Pada 28 November 2021, Badan Pengawas Obat dan Makanan menerbitkan Rancangan Perubahan Kedua atas Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan di situs resminya. Salah satu pasal yang ditambahkan ke dalam Peraturan tersebut adalah kewajiban pencantuman tulisan “Berpotensi Mengandung BPA” pada label AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) berkemasan plastik polikarbonat (BPA merupakan bahan kimia perkursor plastik keras polikarbonat).

Dalam merencanakan rancangan perubahan peraturan tersebut, BPOM mempertimbangkan berkembangnya ilmu pengetahuan, teknologi, regulasi, serta bukti ilmiah di Indonesia dan negara lain dan berkembangnya perhatian terhadap risiko keamanan BPA pada kemasan AMDK. Dalam merumuskan rancangan perubahan peraturan tersebut, BPOM juga telah melakukan serangkaian kajian ilmiah terkait keamanan BPA, dampak ekonomi kesehatan, dampak lingkungan, dan dampak sosial.

Hasilnya adalah BPOM menilai migrasi BPA dalam AMDK galon polikarbonat berisiko terhadap kesehatan sejak di sarana produksi hingga peredaran (transportasi dan penyimpanan). Dengan mengubah peraturan tersebut, BPOM bertujuan (1) agar industri pangan dapat berinovasi sehingga berdaya saing untuk menghasilkan produk yang aman dan bermutu; (2) memberi informasi dan edukasi yang benar kepada masyarakat; dan (3) melindungi pelaku usaha dan pemerintah terhadap potensi tuntutan dari masyarakat di masa mendatang.

Namun, pihak industri AMDK yang diwakili Aspadin menolak rencana BPOM menerbitakan perubahan atas peraturan tersebut. Aspadin mengklaim perubahan peraturan itu bersifat diskriminatif karena hanya menyasar industri AMDK, padahal BPA juga digunakan industri pangan lain (misalnya sebagai pelapis pada makanan kaleng). Aspadin juga mengklaim perubahan peraturan itu akan melahirkan persaingan usaha tidak sehat karena ada perusahaan-perusahaan yang memproduksi AMDK galon berkemasan plastik lunak PET.

Pelabelan BPA juga diklaim “vonis mati” bagi produk AMDK galon polikarbonat karena produk AMDK sangat sensitif terhadap citra produk. Aspadin juga mengklaim mereka akan mengalami kerugian sekitar Rp 6 triliun akibat biaya penarikan galon polikarbonat dan Rp 10 triliun akibat penggantiannya dengan galon non-polikarbonat.

Benarkah klaim-klaim asosiasi industri di atas? Untuk menjawabnya, FMCG Insights mengadakan FMCG Talks “Pelabelan BPA dan Persaingan Usaha” dengan fokus pada tema, “Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat”, pada Kamis, 21 April 2022.

Webinar ini menghadirkan tiga narasumber. Mereka adalah Tjahjanto Budisatrio, M.Ec., pakar ekonomi dan bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Dr. Ima Mayasari, peneliti dan akademisi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, dan Yohanes Tjatur Art, manajer regional Cleo.

Berikut ini petikan jalannya webinar tersebut.

Modeator:

Asosiasi pengusaha mengklaim pengaturan pelabelan BPA pada produk AMDK galon polikarbonat (plastik keras) akan memicu praktik persaingan usaha tidak sehat karena ada satu-dua produk yang menggunakan galon PET (plastik lunak). Sebenarnya apa sih ciri-ciri atau karakter-karakter pasar atau persaingan usaha yang sehat itu?

Tjahjanto Budisatrio:

Kita tahu bahwa sebuah pasar persaingan sempurna adalah pasar yang memang diharapkan oleh semua ekonom. Kondisinya tidak ada rintangan atau halangan untuk masuk dan keluar dalam industri tersebut. Inilah yang kita harapkan.

Dalam kenyataan sehari-hari, mungkin sulit kondisi persaingan sempurna itu tercapai. Kalau kita bisa lihat secara sederhana, itu (pasar persaingan sempurna) misalnya adalah kondisi pasar cabai merah. Kita bisa lihat dua minggu sebelum puasa, harga cabai merah mungkin rendah. Setelah mendekati puasa, mulai naik. Nanti dua minggu setelah lebaran, harganya menjadi rendah lagi. Itu adalah sebuah proses dimana bertambahnya suplai terjadi ketika ada insentif, ada keuntungan. Adanya keuntungan menjadi daya tarik tersendiri.

Bagaimana dengan industri air minum dalam kemasan (AMDK)? Industri AMDK ini memang kelihatannya berkembang. Di awal, mungkin pemainnya terbatas tapi kemudian berkembang pemain-pemain yang kecil-kecil.

Namun, di sini kita bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi dari perkembangan AMDK ini. Apakah ia cukup dinyatakan sehat atau kurang sehat dalam pasar. Ini yang menjadi perhatian. Kenapa? Sebab, kita harus melihatnya secara baik.

Kita melihat dalam persaingan yang ada, apakah memang ada barriers to entry ke dalam pasar ini. Kalau ada barriers to entry, tentu saja sudah ada suatu rintangan, yang artinya pasar ini menjadi sudah tidak lagi perfect competition tapi imperfect competition. Artinya, persaingan menjadi kurang sehat. Itulah yang terjadi.

Adakah barriers to entry (dalam pasar AMDK)? Pertanyaannya seperti itu. Kalau kita perhatikan di sini (di pasar AMDK), (ternyata) ada barriers to entry, sadar atau tidak sadar. Kalau membeli galon A, dan ternyata galon A tidak ada di toko, kita harus membawa pulang galon kosong itu. Kita tidak bisa menukarnya dengan merek galon B. Ini otomatis ada sebuah kontrak jangka panjang yang sadar atau tidak sadar terbuat dari sistem yang ada ini. Inilah sebuah gambaran adanya barriers dalam pelaksanaan kegiatan ini.

