Cukai Minuman Berpemanis akan Dapat Oposisi dari Industri Gula
Ahli hukum internasional, Citta Widagdo, mewanti-wanti bahwa penerapan kebijakan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan tidak akan berlangsung mudah. Rencana kebijakan ini akan selalu mendapat tentangan dan oposisi dari industri, terutama industri gula.
Di level internasional, menurut kandidat doktor di Birmingham Law School itu, oposisi tersebut bisa dilihat dari resistensi industri gula di Amerika Serikat terhadap WHO Technical Report Series (TRS) 916 tentang Diet, Nutrition and Prevention of Chronic Diseases (laporan para ahli gabungan WHO dan FAO—red) pada 2013. “Mereka (industri gula) mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk tidak membayar kontribusi tahunan kepada WHO jika TRS 916 diikuti dengan rekomendasi konsumsi gula di bawah 10 persen dari asupan kalori harian,” katanya dalam diskusi publik “Masa Depan Pengendalian Minuman Berpemanis Dalam Kemasan”, yang diadakan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) pada 23 Agustus 2023.
Di level nasional di sejumlah negara, banyak industri menggunakan jalur hukum untuk menuntut hak kebebasan berdagang dalam kaitan dengan kebijakan intervensi kesehatan publik. Di New York, San Francisco, Philadelphia (Amerika Serikat), Kosta Rika, dan Inggris, terjadi upaya-upaya litigasi oleh industri dalam menentang kebijakan yang membatasi produk terkait isu kesehatan publik. Perjanjian-perjanjian dagang dan juga traktat Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menurut Citta, juga bisa menjadi penghambat bagi rencana kebijakan cukai atas minuman berpemanis.
“Akan ada banyak tantangan dari industri tetapi Pemerintah harus mengingat bahwa bukti sudah menunjukkan cukai untuk minuman berpemanis dapat menurunkan konsumsi dan mengurangi disparitas kesehatan, dan sudah waktunya bagi Pemerintah untuk segera menerapkan hal ini, dan jika Pemerintah mau belajar dari berbagai negara lain, sudah banyak yang berhasil menerapkannya.”
Menurut Citta, saat ini ada momentum global bagi Indonesia untuk mulai mengatur pengendalian minuman berpemanis dalam kemasan. Kini, ada 54 negara di dunia yang memiliki setidaknya sebuah bentuk kebijakan cukai terhadap minuman berpemanis, seperti Meksiko dan di beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
“Jika sudah ada opsi ini (kebijakan cukai—red), dapat juga diberlakukan kebijakan lain, misalnya larangan ‘beli satu gratis satu’ dan kewajiban adanya nutritional labelling, seperti di Meksiko ada penempatan logo peringatan untuk makanan dan minuman (berpemanis—red) seperti pada kemasan rokok, atau seperti di Taiwan ada larangan iklan junk food sebelum pukul 9 malam,” papar Citta.
Citta memaparkan, Pelapor Khusus PBB (UN Special Rappoteur) sudah melaporkan kepada Dewan HAM PBB bahwa industri pangan berperan sangat signifikan dalam lingkungan pangan global. Industri menjadi pendorong utama terkait pola makan.
Oleh karena itu, WHO sejak 2016 telah merekomendasikan pemberlakuan kebijakan fiskal yang dapat meningkatkan harga jual minuman berpemanis setidaknya 20 persen. Namun, WHO belum menggunakan otoritas normatifnya (terkait Pasal 19 Konstitusi WHO) untuk mengeluarkan hukum yang bersifat mengikat terhadap makanan tak sehat.
Meskipun demikian, dari perspektif hukum HAM internasional, pemberlakuan cukai atas minuman berpemanis dan kebijakan-kebijakan lain yang lebih luas telah disebutkan oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (CESCR) dan Komite Hak Anak (CRC) dalam laporan-laporan mereka. “Tidak seperti FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) untuk tembakau, WHO belum mengeluarkan hukum mengikat dan hanya rekomendasi, tetapi di mata hukum internasional, setiap negara termasuk Indonesia sebenarnya telah meratifikasi aturan hukum yang meliputi hak atas kesehatan dan makanan yang sesuai dengan HAM,” kata Citta.
Citta menjelaskan kalangan industri komersial kerap menggunakan argumen “nanny state” dalam upaya menentang kebijakan intervensi kesehatan publik terkait produk mereka. “Kita semua ini individu ekonomi, sehingga tahu apa yang terbaik, begitu kata mereka, padahal keputusan individual sangat dibatasi oleh pilihan-pilihan yang ada.”
Menurut Citta, ada justifikasi etis bagi negara untuk mengatur produk yang berpotensi menimbulkan kerugian (harm) kepada masyarakat. Aturan inilah yang juga berfungsi sebagai landasan hukum supaya posisi pemerintah kuat menghadapi potensi litigasi oleh industri. “Terlebih jika litigasi yang ada didasarkan pada rezim hukum perdagangan atau investasi internasional yang kerapkali digunakan.”[]