Skip to main content
  • Administrator

Empat LSM: Percepat Labelisasi BPA pada Kemasan AMDK!

Empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendeklarasikan Gerakan Percepatan Labelisasi BPA Kemasan AMDK (air minum dalam kemasan) dalam acara “Media Gathering: BPA Labelling dan Ancaman B3 dalam Kemasan Pangan” pada Selasa, 18 Oktober 2022 di Jakarta. Keempat LSM itu adalah Jejak Sampah, Koalisi Pejalan Kaki, KPBB (Komite Penghapusan Bensin Bertimbel), dan Zero Waste Management Consortium.

Gerakan Percepatan Labelisasi BPA Kemasan AMDK berdasarkan pada dua faktor. Pertama, ketergantungan mayoritas masyarakat pada AMDK galon isi ulang plastik keras polikarbonat akibat krisis air yang melanda Indonesia (karena kekeringan dan pencemaran sumber air serta masih minimnya ketersediaan air perpipaan yang merupakan tanggung jawab negara). Kedua, fakta dari berbagai riset ilmiah yang menunjukkan potensi pelepasan (leaching) dan migrasi BPA (Bisfenol A), bahan kimia utama penyusun polikarbonat, ke dalam produk AMDK yang secara akumulatif dalam jangka panjang bisa memicu berbagai risiko kesehatan, seperti gangguan hormon, khususnya hormon estrogen, diabetes, obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, dan perkembangan kesehatan mental.

“Berbagai publikasi ilmiah mutakhir menunjukkan berbagai dampak fatal akibat toksisitas BPA pada kelompok dewasa dan usia produktif antara lain dapat mempengaruhi fertilitas, menyebabkan keguguran dan komplikasi persalinan, obesitas, dan berbagai penyakit metabolik, sedangkan pada kelompok usia anak-anak dapat menyebabkan depresi, ansietas, hiperaktif, emosi tidak stabil, dan kekerasan yang berpengaruh terhadap dopamine, serotonin, acetylcholine, dan thyroid,” papar Ketua Harian Zero Waste Management Consortium, Amalia S Bendang.

Menurut riset Kementerian Kesehatan, setidaknya 4 dari 10 rumah tangga di Indonesia mengonsumsi AMDK, baik dalam bentuk kemasan gelas, botol, maupun galon, setiap harinya. Angka tersebut tiga kali lipat jika dibandingkan dengan persentase rumah tangga yang mengandalkan air minum perpipaan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Dari tiga bentuk kemasan AMDK tersebut, penjualan AMDK botol mencatat angka Rp 22,6 triliun, AMDK galon Rp 20,1 triliun, dan AMDK gelas Rp 4,8 triliun. Di antara AMDK galon yang dijual di masyarakat, kemasan galon isi ulang plastik polikarbonat menyumbang 80 persen sementara sisanya galon kemasan plastik jenis polyethylene terephthalate atau PET.

Persoalannya kemudian adalah galon AMDK plastik polikarbonat itu digunakan berulang kali tanpa batas waktu yang jelas. Penggunaan seperti ini memperbesar potensi BPA pada kemasan polikarbonat mengalami pelepasan (leaching) dan bermigrasi pada air minum yang diwadahinya, apalagi jika galon-galon itu tidak diperlakukan sesuai ketentuan (seperti dibiarkan terpapar sinar matahari langsung dalam waktu lama atau disimpan dekat benda berbau tajam).

Seperti disampaikan ahli teknologi polimer dari Universitas Indonesia, Mochamad Chalid, setiap bahan kimia pada kemasan plastik memiliki potensi pelepasan (leaching), tapi potensi kian besar jika kemasan plastik itu digunakan berulang kali dan ditempatkan pada kondisi yang tidak semestinya tadi. Berbeda dengan AMDK galon polikarbonat, AMDK plastik PET hanya digunakan sekali.

Fakta deduktif diatas diperkuat oleh fakta induktif hasil temuan survei lapangan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Koordinator Substansi Standardisasi Bahan Baku BPOM, Yeni Restiani, dalam acara Media Gathering di atas menyampaikan, dari survei lapangan, baik di sarana produksi maupun peredaran, yang dilakukan selama 2021-2022, BPOM menemukan 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj. Lalu ada 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi yang dikategorikan “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj. Ditemukan pula 5 persen di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang dikategorikan “berisiko terhadap kesehatan” karena migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.

Oleh karena itu, BPOM sudah merancang peraturan pelabelan BPA pada AMDK galon plastik polikarbonat. Rancangan itu antara lain akan mewajibkan produsen AMDK galon polikarbonat untuk mencantumkan label “Berpotensi mengandung BPA” pada produknya.

“Kita perlu asupan air minum yang bebas BPA,” kata Koordinator Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus, melihat fakta-fakta di atas. “Apalagi bagi kita yang punya aktivitas berlebih seperti melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dan bersepeda dalam kegiatan sehari-hari.”

Menurut Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin, desakan untuk percepatan labelisasi BPA pada kemasan AMDK pada dasarnya merupakan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) untuk mencegah kemungkinan terjadinya risiko kesehatan akibat paparan BPA dalam jangka panjang. “Guna menerapkan prinsip kehati-hatian dalam konteks potensi kontaminasi unsur atau senyawa B3 (bahan beracun dan berbahaya) pada AMDK polikarbonat, maka produsen AMDK wajib melabeli ‘Berpotensi mengandung BPA’ pada kemasan AMDK produknya, dan langkah ini demi kesehatan kita, terutama anak-anak generasi masa depan bangsa,” kata Ahmad.[]

amdk, BPA, LSM, labelisasi BPA