Model Penjualan Galon Isi Ulang Munculkan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Asosiasi perusahaan air minum dalam kemasan berdalih rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk merevisi peraturan tentang label pangan olahan, yang antara lain berisi kewajiban pelabelan BPA pada produk air minum dalam kemasan galon polikarbonat (PC), akan melahirkan praktik persaingan usaha tidak sehat. Menurut dalih mereka, ini karena peraturan itu akan menguntungkan produk air minum dalam kemasan yang menggunakan galon PET sekali pakai.
Namun, pakar persaingan usaha dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Tjahjanto Budisatrio, dalam dua diskusi bersama FMCG Insights, justru berpandangan sebaliknya. Tjahjanto mengatakan model penjualan galon isi ulang yang selama ini dipraktikkan, terutama oleh produsen penguasa pasar, telah melahirkan persaingan usaha tidak sehat dalam pasar air minum dalam kemasan galon.
Sebelum mengetahui penjelasan Pak Ibus, demikian Tjahjanto biasa disapa, ada baiknya kita melihat kondisi pasar air minum dalam kemasan di Indonesia.
Dalam pasar air minum dalam kemasan, terdapat banyak penjual atau perusahaan yang menghasilkan produk sejenis. Menurut data BPOM pada 2020, setidaknya ada 1032 perusahaan dengan 7780 merek yang menghasilkan volume air minum dalam kemasan sekitar 30 miliar liter per tahun.
Dari jumlah itu, produk air minum dalam galon menjadi penyumbang terbesar yakni sekitar 70 persen. Sisanya adalah produk dalam botol dan gelas.
Berdasarkan data asosiasi, pasar air minum dalam kemasan berstruktur oligopoli. Ada lima merek dominan di antara ribuan perusahaan yang menjual produk sejenis.
Merek Aqua menjadi penguasa pasar sebanyak 51,4 persen lalu disusul oleh Le Minerale (18,8 persen), Vit (4,4 persen), Club (3 persen), dan Nestle Pure Life (2,8 persen). Perusahaan-perusahaan sisanya memperoleh 19,6 persen. Dalam produk galon, Aqua tetap merajai dengan 68 persen dan disusul oleh Cleo (5 persen), Club (2 persen), Le Minerale (2 persen), dan Vit (2 persen). Sisanya mendapat bagian 21 persen.
Menurut Tjahjanto, penguasaan pasar 50 persen lebih tidak menjadi persoalan dalam Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat selama penguasa pasar itu tidak melakukan praktik monopoli, baik nyata maupun tersembunyi. Dalam kasus kartel tarif SMS, Telkomsel (bersama XL dan Indosat) diputus bersalah lebih karena melakukan praktik monopoli berupa kolusi penetapan tarif, bukan karena penguasaan pasarnya.
Namun demikian, Tjahjanto melihat ada praktik lock-in (penguncian konsumen untuk hanya membeli satu produk) dalam penjualan galon isi ulang. Ini menurutnya bisa dibilang telah melahirkan persaingan usaha tidak sehat.
Sadar atau tidak sadar, kalau membeli galon merek A (dengan ‘deposit’ Rp 50.000), kita terkunci untuk terus mengonsumsi galon merek itu. Jika galon merek A tidak ada di toko, kita terpaksa pulang dengan galon kosong karena tidak bisa menukarnya dengan galon merek B.
Ini otomatis semacam ada kontrak jangka panjang yang sadar atau tidak sadar terbuat dari model penjualan itu. Inilah lock-in yang pada gilirannya melahirkan switching cost. Konsumen harus mengeluarkan biaya lain jika ingin berpindah ke galon merek lain.
Lock-in dan switching cost pada akhirnya menciptakan barriers to entry. Dalam teori persaingan usaha, barriers to entry adalah istilah yang menggambarkan faktor-faktor yang dapat mencegah atau menghalangi pendatang baru masuk ke dalam pasar atau sektor industri, sehingga membatasi persaingan.
Jika terdapat barriers to entry, maka pasar menjadi sudah tidak sehat lagi atau setidaknya kurang sehat. Itulah yang terjadi dalam pasar air minum dalam kemasan galon isi ulang, menurut Tjahjanto.
Menguasai 68 persen pasar galon isi ulang dengan model penjualan lock-in tadi, merek tertentu pada dasarnya merintangi perusahaan atau merek baru untuk masuk. Perusahaan baru harus mengeluarkan biaya untuk memproduksi galon sementara penguasa pasar tidak terbebani biaya yang sama.
Sekitar 880 juta galon isi ulang yang beredar saat ini bisa terus digunakan berpuluh tahun karena tak ada batas usia pemakaian galon polikarbonat. Belum lagi, biaya produksi galon sekitar Rp 50.000 per galon (total 44 triliun rupiah) dibebankan kepada konsumen dengan dalih ‘deposit’.
Kondisi akan berbeda apabila konsumen bisa menukar kembali galon itu dengan uang mereka saat memutuskan untuk membeli merek galon berbeda. Jika seperti ini, tidak ada yang namanya barriers to entry.
“Tapi apakah bisa (konsumen menukar kembali galon dengan uang ‘deposit’ itu)? Saya tidak melihat itu bisa dilakukan,” kata Tjahjanto.
Jika kita mencermati pengertian barriers to entry, rencana BPOM mewajibkan pelabelan BPA pada galon isi ulang sebenarnya juga termasuk barriers to entry. Tapi, kita harus tahu bahwa tak semua barries to entry menjadi negatif dalam konteks persaingan usaha.
Untuk memenuhi undang-undang perlindungan konsumen dan melindungi kesehatan masyarakat, pemerintah bisa saja menerapkan barriers to entry. Berdasarkan ratusan riset ilmiah, BPA (salah satu zat kimia perkusor dalam produksi plastik polikarbonat) memiliki potensi berbahaya bagi kesehatan masyarakat dalam jangka panjang.
Meskipun merupakan barriers to entry, rencana labelisasi BPA pada air minum kemasan galon isi ulang, menurut Tjahjanto, justru memberi keuntungan kepada pasar. Pertama, kebijakan itu mencegah kegagalan pasar di masa depan akibat potensi munculnya gugatan masyarakat terkait kesehatan publik kepada pelaku pasar. Kedua, kebijakan itu bisa mengeluarkan konsumen dari kondisi lock-in tadi.
Dengan adanya label peringatan BPA, konsumen akan makin sadar akan kesehatannya. Di satu sisi, ini membuat mereka memilih untuk membeli produk yang tidak mengandung BPA. Di sisi lain, ini juga mendorong produsen untuk menghasilkan produk bebas BPA.
Jika kondisi di atas tercipta, Tjahjanto melihat akan terjadi apa yang disebut oleh ekonom Amerika Serikat, William Baumol, sebagai contestable market (pasar persaingan yang dapat diperebutkan). Meskipun hanya ada segelintir pemain dominan dalam struktur pasar, tetap tersedia keseimbangan kompetitif bagi pendatang baru untuk masuk.[]