Membongkar 5 Miskonsepsi tentang Plastik Sekali Pakai dan Pentingnya Analisis Siklus Hidup
Di lorong-lorong supermarket yang semarak dan penuh warna, deretan botol plastik dan kaleng logam yang menampung minuman ringan memberi gambaran tentang bertaburannya kemasan atau wadah sekali pakai. Kelihatannya isu lingkungan utama di sini adalah ketergantungan kita yang berlebihan kepada wadah sekali pakai. Lalu hal ini membuat banyak orang percaya bahwa mengurangi dan bahkan melarang kemasan sekali pakai serta meningkatkan upaya daur ulang akan secara signifikan mengurangi dampak lingkungan. Namun, ini bisa menjadi contoh fokus yang salah.
Berlawanan dengan banyak orang, insinyur lingkungan dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, Shelie Miller, menyatakan dampak lingkungan yang signifikan tidak disebabkan oleh kemasan. Menurut penelitiannya, untuk beragam produk konsumen termasuk minuman ringan, produk yang terkandung di dalam kemasanlah justru yang paling terkait dengan kerusakan lingkungan.
Khusus dalam soal plastik sekali pakai, penelitian Miller lebih jauh menyoroti bahwa dampak lingkungan dari kemasan plastik relatif minimal. Produksi dan pembuangan kemasan plastik hanya menyumbang sebagian kecil dari total dampak lingkungan siklus hidup suatu produk. Penelitian Miller yang berbasis analisis siklus hidup ini diterbitkan dalam jurnal Environmental Science & Technology pada 26 Oktober 2020.
"Konsumen cenderung berfokus pada dampak kemasan, daripada dampak produk itu sendiri,” kata Miller, yang juga seorang profesor di School for Environment and Sustainability. “Namun, konsumsi bijak yang bisa mengurangi kebutuhan akan produk dan menghilangkan pemborosan sebenarnya jauh lebih efektif dalam mengurangi dampak lingkungan secara keseluruhan daripada mendaur ulang.”
“Sayangnya, lebih mudah bagi konsumen untuk mendaur ulang kemasan suatu produk daripada secara sukarela mengurangi permintaan mereka akan produk tersebut, yang mungkin menjadi salah satu alasan mengapa upaya daur ulang sangat populer.”
Dalam makalahnya, “Five misperceptions surrounding the environmental impacts of single-use plastic”, Shelie Miller mencoba untuk membongkar beberapa miskonsepsi umum terkait dengan kemasan plastik.
Kesalahpahaman pertama yang disanggah oleh Miller adalah bahwa kemasan plastik merupakan kontributor utama terhadap dampak lingkungan dari suatu produk. Sebaliknya, ia menjelaskan bahwa isi kemasan memiliki dampak lingkungan jauh lebih besar daripada kemasannya.
Kekeliruan kedua adalah anggapan bahwa dampak lingkungan dari plastik lebih besar daripada bahan kemasan lainnya. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa, dalam sebagian besar kategori dampak, plastik umumnya memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah secara keseluruhan daripada kaca atau logam sekali pakai.
Miskonsepsi lain yang dibongkar Miller adalah bahwa produk yang dapat digunakan kembali (reuseable) selalu lebih ramah lingkungan daripada plastik sekali pakai, dan bahwa daur ulang dan pengomposan, harus menjadi fokus utama. Penelitian siklus hidupnya (life cycle assessment) menunjukkan bahwa produk yang dapat digunakan kembali hanya akan memiliki dampak lingkungan yang lebih rendah jika digunakan kembali selama periode tertentu agar mampu mengimbangi sumber daya yang telah digunakan dalam produksinya.
Selain itu, manfaat lingkungan yang terkait dengan daur ulang dan pengomposan cenderung relatif tidak signifikan jika dibandingkan dengan upaya pengurangan konsumsi secara keseluruhan.
Dalam pengungkapan terakhir, Miller menantang keyakinan umum bahwa upaya “zero waste”, yang menghilangkan plastik sekali pakai, adalah kunci untuk meminimalkan dampak lingkungan dari suatu produk. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa manfaat dari mengalihkan sampah dari tempat pembuangan akhir (landfill) relatif kecil. Faktor yang lebih besar dalam menentukan dampak lingkungan dari sebuah produk sebenarnya adalah pengurangan sampah dengan menerapkan konsumsi yang bijak, termasuk dengan secara cermat mempertimbangan jenis dan jumlah produk yang dikonsumsi.