Ini adalah barriers untuk masuk. Jadi, galon yang kita pegang tadi adalah investasi kita di awal karena kita membeli dan kita enggak bisa menukarnya dengan galon yang lain, padahal itu sama-sama air. Tapi, kita tak bisa menukar. Jadi, otomatis di-lock-in (penguncian kepelangganan). Switching cost-nya jadi mahal. Ada lock-in. Ada switching cost. Inilah yang membuat sebuah barrier.

Makanya, mereka yang berhasil melakukan lock-in secara kuantitas otomatis menjadi sangat dominan dalam pasar ini. Ini menunjukkan bahwa di dalam struktur pasar ini (AMDK), ada pemain yang dominan dan sisanya adalah pemain yang mengikutinya.

Ini bisa lebih banyak dilihat dalam struktur pasar teori “oligopoli”, bersaing model “Stackelberg”. Jadi, ada leader dan ada follower. Inilah yang terjadi. Yang menjadi perhatian kita adalah adanya lock-in, adanya barrier.

Namun, ada satu lagi yang menjadi perhatian kita di sini. Sebenarnya apa yang ingin BPOM sampaikan itu adalah liability yang harus mereka sampaikan pada masyarakat. Kenapa? Sebab, itu adalah tanggung jawab sosial.

Kita tahu banyak sekali penelitian mengenai BPA. Ini tidak terlalu bagus bagi kesehatan masyarakat. Ini yang menjadi perhatian. Apakah kesehatan ini perlu dilihat menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan. Kenapa? Sebab, ini adalah, dalam bahasa ekonomi, negatif eksternalitas. Ketika ada negatif eksternalitas, tentu saja pemerintah harus ikut masuk ke dalam pasar untuk perbaikan. Sebab, jika tidak, ini akan menimbulkan kegagalan pasar (market failure) di masa depan.

Contoh, kita tahu dilarang merokok. Kalau kita lihat produk rokok, di situ tertulis “merokok akan mengakibatkan bla, bla, bla”. Itu sesuatu yang hanya mengingatkan bahwa ini berbahaya tapi konsumen yang suka tetap beli rokok. Namun, ada perbaikan dari pemerintah. Contoh lainnya, aturan tidak boleh merokok di tempat umum. Merokok disediakan tempatnya.

Jadi, ada tanggung jawab sosial yang harus dilakukan oleh pemerintah. Kalau bapak dan ibu jalan-jalan ke tetangga sebelah, Singapura, kita enggak boleh merokok di jalan. Itu juga diingatkan.

Jadi, ada usaha untuk mencegah supaya dampaknya tidak ke mana-mana. Ini yang harus kita perhatikan.

Moderator:

Baik. Saya ingin bertanya lebih jauh soal kondisi pasar AMDK galon, yang tadi disebutkan sebagai oligopoli dan juga ada dominasi dan ada barriers to entry berupa lock-in dan switching cost yang mahal. Meskipun pemainnya cukup banyak, ribuan kalau menurut data, apakah tetap ada kondisi-kondisi yang tidak sehat di pasar AMDK?

Tjahjanto:

Banyaknya pemain itu tidak berarti pasar sehat atau tidak sehat. Tapi, kita melihat adanya rintangan untuk masuk karena tidak semua pemain bisa me-lock-in. Kita harus bikin kategori sebenarnya. Apakah betul kategori mereka itu semuanya berada dalam industri air kemasan yang premium? Ada kategori air kemasan yang tidak premium, seperti di tempat pengisian-pengisian (depo) itu. Itu bisa kita lihat. Di situ, mereka tidak premium. Mereka tentu saja ingin premium tapi sulit melakukan itu karena harus punya galon sendiri, dan tidak punya dana untuk itu. Sementara, yang punya galon harus tetap menggunakan barang itu. Otomatis dia di-lock-in ke dalam situ.

Jadi, tidak ada pilihan bagi masyarakat untuk memilih produk lainnya selain dari apa yang sudah dia miliki (galon merek tertentu). Jadi, otomatis dibikinlah sebuah kontrak jangka panjang oleh perusahaan tersebut, sehingga menjadi lock-in. Ini sebenarnya sesuatu yang bisa dikatakan sebagai barrier untuk orang lain, untuk pembeli yang lain.

Moderator:

Menimbang penjelasan tadi, menurut Anda, apakah rencana pengaturan pelabelan BPA oleh BPOM terhadap galon yang kita gunakan berulang-ulang, yang plastiknya keras itu, bisa menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat terhadap kondisi pasar yang memang sudah tidak sehat atau bisa sebaliknya?

Tjahjanto:

Pelabelan BPA justru membuat orang bisa memilih. Apakah dia mau memilih produk yang sudah dikasih label bahwa ini mengandung BPA, dan dia tahu implikasi BPA itu seperti apa, atau produk yang memang tidak menggunakan BPA dengan implikasi kesehatan seperti apa. Biarkanlah masyarakat untuk memilih, dalam hal ini artinya tidak ada lock-in, sehingga masyarakat bisa memilih.

Jadi, persaingan akan terjadi ketika masyarakat semakin sadar akan kesehatan. Akibatnya, mereka mungkin memilih produk yang tidak menggunakan BPA. Nah, otomatis produk yang menggunakan BPA akan dicoba untuk diperbaiki, sehingga bisa bersaing. Inilah yang kita sebut dengan kondisi dimana pemain berkontes di pasar. Ini adalah pendekatan Baumol. Namanya contestable market.

