Eropa Perketat Batas Asupan Harian BPA hingga 20 Ribu Kali
Dalam sebuah pembaruan besar pada standar keamanan bahan kimia, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) telah mengumumkan pengetatan drastis terhadap batas asupan harian yang dapat ditoleransi atau TDI untuk Bisfenol A (BPA).
BPA adalah bahan kimia yang umum ditemukan dalam plastik keras (polikarbonat) – yang biasanya digunakan untuk air minum dalam kemasan (AMDK) galon pakai ulang – wadah makanan dan minuman, serta pelapis tertentu di dalam kaleng makanan dan minuman. BPA sudah sejak lama berada di bawah pengawasan otoritas keamanan pangan di banyak negara karena potensi migrasinya ke dalam makanan dan minuman dalam kemasan.
Pedoman yang direvisi oleh EFSA sekarang menyatakan bahwa individu dapat dengan aman mengonsumsi hanya 0,2 nanogram atau 0,2 per miliar gram BPA untuk setiap kilogram berat badan mereka per hari. Ini merupakan perubahan penting dari pedoman pada 2015, yang mengizinkan 4 mikrogram atau 4 per sejuta gram per kilogram. Batas baru ini kira-kira 20.000 kali lebih ketat daripada sebelumnya.
Lalu apa implikasi pengetatan batas asupan harian BPA bagi konsumen?
Batas asupan harian yang dapat ditoleransi atau TDI terbaru tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dari semua kelompok usia mungkin telah menelan lebih banyak BPA daripada jumlah aman yang baru ditetapkan. Pengungkapan ini telah meningkatkan kekhawatiran dampak kesehatan terkait BPA dan menyoroti pentingnya evaluasi berkelanjutan terhadap standar keamanan bahan kimia tersebut.
Upadate terbaru dari EFSA yang diumumkan pada 19 April 2023 ini juga menunjukkan posisi Uni Eropa yang lebih hati-hati dan tegas terhadap penggunaan BPA pada kemasan dan wadah makanan serta minuman jika dibandingkan banyak negara. Uni Eropa selama ini telah bersikap proaktif dalam pendekatan mereka terhadap BPA.
Sebagai contoh, penggunaan BPA dalam plastik keras (polikarbonat) yang berhubungan dengan makanan dan minuman telah diatur di bawah pedoman Uni Eropa yang spesifik. Sejak September 2018, BPA telah dilarang digunakan dalam kemasan atau wadah plastik yang ditujukan untuk makanan bayi dan anak di bawah tiga tahun. Pembuatan botol bayi dengan BPA juga telah dilarang sejak 2011. European Chemicals Agency juga sedang mengevaluasi lebih lanjut aplikasi BPA, termasuk penggunaannya dalam kertas struk belanja.

Lalu bagaimana dengan di Indonesia?
Sejak akhir 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), otoritas keamanan pangan di Indonesia, sudah merancang perubahan terhadap peraturan tentang label pangan olahan. Dalam rancangan perubahan tersebut, BPOM antara lain mengatur kewajiban bagi produsen AMDK yang menggunakan kemasan plastik polikarbonat (galon pakai ulang) untuk mencantumkan tulisan “Berpotensi Mengandung BPA”.
Namun, hingga tulisan ini dibuat, peraturan baru tersebut tak kunjung disahkan dan diterbitkan. Kabar yang muncul di media adalah respons penolakan dari Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin). Dalam pemberitaan di sejumlah media, Aspadin mengeluarkan pernyataan yang meminta BPOM untuk tidak melanjutkan rencana penerbitan rancangan peraturan tersebut.
Di Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan sebenarnya telah mewajibkan produk botol bayi mencantumkan label “Bebas BPA”. Itu berarti produk botol bayi sudah harus bebas dari BPA. Sejumlah kalangan, terutama dokter anak dan kaum ibu, pun kini mulai mengutamakan kemasan pangan yang berlabel “BPA Free” daripada yang tidak.
