Skip to main content
  • Administrator

Ahli: Guna Ulang Tingkatkan Potensi Pelepasan BPA pada Galon AMDK

Ahli Rekayasa Material dan Metalurgi Universitas Indonesia, Mochamad Chalid, mengatakan senyawa kimia Bisfenol A atau BPA pada galon polikarbonat bisa mengalami pelepasan karena terjadinya proses hidrolisis (reaksi kimia dimana molekul air memecah satu atau lebih ikatan kimiawi) pada suhu dalam waktu tertentu. Karena suhu dan waktu menjadi kunci terhadap potensi pelepasan BPA, maka penggunaan ulang galon polikarbonat bisa meningkatkan potensi pelepasan tersebut.

“Potensi masalah terbesar salah satunya ada pada berapa kali (galon polikarbonat) diguna ulang,” katanya dalam diskusi The Experts Forum tentang “Urgensi Pelabelan BPA untuk Kemasan Air Minum dan Makanan” di Universitas Indonesia, Depok, 23 November 2022.

Faktor-faktor lainnya yang berkaitan dengan potensi pelepasan BPA adalah suhu saat galon diproduksi, transportasi dari sistem produksi ke konsumen, dan penggunaan limbah polikarbonat sebagai campuran bahan baku pada produksi berikutnya. “Oleh karena itu, masyarakat perlu mengambil sikap terbaik,” kata Chalid, “yakni kenalilah produk kemasan yang digunakan agar dapat menggunakannya dalam batas aman.”

Chalid menjelaskan BPA merupakan bahan baku penolong (aditif) untuk mengenyalkan dan mengeraskan produk. Maka, BPA banyak digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan bijih plastik polikarbonat. Polikarbonat sendiri adalah bahan baku dari produk-produk jadi, seperti galon air minum dalam kemasan (AMDK) yang biasanya digunakan ulang, kaca helm, kaca partisi, dan atap bening.

Dampak kesehatan BPA bagi manusia telah menjadi perhatian dalam banyak riset ilmiah. Ini karena BPA termasuk xenoestrogen, atau kelompok senyawa kimia yang meniru aktivitas estrogen di dalam tubuh sebagai pengganggu endokrin (endocrine-disrupting chemical) atau sistem hormonal. Estrogen sendiri adalah hormon yang berperan dalam perkembangan sistem reproduksi manusia. Alhasil, BPA kerap dikaitkan dengan gangguan sistem reproduksi (seperti kemandulan), kelainan pada janin, risiko penyakit kardiovaskular, dan bahkan kanker.

Efek tersebut tentu saja tidak akan dirasakan dalam waktu singkat. Paparan BPA dalam jangka panjang dinilai mengkhawatirkan.

Lembaga kesehatan di banyak negara telah meneliti dampak kesehatan dari BPA, tak terkecuali Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. Beberapa negara dan wilayah kemudian mengambil langkah untuk mengurangi paparan BPA, dengan melarang penggunaannya sama sekali atau memberi peringatan akan risikonya.

Setidaknya empat negara dan negara-bagian sudah melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan, yaitu Perancis, Brazil, Negara Bagian Vermont (Amerika Serikat), dan Negara Bagian South Carolina (Amerika Serikat). Negara Bagian California (Amerika Serikat) tidak melarang tapi mewajibkan pencantuman label peringatan tentang risiko BPA pada kemasan plastik polikarbonat atau kaleng yang dilapisi resin epoksi dan pada rak di toko-toko ritel.

Sementara itu, Uni Eropa menempuh langkah menetapkan ambang batas aman migrasi BPA (perpindahan BPA ke bahan pangan) sebesar 0,05 bpj (bagian per juta). Ambang batas itu jauh lebih rendah daripada yang ditetapkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia, yakni 0,6 bpj.

Dari hasil pengawasan BPOM di lapangan (berupa uji post-market), ditemukan 3,4 persen sampel di sarana distribusi yang tingkat migrasi BPA-nya sudah melampaui 0,6 bpj. Lalu, ada 46,97 persen sampel di sarana distribusi dan 30,91 persen di sarana produksi yang tingkat migrasinya berada dalam rentang 0,05 bpj (ambang batas aman standar Eropa) hingga 0,6 bpj (ambang batas aman standar Indonesia).

Seperti disampaikan oleh Chalid, BPOM juga mengatakan potensi pelepasan atau migrasi BPA meningkat karena penggunaan ulang kemasan pangan yang menggunakan plastik polikarbonat. Penggunaan ulang antara lain akan membuat galon polikarbonat sering dicuci dengan air pada suhu lebih daripada 75 derajat celcius dan disikat.

Oleh karena itu, sejak akhir November 2021, BPOM memutuskan untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Revisi itu antara lain berisikan kewajiban bagi perusahaan AMDK yang menggunakan galon polikarbonat untuk mencantumkan tulisan “Berpotensi Mengandung BPA” paling lambat dua tahun setelah revisi itu disahkan.

Sayangnya, revisi itu hingga kini tak kunjung disahkan oleh pemerintah. Perusahaan-perusahaan AMDK yang tergabung dalam Aspadin menolak revisi peraturan tersebut. Aspadin mengklaim revisi peraturan itu bisa mematikan industri AMDK.

Chalid meminta semua pihak, termasuk produsen dan pemerintah, berorientasi pada jaminan kesehatan konsumen. “Pelabelan BPA menjadi penting untuk menjamin kesehatan konsumen dan masyarakat,” katanya.[]

BPA, galon, guna ulang