Jadi, akan ada persaingan, seperti saling menunjukkan seberapa jauh air mereka sehat dan bersih serta memberi penjelasan yang cukup baik kepada masyarakat. Inilah yang kita sebut “contestable market”. Inilah yang kita harapkan seperti dikatakan oleh Baumol, seorang pakar.

Moderator:

Jadi, agar kesadaran itu timbul, maka penting pengetahuan masyarakat tentang BPA, dan karenanya label itu juga menjadi penting. Terima kasih atas penjelasannya.

Baik, BPOM telah merilis rancangan perubahan peraturan tentang label pangan olahan sejak November tahun lalu di situs resminya sebagai bagian dari konsultasi publik. Tapi, hingga kini belum juga ada kabar tentang pengesahan. Saya tidak tahu apakah kondisi ini dikarenakan penolakan asosiasi pengusaha atau tidak. Tapi, yang ingin saya tanyakan, sebenarnya bagaimana Anda melihat proses penyusunan, perumusan, dan harmonisasi perubahan peraturan itu dari sisi administrasi hukum?

Ima Mayasari:

Saya pernah membuat policy brief terkait dengan urgensi regulasi pelabelan BPA. Di kesempatan hari ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal, yang menjadi outline paparan saya pada hari ini.

Kalau kita lihat dalam hal ini ancaman senyawa BPA pada kemasan pangan, khususnya AMDK, ini memunculkan sebuah terobosan kebijakan dalam melakukan regulasi pelabelan BPA pada kemasan pangan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Kalau kita lihat sendiri, BPA ini adalah bahan kimia yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan plastik polikarbonat, pemlastis dalam produksi resin epoksi, dan aditif untuk menghilangkan kejenuhan asam hidroklorat selama produksi plastik PVC.

Tadi sudah disinggung terkait dengan berbagai publikasi ilmiah yang menunjukkan bahwa toksisitas dari BPA pada kelompok dewasa dan usia produktif ini terkait infertilitas, keguguran, komplikasi persalinan, obesitas, dan penyakit metabolik. Ini dari dokter Irfan saya kutip. Lalu kemudian toksisitas BPA pada kelompok usia anak-anak juga menyebabkan depresi, ansietas, perilaku hiperaktif, perilaku emosional, dan kekerasan serta berpengaruh terhadap dopamine, serotonin, dan sebagainya.

Dengan demikian, memang penyusunan regulasi pelabelan BPA pada kemasan pangan di Indonesia menjadi tantangan dan seiring dengan kebutuhan perlindungan terhadap konsumen yang berkembang dalam tataran global dan berpengaruh di Indonesia.

Nah, tadi sudah disinggung oleh moderator bahwa ada rancangan peraturan BPOM tentang perubahan kedua atas peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Saya sudah mempelajarinya dan saya juga sudah konfirmasi bahwa saat ini prosesnya sedang dalam proses persetujuan Presiden karena semua rancangan dari peraturan sekarang memang harus ada proses yang namanya persetujuan terlebih dahulu dari Presiden sebelum kemudian dilakukan paralel untuk harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.

Nah, saya rasa apa yang kemudian disusun dalam rancangan peraturan BPOM, karena ini adalah peraturan revisi, tidak banyak isinya. Ini telah disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum atau regulasi serta ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan olahan dimana benchmark telah dilakukan di negara-negara yang mengatur pelabelan BPA pada AMDK dan kemudian produk lainnya. Sehingga, kemudian regulasi ini lahir dengan evidence-based policy making dan stakeholders engagement yang kuat.

Jadi, memang peraturan BPOM ini dibuat, selain memang tugas BPOM untuk mengatur kepentingan keamanan pangan dan melakukan pengawasan sebelum dan sesudah pangan diedarkan, karena ada banyak sekali desakan dari komponen masyarakat terkait dengan bahaya dari paparan toksisitas BPA. Kemudian BPOM juga sudah melakukan kajian terhadap bahaya BPA ini sendiri. Kalau saya lihat dari sini, dari sisi evidence-based policy making, (peraturan) ini sangat kuat dan stakeholder engagement juga sangat kuat, sehingga dengan demikian urgensi dari regulasi pelabelan BPA itu ada dari toksisitas BPA, lalu kemudian ada larangan BPA di berbagai negara, salah satunya di Perancis, dan kemudian ada keamanan pangan dan perlindungan konsumen serta ada sinkronisasi kebijakan dari hulu hingga hilir.

Jadi, jangan sampai nanti hanya dilakukan oleh BPOM saja tetapi ini harus ada sinkronisasi dari hulu hingga hilir. Kebijakan dari kementerian perindustrian juga harus bisa men-support atau harmonis dengan apa yang sudah disusun oleh BPOM dalam hal ini, dan ini adalah bagian dari toksisitas BPA bahwa ini bisa menimbulkan gangguan hormon endokrin dan bisa kanker. Memang tidak terasa tetapi ini paparannya akan berdampak seperti itu, dan ini paparannya tidak bisa kita lihat saat ini tetapi ini akan bertahap memicu gangguan-gangguan yang lain, penyakit yang lain.

Kemudian, kalau kita lihat, ada larangan BPA di berbagai negara. Di Amerika Serikat sendiri, kita lihat di negara-negara bagian Amerika Serikat seperti di California dan lain-lain. Mereka sudah melarang pemakaian BPA pada botol susu bayi dan beberapa kemasan kotak pangan.

