Di tengah-tengah membanjirnya penawaran produk harian, dari yang berkisar diklaim bermanfaat hingga yang terang-terangan diklaim lebih ramah lingkungan (“hijau”), terkadang ada yang menggugah pikiran. Salah satu penawaran tersebut baru-baru ini muncul berkaitan dengan desain bidet (semprotan toilet) inovatif yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada tisu toilet, dan dengan demikian konon berkontribusi kepada pelestarian lingkungan.

Penawaran ini mengundang kontroversi, terutama mengingat bahwa bidet, meskipun umum di wilayah tertentu seperti Asia (khususnya bagian Tenggara) dan beberapa negara di Eropa, tetap merupakan konsep membingungkan bagi sebagian besar orang Amerika Serikat. Bidet seringkali dianggap sebagai perkakas baru di kamar hotel asing daripada dilihat sebagai alternatif gaya hidup yang berkelanjutan.

Bidet harus diakui menyajikan penawaran menarik. Sebagai perkakas yang dapat dipasang langsung pada toilet standar, produk ini tersedia dengan harga 100 dolar AS atau sekitar 1,4 juta rupiah. Terlepas dari keterjangkauan harga dan potensi manfaat lingkungannya, pertanyaan mengenai dampak ekologis yang sebenarnya dari bidet tetap ada. Perbandingan yang menarik adalah dengan penggunaan kertas toilet daur ulang. Apakah bernar bidet lebih ramah lingkungan (“hijau”) jika dibandingkan dengan kertas toilet daur ulang.

Bidet inovatif (bukan yang tradisional) memosisikan dirinya sebagai produk ramah lingkungan. Ia diklaim dapat secara signifikan mengurangi penggunaan kertas toilet, dan dengan demikian melindungi kelestarian hutan. Strategi ini sebenarnya mirip dengan strategi yang digunakan oleh produsen tisu toilet daur ulang. Mereka menyatakan: jika setiap rumah tangga mengganti satu gulung tisu toilet tradisional dengan 500 lembar tisu daur ulang, maka, mereka bilang, kita dapat menyelamatkan 423.900 pohon.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa hubungan produksi kertas dengan penggundulan hutan tidaklah sesederhana yang disampaikan oleh narasi pemasaran. Sebagian besar tisu tidak berasal dari pohon yang baru ditebang dan ditujukan untuk tujuan ini, melainkan dari serbuk gergaji dan sisa material lain dari kegiatan yang berhubungan dengan kayu. Mayoritas tisu juga berasal dari hutan kayu pulp yang dipanen, seperti halnya tanaman pangan, dan bukannya berasal dari hutan alami yang ditebang secara sembarangan untuk produksi tisu toilet.

Meskipun demikian, kita juga salah jika mengabaikan dampak lingkungan dari perkebunan kayu pulp dan industri kayu yang lebih luas. Perkebunan-perkebunan ini seringkali menempati area yang dulunya merupakan hutan asli yang tumbuh subur, sehingga menyebabkan gangguan yang signifikan terhadap habitat satwa liar karena sifatnya yang monokultur. Selain itu, penggunaan bahan bakar fosil untuk menebang dan mengangkut kayu, ditambah dengan polusi dari pabrik kertas, menambah biaya lingkungan.

Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bahwa meskipun mengurangi penggunaan tisu toilet adalah hal yang baik untuk alasan lingkungan, hal tersebut tidak berarti secara langsung mencegah perusakan hutan yang masih perawan.

Asumsi bahwa bidet benar-benar menghemat kertas juga tidaklah sesederhana yang terlihat pada awalnya karena pertimbangan praktis setelah penggunaan. Setelah menggunakan bidet, kita akan mendapati bagian bokong yang bersih tapi basah, sehingga memerlukan beberapa bentuk mekanisme pengeringan. Penggunaan waslap, meskipun secara logika mirip dengan mengeringkan tubuh setelah mandi, dapat dilihat sebagai hal yang tabu secara budaya di wilayah tertentu. Bahkan di negara-negara dimana bidet merupakan hal yang lumrah, penggunaan tisu toilet masih sering dilakukan setelah penggunaan bidet.

Hal ini membawa kita kembali kepada dilema awal. Kecuali jika seseorang merasa nyaman dengan pengeringan dengan angin atau menggunakan waslap, bidet mungkin tidak secara substansial mengurangi penggunaan kertas atau berkontribusi dalam menyelamatkan pohon seperti yang disampaikan dalam barasi pemasaran. Namun, penting untuk diingat bahwa hal ini tidak secara langsung mengklasifikasikan bidet sebagai sesuatu yang tidak efektif dalam pelestarian lingkungan. Wacana seputar dampak lingkungan dari bidet sangat kompleks dan bernuansa, sehingga memerlukan pemeriksaan yang lebih komprehensif.

Bidet inovatif harus diakui dapat diklasifikasikan sebagai teknologi ramah lingkungan, terutama karena potensinya untuk konservasi air. Meskipun bidet menggunakan air yang telah diolah—sumber daya yang kian berharga di era krisis lingkungan saat ini—jumlah air yang digunakan jauh lebih rendah daripada yang digunakan dalam produksi tisu toilet daur ulang dan tisu toilet virgin. Faktor ini sangat penting mengingat proses produksi kertas memang boros air.

Terlepas dari apakah air yang digunakan di pabrik kertas bersumber secara lokal atau diambil dari sistem perkotaan, limbah dari produksi kertas pasti kembali ke lingkungan. Masuknya kembali limbah ini seringkali melibatkan masuknya limbah organik dan residu kimia, yang kemudian perlu diproses atau diserap oleh lingkungan, yang seringkali berdampak pada saluran air setempat.

Berkaca pada pertanyaan awal: apakah bidet ramah lingkungan? Jawabannya adalah ya tetapi untuk alasan yang lebih bernuansa daripada sekadar konservasi hutan. Bidet ramah lingkungan ketika digabungkan dengan kain lap, sementara penggunaan yang melibatkan tisu toilet untuk mengeringkan dan membersihkan tidak dapat berkontribusi kepada konservasi hutan. Sepanjang masa pakainya, bidet juga menjanjikan penghematan air yang konsisten.

Dalam upaya mencari kebiasaan di kamar mandi yang lebih ramah lingkungan, ada tiga pilihan yang layak dipertimbangkan. Pilihan pertama adalah menggunakan bidet tapi mengeringkan dengan waslap. Pilihan kedua adalah menggunakan tisu toilet daur ulang daripada tisu dari pulp virgin. Produksi kertas daur ulang mengonsumsi sumber daya yang jauh lebih sedikit, sehingga meminimalisasi jejak lingkungan. Bagi mereka yang tetap cenderung menggunakan tisu toilet konvensional, ada pilihan ketiga. Yakni, dengan memilih tisu gulungan besar, seseorang dapat secara signifikan mengurangi jumlah limbah kemasan tisu, sehingga berkontribusi kepada rutinitas kamar mandi yang lebih berkelanjutan.[]


Sumber:

Baskind, Chris. “Which Is Greener: Toilet Paper or a Bidet?” Treehugger. 31 Mei 2022. https://www.treehugger.com/which-is-greener-toilet-paper-or-a-bidet-4863723.