14(8), 606-619. DOI: 10.1111/obr.12040.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. (2020). Tetap Produktif Cegah dan Atasi Diabetes Melitus.

Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2014). Buku Studi Diet Total Survei Konsumsi Makanan Individu Indonesia 2014. Jakarta.

Malik, V.S., Schulze, M., Hu, F.B. (2006). Intake of sugar-sweetened beverages and weight gain: a systematic review. American Journal of Clinical Nutrition, 84(2), 274-88.

Malik, V.S., Popkin, B.M., Bray, G.A., Després, J.P., Willett, W.C., Hu, F. B. (2010). Sugar Sweetened Beverages and Risk of Metabolic Syndrome and Type2 Diabetes. Diabetes Care, 33(11), 2477-83. DOI: 10.2337/dc10-1079.

minuman berpemanis, dampak kesehatan