Jadi, kalau di Indonesia kan, sudah tidak boleh botol bayi mengandung BPA. Jadi, (botol bayi) harus BPA-free. Yang belum dilakukan itu adalah kemasan kotak pangan, yang salah satunya adalah galon berbahan polikarbonat ini. Ini mengandung BPA dan belum ada pelarangannya di Indonesia. Bagaimana dengan Denmark, Swedia, Austria, Belgia dan kemudian Perancis? Mereka melarang penggunaan BPA pada botol susu bayi, peralatan bayi, dan kemasan kotak pangan. Lagi-lagi ini sudah terkait dengan kemasan pangan yang menjadi concern negara-negara ini. Di Uni Eropa juga seperti itu dan Kanada. European Food Safety Authorty (EFSA) memberlakukan batasan toleransi (BPA), dan di Asia, di Malaysia, sama seperti di Indonesia. Mereka sudah melarang penggunaan BPA pada produk botol susu bayi dan peralatan bayi.

Kalau kita lihat dari sisi keamanan pangan dan perlindungan konsumen, keamanan pangan ini berfokus pada tiga faktor, termasuk paparan kumulatif terhadap zat kontak pangan yang bermigrasi ke makanan dan minuman, yang kedua adalah sifat komponen kemasan pangan, dan yang ketiga adalah tingkat paparan yang aman. Satu hal lagi yang sangat penting di sini adalah bagaimana perlindungan terhadap konsumen dalam kaitan dengan hal ini. Pelabelan BPA dilakukan untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan ini penting.

Jadi, kita harus menjaga keselarasan antara satu aturan. Kalau sudah ada kebijakan yang dikeluarkan oleh BPOM, tidak boleh ada kebijakan yang bertentangan dari Kementerian Perindustrian. Dalam kaitan dengan hal ini, harus ada regulasi dan standarisasi dari kemasan pangan itu sendiri.

Kalau kita lihat tugas BPOM adalah melakukan pengawasan obat dan makanan sebelum beredar dan kemudian selama beredar. Ini dilakukan untuk perlindungan terhadap konsumen, yaitu melindungi kesehatan masyarakat.

Nah, ini ada beberapa pertanyaan pemantik, yang nanti akan saya jawab. Tetapi ini saya terangkan dulu. Jadi ada regulatory policy 2.0. Ini pengalaman saya dari banyak membantu pemerintah dalam mendesain kebijakan strategis, terkait dengan misalkan bagaimana kita melakukan reformasi perizinan berusaha, mulai dari online single submission lalu kemudian yang saat ini sedang ramai dibicarakan oleh masyarakat terkait dengan Undang-Undang Cipta Kerja.

Ini semua dilakukan sebagai bentuk reformasi regulasi yang kita lakukan. Dokumen OECD sudah mengenalkan regulatory policy 2.0. Kita bisa melihat komponennya di sini. Adanya pandemi, krisis global, dan policy problem complex mendorong pemerintah untuk membuat sebuah regulasi yang lebih baik.

Saya rasa apa yang dilakukan oleh BPOM dalam hal ini adalah memperbaiki regulasi yang sudah ada, terutama untuk memberi perlindungan kepada konsumen dalam kaitan dengan keamanan pangan—dalam hal ini adalah produk AMDK. Nah ini regulatory policy 2.0 di sini merupakan sebuah agenda yang kemudian menawarkan kesempatan untuk melakukan adaptasi, amandemen, dan menciptakan sebuah framework yang lebih agile untuk membuat sebuah regulasi yang lebih baik.

Jadi, sudah tidak pada saatnya kita hanya melihat pada skup nasional saja. Bagaimana international best practice negara-negara lain, seperti tadi yang sudah saya jelaskan, sudah melarang penggunaan AMDK yang mengandung BPA. Apalagi sekarang kita sudah didesak oleh adanya inovasi teknologi. Ini memaksa pemerintah untuk kemudian beralih dari pola pikir “setelah mengatur kemudian meninggalkan”. Tetapi, (pemerintah) harus terus membuat sebuah mindset atau pola pikir yang mengembangkan sebuah adaptasi dan pendekatan untuk melakukan pembelajaran terus-menerus.

Saya mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh BPOM. Mereka mau melakukan kajian-kajian literatur ilmiah, dan juga melakukan pengecekan di laboratorium terkait dengan paparan BPA itu sendiri. Kemudian mereka juga mengkaji regulasi-regulasi yang sudah diimplementasikan di luar negeri.

Harus ada perubahan paradigma dalam proses pembuatan sebuah regulasi itu sendiri. Di Indonesia saya juga mendorong pemerintah beberapa kali untuk melakukan adaptasi dengan menggunakan regulatory management tool untuk meningkatkan agilityquality, dan koherensi dalam pembuatan sebuah kebijakan. Ini penting sekali.

Tadi saya sudah menekankan jangan sampai kemudian regulasi ini hanya berlaku di BPOM tetapi tidak selaras dengan regulasi yang ada di kementerian lain. Sudah tidak saatnya kita sektoral tapi harus membuat sebuah hal yang kemudian memperbaiki kualitas penyusunan sebuah kebijakan. Jangan sampai terjadi pertentangan antarsektor, tetapi kita harus harmonis karena memang ini untuk melindungi kepentingan masyarakat dan kepentingan swasta. Kita harus menjaga koherensi ini lalu kemudian mempelajari bagaimana perilaku konsumen itu sendiri, sehingga kemudian kita mengadaptasi sebuah kebijakan.

Penting adanya sebuah pengawasan dan kemudian pendekatan berbasis risiko karena sekarang ini juga diadaptasi oleh pemerintah dalam perizinan. Untuk berbasis risiko, harusnya sebuah regulasi itu disusun dengan mengedepankan pertimbangan terkait risiko. Kalau ini diatur, risikonya apa. Kalau ini tidak diatur, risikonya apa.