BPA adalah salah satu senyawa kimia pembentuk (monomer) plastik keras (polikarbonat). Ia telah lama menarik perhatian para peneliti di bidang kesehatan. Ini karena BPA berfungsi di dalam tubuh manusia dengan meniru aktivitas estrogen, hormon yang bertanggung jawab dalam pengembangan sistem reproduksi manusia, sehingga masuk ke dalam kelompok xenoestrogen. Menurut sejumlah riset ilmiah, BPA dikaitkan dengan risiko munculnya sejumlah penyakit, seperti obesitas, gangguan kesuburan, kelainan pada janin, penyakit kadiovaskular, dan bahkan kanker.
Para ahli kimia juga menemukan potensi migrasi BPA dari kemasan ke produk pangan sangat besar. Pada 2011, misalnya, A Guart dan kawan-kawan dari Department of Environmental Chemistry, Institute of Environmental Assessment and Water Research, Barcelona, Spanyol, meneliti potensi migrasi pemlastis (plasticizer) pada kemasan air minum. Dari sejumlah pemlastis yang diteliti, hanya Bisfenol A (BPA) dan 4-Nonilfenol yang terdeteksi bermigrasi pada sampel yang diinkubasi.
Berbeda dengan di Eropa, BPOM tidak menetapkan batas asupan harian yang dapat ditoleransi atau TDI. BPOM sejauh ini hanya mengatur batas aman migrasi BPA, yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Batas aman migrasi ini masih jauh lebih tinggi daripada yang ditetapkan EFSA di Eropa, yakni 0,05 bpj.
Padahal, selama uji post-market pada 2020 hingga 2021, BPOM menemukan migrasi BPA pada AMDK galon guna ulang, baik di sarana produksi, distribusi, maupun penyimpanan sangat tinggi. Ada 3,4 persen sampel di sarana distribusi yang tingkat migrasi BPA-nya sudah melampaui ambang batas aman, yakni 0,6 bpj (bagian per juta). Dalam rentang migrasi 0,05 bpj (ambang batas aman standar Eropa) hingga 0,6 bpj (ambang batas aman standar Indonesia), ditemukan 46,97 persen di sarana distribusi dan 30,91 persen di sarana produksi.
Terlebih lagi, BPOM menemukan bahwa tingkat paparan BPA di empat kabupaten/kota di Indonesia melampaui TDI (batas asupan harian yang dapat ditoleransi) 4 mikogram per kilogram berat badan per hari (159 persen). Nah, TDI itu padahal sudah diperbarui oleh EFSA menjadi 20.000 kali lebih ketat, yakni 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Artinya, tingkat paparan BPA di Indonesia bisa jadi angkanya lebih tinggi lagi.
Menanggapi perbaruan TDI BPA oleh EFSA menjadi lebih ketat, BPOM menyatakan akan mengubah regulasi saat ini terkait dengan batas migrasi 0,6 bpj. “Migrasi akan kami tinjau kembali karena banyak negara sudah mengubahnya menjadi 0,05 bpj, dan mempertimbangkan perubahan signifikan nilai TDI, maka migrasi akan kami perkecil menjadi 0,05 bpj,” kata Anisyah, Direktur Standarisasi Pangan Olahan BPOM, dalam sebuah program televisi di Metro TV medio Agustus 2023.[]
Sumber:
Lambré, Claude, José Manuel Barat Baviera, Claudia Bolognesi, Andrew Chesson, Pier Sandro Cocconcelli, Riccardo Crebelli, David Michael Gott, et al. 2023. “Re‐Evaluation of the Risks to Public Health Related to the Presence of Bisphenol a (BPA) in Foodstuffs.” EFSA Journal 21 (4). https://doi.org/10.2903/j.efsa.2023.6857.
BPA, BPOM, paparan BPA, galon pakai ulang, galon bekas pakai, galon guna ulang, TDI, migrasi BPA, Aspadin