Melalui artikel ulasannya tersebut, Miller mendorong para saintis dan insinyur lingkungan lain untuk memperluas perspektif mereka, menantang keyakinan umum yang menurutnya tidak didukung oleh pengetahuan ilmiah, dan mempromosikan dialog yang komprehensif dalam penelitian dan diskusi kebijakan.
“Upaya untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan meningkatkan daur ulang dapat mengalihkan perhatian dari dampak lingkungan yang kurang terlihat dan seringkali lebih merusak terkait dengan penggunaan energi, manufaktur, dan ekstraksi sumber daya,” katanya. “Kita perlu mengambil pandangan yang jauh lebih holistik dengan mempertimbangkan masalah lingkungan yang lebih besar.”
Miller mengatakan dia tidak bermaksud untuk meremehkan tantangan lingkungan terkait dengan plastik dan sampah plastik, tapi menekankan pentingnya perspektif holistik. Untuk menempatkan problem sampah plastik dalam konteks yang benar, menurut Miller, kita perlu mengevaluasi dampak lingkungan dari setiap fase dalam siklus hidup suatu produk, mulai dari ekstraksi sumber daya alam dan energi yang dibutuhkan untuk pembuatannya, hingga pembuangan atau penggunaan kembali. Cakupan yang luas ini penting untuk mengontekstualisasikan masalah sampah plastik dengan benar dan untuk sepenuhnya memahami dampak lingkungannya.
Untuk mengukur dampak lingkungan secara komprehensif, Miller dan rekan-rekan penelitinya menggunakan alat yang disebut Penilaian Siklus Hidup (Life Cycle Assessment—LCA). LCA mencakup beragam kategori dampak, seperti perubahan iklim, penggunaan energi, penipisan air dan sumber daya, hilangnya keanekaragaman hayati, timbulan limbah padat, dan toksisitas terhadap manusia serta lingkungan.
Sayangnya, menurut Miller, konsumen seringkali berfokus pada aspek-aspek dampak lingkungan yang lebih terlihat, seperti limbah kemasan, padahal sejumlah besar dampak lain yang tidak terlalu mencolok tidak diperhatikan. Analisis LCA menawarkan evaluasi yang lebih sistematis terhadap seluruh rantai pasokan, sehingga menyoroti dan bisa mengukur dampak lingkungan yang tidak terlalu terlihat tapi berpotensi signifikan.
Produk makanan dalam kemasan, misalnya, memiliki dampak yang sebagian besarnya tidak terlihat. Dampak ini bisa mencakup produksi pertanian yang intensif, pembangkit energi, dan pendinginan serta transportasi di seluruh rantai pasokan, bersama dengan pemrosesan dan manufaktur yang terkait dengan makanan dan kemasannya, kata Miller.
Miller mengatakan bahwa kata-kata terkenal seperti “kurangi, gunakan kembali, daur ulang” (reduce, reuse, recycle), yang umumnya disingkat sebagai “3R”, dibuat untuk menunjukkan hierarki yang mudah diingat tentang cara-cara terbaik untuk mengurangi dampak lingkungan. Namun, sebagian besar pesan lingkungan tidak menekankan hierarki yang melekat pada 3R itu, yakni fakta bahwa mengurangi dan menggunakan kembali didahulukan sebelum mendaur ulang. Akibatnya, konsumen seringkali terlalu menekankan pentingnya mendaur ulang kemasan daripada mengurangi konsumsi produk dan menggunakan kembali barang untuk memperpanjang masa pakainya.
“Meskipun penggunaan plastik sekali pakai telah menciptakan sejumlah masalah lingkungan yang perlu diatasi, ada banyak konsekuensi di hulu dari masyarakat yang berorientasi pada konsumsi yang tidak akan hilang, bahkan jika sampah plastik berkurang secara drastis,” katanya.
“Fase ekstraksi sumber daya, produksi, dan penggunaan umumnya mendominasi dampak lingkungan dari sebagian besar produk. Jadi, pengurangan konsumsi bahan selalu lebih baik daripada daur ulang, karena kebutuhan untuk produksi tambahan ditiadakan.”

Sumber:
Miller, Shelie. “Five Misperceptions Surrounding the Environmental Impacts of Single-Use Plastic”. 26 October 2020. Environmental Science & Technology.