Tentunya kita sudah mengenal metode RIA (regulatory impact assessment) dan bagaimana pemerintah perlu membangun trust dalam sebuah regulasi kepada masyarakat itu sendiri. Ini yang sangat penting. Di sini, evidence-based policy making dan stakeholder engagement menjadi penting.

Jadi, regulasi dalam pembuatan sebuah keputusan atau kebijakan tersebut merefleksikan sebuah kebutuhan dan realitas sosial dari masyarakat sendiri, sehingga dirasa kita membutuhkan adanya sebuah adaptasi dan kemudian bereaksi secara cepat untuk melakukan perubahan. Dari kebutuhan masyarakat pada saat ini, saya melihat pada webinar yang dahulu bagaimana Asosiasi Ibu Menyusui sangat khawatir sekali jika tidak ada edukasi terkait dengan hal ini (BPA). Jadi, stakeholder engagement penting dan regulatory impact assessment penting. Begitu juga ex-post evaluation penting dan adanya koherensi regulasi di berbagai tingkat pemerintahan ini merupakan bagian dari regulatory policy 2.0 yang dikeluarkan oleh OECD.

Saya rasa ini menjawab pertanyaan-pertanyaan bahwa apakah rancangan peraturan sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam memberikan edukasi terkait dengan toksisitas bahaya BPA guna keamanan pangan dan kemudian perlindungan Konsumen.

Saya jawab pertanyaan kedua bahwa rancangan peraturan BPOM ini telah disusun dengan evidence-based policy making karena saya sudah mendengar paparan Deputi BPOM, kemudian kajian yang mereka lakukan. Ini sudah cukup evidence-based policy making-nya dan kemudian stakeholder engagement juga cukup kuat. Rancangan peraturan BPOM sudah merefleksikan kebutuhan dan realitas masyarakat dari bahaya toksisitas BPA, sehingga kita perlu melakukan adaptasi dan perubahan yang cepat. Selain itu terdapat ex-post evaluation dan kemudian harmonisasi regulasi di berbagai tingkatan pemerintahan. Ingat jangan sampai kemudian terjadi pertentangan kebijakan di antara satu sektor dengan sektor lain. Kemudian proses penyusunan dan harmonisasi sudah dilakukan sesuai regulatory policy 2.0, dimana salah satunya adalah stakeholder engagement.

Ini pertanyaan menarik terkait social cost versus capital cost. Saya rasa BPOM sudah membuat sebuah kajian yang telah menggunakan pendekatan regulatory impact assessment. Sudah dihitung berapa social cost dan capital cost-nya. Semua itu kemudian sampai kepada pengambilan keputusan bahwa dibutuhkan revisi terhadap peraturan BPOM. Ini yang kemudian mewajibkan pelabelan BPA ini.

Jadi, ini sudah sesuai dengan tugas BPOM untuk melakukan pengawasan obat dan makanan, baik sebelum beredar maupun setelah beredar. Jika ada pihak yang berkeberatan terhadap sebuah regulasi, sudah ada mekanismenya. Sebab, sebuah kebijakan itu berputar terus. Nanti pemerintah juga, jika ada masalah, mempertimbangkan permohonan yang diajukan oleh masyarakat atau perusahaan. Ketika peraturan ini diundangkan, ada saluran dan mekanisme. Apakah kemudian pengundangan itu tepat atau tidak. Itu bagian dari review atau ex-post evaluation.

Tapi, regulasi harus menjangkau keterjangkauan jangka panjang. Kalau BPOM tidak mengeluarkan peraturan ini, masyarakat tidak akan tahu toksisitas BPA.

Bagi saya, rancangan peraturan BPOM ini memiliki aspek kemanfaatan untuk melindungi kesehatan masyarakat. Ini semua sudah ter-capture. Mereka sudah melihat international best practices dari policy brief yang saya tulis.

Kemudian perlu dilakukan penyesuaian dan perubahan pencantuman logo tara pangan dan kode daur ulang pada kemasan dari plastik dan peraturan lainnya serta Standar Nasional Indonesia (SNI), agar selaras dengan peraturan BPOM ini. Perlu pengharmonisasian. Nah, nanti juga perlu kementerian lain melakukan penyesuaian terhadap regulasi yang sudah dibuat oleh BPOM. Juga penting setelah nanti peraturan ini keluar, BPOM harus melakukan edukasi dan sosialisasi sebagai bentuk penyadaran kepada masyarakat terhadap bahaya BPA, yang diiringi dengan kegiatan monitoring dan evaluasi secara berkala sehingga penyimpangan dapat diketahui dan kemudian diatasi.

Ini paparan singkat dari saya. Mudah-mudahan bisa dimengerti dan bisa bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.

Moderator:

Terima kasih atas penjelasannya. Ini menarik dan menurut saya betul juga karena masyarakat kita, menurut survei YLKI, kurang peduli terhadap informasi pada kemasan. Saya juga baru tahu bahwa ternyata pada galon AMDK itu ada tanggal produksi galonnya, dan itu sayangnya ditulis sangat kecil. Jadi memang sepertinya informasi soal pelabelan atau informasi yang terkandung dalam label itu penting untuk disampaikan karena kita kurang ngeh.

Nah, itu kan sudah cukup komprehensif proses perumusan dan perancangan peraturan tersebut: sudah evidence-based policy dan juga sudah ada keterlibatan stakeholder. Kemudian, kalau melihat isinya, isi perubahan peraturan itu, apakah pantas diklaim peraturan itu akan memvonis mati produk AMDK galon polikarbonat?

Ima:

Saya langsung jawab tegas, tidak. Sebab, sebuah peraturan itu pasti akan ada waktu, ada waktu untuk melakukan penyesuaian. Kalau tidak salah di dalam peraturan BPOM itu, ada di pasal II, di sini saya bacakan saja: “Air minum dalam kemasan yang telah beredar sebelum berlakunya peraturan badan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam peraturan badan ini paling lama 3 tahun sejak peraturan badan ini diundangkan”. Jadi, katakanlah ini diundangkan pada 2022, masih ada 3 tahun waktu untuk melakukan penyesuaian. (Bisnis) tidak akan mati seperti itu.

Jadi, sebagai pembuat kebijakan, lagi-lagi saya singgung, ada regulatory impact assessment (RIA) yang dilakukan. Dalam kaitan dengan hal ini, BPOM pun tentu mempertimbangkan bagaimana kelanjutan dari industri ini, tidak langsung mematikan begitu saja. Saya rasa tidak akan mungkin pemerintah melakukan seperti itu, tetapi pasti ada rentang waktu penyesuaian 3 tahun. Saya rasa itu cukup. Industri tidak akan langsung mati karena penyesuaian itu dilakukan tiga tahun. Mau melabeli BPA itu kan diberi waktu selama 3 tahun.

Itu juga tidak berarti bahwa galonnya tidak boleh. Akhirnya masyarakat menjadi concern.

Moderator:

Terima kasih. Menarik sekali penjelasannya. Kawan-kawan para peserta webinar, kita sampai pada segmen kedua. Kita akan membahas topik ini lebih dalam.

Sebelumnya, saya mengingatkan atau menginformasikan kepada kawan-kawan peserta webinar bahwa kawan-kawan bisa terlibat dalam diskusi ini dengan menuliskan pertanyaan pada kolom chat, yang nanti akan saya sampaikan di segmen ketiga kepada para narasumber. Baik, kita lanjutkan saja diskusinya.

Ini ada klaim dari asosiasi pengusaha, jika pelabelan ini disahkan, mereka akan merugi 6 triliun rupiah dari penarikan ratusan juta galon di seluruh Indonesia dan juga 10 triliun rupiah dari biaya penggantiannya dengan galon yang non-polikarbonat. Bagaimana Anda melihat klaim tersebut? Apakah ini yang dimaksud dengan biaya hangus atau sunk cost yang dalam bisnis bisa saja memicu persaingan usaha tidak sehat?

Tjahjanto:

Saya melihatnya seperti tadi telah disampaikan, bahwa pihak BPOM sendiri sudah melakukan perhitungan tentang social cost versus capital cost. Artinya, mereka memperhitungkan segala kemungkinan yang bisa terjadi atas pelabelan ini. Kedua, sadar atau tidak sadar, setiap orang yang membeli galon itu awalnya sudah melakukan investasi. Yang melakukan investasi adalah pelanggannya. Tadi, saya katakan mereka sudah lock-in. Mereka sudah menaruh uang itu untuk botol (galon) tersebut. Bahwa botol itu nantinya hanya bisa dipergunakan untuk produk tersebut, ya otomatis karena memang itu ketentuan yang dilakukan.

Nah, apakah harus dihancurkan (galon)? Apakah perlu dihancurkan? Kita bisa katakan mungkin kita reduce. Kemudian kita reuse. Reduce dengan mencoba untuk mengurangi penggunaan galon BPA. Itu dengan catatan kalau memang terjadi penurunan permintaan. Yang namanya lock-in, ya enggak masalah mau dilabeli sekalipun. Dia sadar bahwa ini dilabeli tapi tidak ada ketentuan, seperti dalam draf BPOM, yang tadi dibacakan, bahwa harus tanpa BPA. Ini hanya dilabeli. Jadi, ini tidak bermasalah tentang pergantian. Jadi, itu hanya masalah apakah demand berkurang atau tidak. Masyarakat sadar atau tidak. Jadi, konsekuensinya pada masyarakat. Tanggung jawab 30 ribu rupiah (per galon) itu jadi beban pelanggan. Ya, sudah galonnya enggak bisa ditukarkan kecuali kalau dia bisa menukarkan uangnya.

Jadi kalau dilihat sampai merugi 6-10 triliun, rasanya sih enggak. Karena ini tidak harus dihancurkan tapi cukup dilabeli. Jadi, perusahaan masih boleh menjual. Ini sama persis dengan rokok. Boleh saja menjual rokok tapi ada labelnya. Itu pandangan saya.

Moderator:

Kalaupun ada yang disebut kerugian, itu bukan kerugian perusahaan tapi malah biaya yang telah dikeluarkan konsumen karena konsumen sudah deposit 30.000 rupiah untuk galon itu?

Tjahjanto:

Ya, betul. Karena konsumen sudah di-lock-in. Nah, apakah itu bisa ditukarkan, saya enggak melihat ada yang mau membelinya. Saya tukar di minimarket-minimarket, belum tentu mereka mau menerima.

Moderator:

Kita sering mendapati Industri yang mengklaim kerugian kalau menghadapi perkembangan informasi kesehatan, perkembangan sains, dan perkembangan teknologi. Mereka selalu melihat perkembangan-perkembangan itu vis a vis dengan kerugian investasi mereka di masa lalu. Jadi, mereka selalu melihat ke masa lalu. Mereka sudah investasi sekian-sekian, dan mereka enggak mau berinovasi karena mereka melihat investasi masa lalu sebagai kerugian. Jadi, seolah-olah kondisi semacam itu atau perilaku ekonomi semacam itu seperti perilaku orang yang jumud, yang enggak mau berinovasi. Bagaimana pendapat Anda?

Tjahjanto:

Saya sepakat. Itu sesuatu yang mereka sudah kebiasaan, menerima kondisi captive, mengharapkan semuanya captive. Padahal, kalau kita lihat IKEA, mereka itu sudah sejak 2012 menghapus BPA dari produknya, dan produknya sampai sekarang survive. Bayangkan itu. Kalau kita bicara Toys “R” Us, sebuah permainan, salah satu penyebabnya (kegagalannya) adalah ketika orang berbicara tentang BPA tapi dia enggak mau berubah. Dampaknya dia hilang di pasar, sudah enggak ada lagi Toys “R” Us.

Artinya, seorang pengusaha, seorang produsen, itu harus kreatif dan inovatif. Bagaimanapun juga tuntutan itu berkembang. Kita bisa lihatlah beberapa produk. Contohnya, mungkin bapak-ibu pernah lihat handphone Siemens. Ketika Siemens tidak mau berubah dengan keyboard di layar, dan tetap mempunyai keyboard terpisah, dampaknya orang sudah senang dengan keyboard yang ada di layar. Jadi, itulah sebuah kreativitas, dan fitur ke depan semua harus menyesuaikan diri dengan tuntutan masyarakat akan kesehatan, akan kemudahan. Itu yang harus dilakukan menurut saya.

Moderator:

Terima kasih. Saya akan ke Bapak Yohanes Tjatur Art, manajer regional Cleo.

Kita tidak akan mempersoalkan apakah BPA itu berbahaya atau tidak bagi kesehatan masyarakat. Kita sudah percaya kepada BPOM yang memang telah melakukan kajian dan menyatakan adanya risiko kesehatan dari paparan BPA. Nah, saya ingin bertanya kepada Pak Yohanes, mengapa sih teman-teman Pak Yohanes dari kalangan industri produsen AMDK galon itu sulit sekali menerima rencana perubahan peraturan yang berkaitan dengan pelabelan BPA ini?

Yohanes Tjatur:

Dari paparan beberapa narasumber tadi, yang pertama keengganan dan kekhawatiran rekan-rekan pelaku bisnis, kalau dari kami, dari Cleo, kami sangat mendukung rencana regulasi BPOM ini. Karena kita akan menjaga bahwa paparan BPA itu harus dapat diminimalkan. Sementara, dari pelaku usaha yang menggunakan bahan polikarbonat tapi, misalkan, paparan BPA-nya di bawah batas yang ditentukan BPOM, kenapa mereka harus khawatir. Jadi, ini tantangannya adalah para pelaku usaha yang memproses galon polikarbonat maupun memproses ulang galon polikarbonat itu dengan tidak benar, dan paparan BPA-nya melebihi batas yang ditentukan oleh BPOM, ini harus membuat suatu inovasi atau mempersiapkan diri untuk ke sana. Jadi, bukan masalah polikarbonat atau non-polikarbonat, tetapi proses untuk pengendalian BPA-nya itu yang penting. Itu satu ulasan dari kami.

Kemudian, masalah pelabelan. Kami sudah cukup lama hadir dengan bahan non-polikarbonat. Kami sudah mencantumkan label BPA Free, tapi mungkin masyarakat umum banyak yang kurang paham. Jadi, di sinilah, menurut saya, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti BPOM serta pelaku usaha lainnya secara bersama-sama memberikan edukasi dan sosialisasi yang terang benderang kepada masyarakat atau konsumen dan juga dengan cara atau metode yang simpel. Kadang bagi rekan-rekan pengusaha, seolah-olah sosialisasi dari BPOM kayak momok dan menakutkan. Ini ke depan secara bersama-sama harus dilakukan edukasi secara simpel dan jelas dan terang.

Moderator:

Terima kasih atas penjelasannya. Menarik, tadi saya catat, jadi kalau memang hasil produksi paparan BPA-nya di bawah batas aman yang ditentukan oleh BPOM, buat apa cemas dengan pelabelan itu. Nah, ini yang dicemaskan juga oleh teman-teman dari kalangan pengusaha AMDK itu adalah nanti kalau ada pelabelan, akan ada saling klaim bahwa produk yang satu lebih sehat, lebih aman, daripada produk yang lain. Bagaimana menurut pandangan Pak Yohanes?

Yohanes Tjatur:

Jadi, di situ ada semacam kontes market. Itu sah-sah saja. Maksud kami, sepanjang kita tidak menjatuhkan produk lain, saya rasa itu sah-sah saja di dunia marketing. Yang penting di sana kita jaga kualitas kita, memenuhi regulasi dan pelayanan kita, kecepatan distribusi, dan sebagainya. Itu kan salah satu dasar untuk kita dipilih oleh konsumen. Jadi, itu menurut saya tidak ada kekhawatiran ke sana. Jadi, kontes market itu sah-sah saja sepanjang kita aman dan sehat untuk konsumen. Itu yang kita utamakan.

Moderator:

Tadi dipaparkan bahwa sebenarnya kondisi pasar AMDK kemasan galon ini tidak terlalu kompetitif karena ada lock-in soal galonnya. Jadi, kalau sudah pakai galon ini, enggak bisa lagi pakai galon yang lain. Itu salah satu tanda tidak kompetitif. Pak Yohanes mungkin bisa menceritakan waktu dulu Cleo masuk pasar AMDK karena Cleo kan bukan first mover. Di sini kita tahu siapa first mover-nya. Apakah dulu ketika masuk pasar AMDK Cleo nyaman atau bagaimana?

Yohanes Tjatur:

Baik, terima kasih. Mungkin saya cerita sedikit. Waktu kami hadir di tengah masyarakat kondisinya berbeda dengan rekan-rekan. Itu suatu tantangan yang luar biasa. Bahkan orang menganggap ini apa. Kita lakukan terus-menerus dan kita mempunyai basic bahwa di negara-negara lain justru sudah mulai diatur (BPA) tapi kami hadir di Indonesia sendiri waktu itu luar biasa tantangannya, tapi secara perlahan kami tingkatkan kualitas, dan ternyata di Indonesia sendiri aturan itu akan diberlakukan. Jadi, mungkin kami sudah tidak kerepotan. Tapi, juga untuk teman-teman pelaku usaha lainnya menurut saya sih enggak perlu ada yang dikhawatirkan sepanjang kita memprosesnya dengan benar dan memenuhi standar yang ditetapkan oleh BPOM.

Moderator:

Jadi, waktu Cleo masuk itu sudah tidak menggunakan polikarbonat?

Yohanes Tjatur:

Sudah non-polikarbonat.

Moderator:

Jadi, sudah mengantisipasi isu BPA ini?

Yohanes Tjatur:

Ya, salah satunya itu. Maaf kalau saya sedikit menyimpang. Saat ini kan lagi hangat-hangatnya mobil listrik. Pelaku usaha harus inovatif dan kreatif. Maaf sedikit menyinggung lagi regulasi. Kenapa sih dulu waktu mau diterapkan wajib menggunakan helm, wajib menyalakan lampu sepeda motor pada siang hari, mungkin awalnya masyarakat sulit menerima tapi dengan berjalannya waktu akhirnya helm bukan hanya untuk keselamatan saja tapi sudah jadi fashion. Akhirnya pelaku usaha berlomba-lomba agar fashion ini memenuhi syarat SNI. Itulah kontes pasar.

Moderator:

Tahun berapa pertama kali Cleo masuk?

Yohanes Tjatur:

2003.

Moderator:

Bagaimana inovasi-inovasi di industri AMDK karena produk air minum dalam kemasan saat ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, air minum dalam kemasan ini sudah jadi kebutuhan sehari-hari, sekitar 40% masyarakat bergantung pada AMDK. Nah, sebenarnya apa inovasi-inovasi yang dilakukan oleh teman-teman di AMDK supaya produknya makin aman dan makin berkualitas?

Yohanes Tjatur:

Mungkin saya boleh colek teman sejawat saya, Pak Dian.

Moderator:

Silakan Pak Dian.

Pak Dian:

Jadi yang mungkin bisa saya share di sini adalah apa yang kami lakukan di Cleo untuk air minum. Galon kami kan returnable, sehingga kami harus bisa melakukan inovasi supaya produk tetap aman untuk masyarakat. Karena kami returnable, maka kami benar-benar melihat apakah galon yang sudah tidak layak untuk masyarakat bisa kami olah lagi dan manfaatkan untuk proses yang ramah lingkungan dan proses yang berguna bagi kita, supaya kami bisa survive. Yang kami lakukan kita menggunakan strategi “B to B”, yaitu bottle to bottle. Jadi, galon yang sudah tidak memenuhi standar kami lakukan proses sehingga menjadi pelet-pelet lalu kami recycle untuk jadi botol lagi. Itu yang kami lakukan di Cleo.

Jadi, inovasi terhadap kemasan itu tetap kami jaga. Jadi, jangan sampai memberikan kemasan yang memang kondisinya sudah tidak layak untuk masyarakat dan memenuhi regulasi yang memang dari awal Cleo sendiri sudah mencanangkan label BPA free. Dari awal kami berbeda dengan yang lain. Jadi, memang kami sudah concern ke sana dari awal. Kami inovasi dari awal supaya kualitasnya memenuhi apa yang dipersyaratkan oleh pemerintah dan kebutuhan masyarakat.

Moderator:

Terima kasih atas penjelasannya. Ibu Ima (Mayasari) sudah kerap melakukan konsultasi atau pendampingan terhadap pembentukan peraturan yang berkaitan dengan kegiatan usaha atau bisnis. Apakah Anda melihat kondisi yang sama dengan yang saat ini sedang terjadi di kalangan industri AMDK vis a vis peraturan BPOM ini?

Ima:

Setahu saya BPOM sudah melakukan konsultasi publik dengan mengundang asosiasi pengusaha. Kebetulan saya juga hadir diundang sebagai akademisi untuk memberi pandangan. Jadi, saya rasa sosialisasi atau menjaring opini sudah dilakukan oleh BPOM. Sebab, enggak mungkin di era sekarang ini membuat peraturan secara sepihak. Kalaupun itu tindakan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah, dalam tataran hukum administrasi negara, membuat aturan dan mengambil keputusan itu adalah tindakan sepihak dari pemerintah. Tetapi dalam hal ini, dalam perkembangan yang terjadi, keterlibatan dari para pemangku kepentingan itu penting.

Kalau kemudian ternyata ada penolakan atau ketidaksesuaian tetapi masyarakat tetap mendorong, maka dilihat kepada regulatory impact assessment kembali.

Moderator:

Kalau melihat belum ada kabar pengesahan peraturan tersebut, mungkin sudah sekitar empat bulan, apakah menurut Anda, ini masih wajar-wajar saja?

Ima:

Karena sekarang setiap peraturan harus melewati persetujuan Presiden dulu, itu kan bisa bolak-balik, bisa kemudian minta konfirmasi lagi ke BPOM. Seperti itu, dan itu sudah lazim. Kita ikuti saja proses yang ada. Yang terpenting BPOM mengawal terus peraturan ini karena ada komitmen dari tupoksi BPOM untuk melakukan pengawasan pangan, baik sebelum maupun sesudah beredar.[]