Skip to main content
  • Administrator

Studi di Inggris: BPA Sulit Dihindari karena Tidak Adanya Pelabelan

Sebuah penelitian pada Februari 2018 dari Universitas Exeter, Inggris, menemukan bahwa 86% remaja memiliki jejak Bisfenol-A (BPA) dalam tubuh mereka. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, mengingat BPA merupakan bahan kimia pengganggu hormon yang meniru hormon seks dan telah dikaitkan dengan kanker payudara dan prostat pada wanita, serta jumlah sperma rendah dan kelainan sperma pada pria.

Meskipun memiliki reputasi buruk, BPA masih digunakan dalam berbagai wadah plastik, galon air minum dalam kemasan (AMDK) bekas pakai, kaleng makanan, benang gigi, dan kertas termal (struk kertas). Ini berarti manusia seringkali bersentuhan dengannya.

Penelitian tersebut bertujuan untuk melihat apakah memungkinkan untuk mengurangi kadar BPA di dalam tubuh dengan mengubah pilihan makanan. Studi ini dirancang sebagai pengaturan “dunia nyata” dan berbeda dari penelitian sebelumnya yang lebih fokus pada keluarga dan individu terkait, yang kemungkinan memiliki sumber BPA yang sama, serta mengikuti intervensi diet ketat yang tidak realistis untuk dipertahankan dalam jangka panjang.

Intervensi dalam penelitian tersebut menggunakan diet “dunia nyata” (real world dietary) yang didasarkan pada beberapa pedoman, seperti mengurangi penggunaan makanan kaleng atau makanan dengan tingkat pengolahan yang tinggi, alih-alih diet ketat yang diresepkan seperti yang digunakan dalam penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dengan diet ketat tersebut, peserta mampu mengurangi ekskresi BPA dalam urin sebesar 60% hanya dalam 3 hari. Namun, pada penelitian dengan diet “dunia nyata” ini, target tersebut ternyata tidak tercapai.

Penelitian ini melibatkan 94 siswa berusia 17 hingga 19 tahun dari sekolah-sekolah di Inggris barat daya. Mereka mengikuti diet pengurangan BPA selama tujuh hari. Diet ini mencakup perubahan gaya hidup seperti beralih ke wadah makanan stainless steel dan kaca, tidak memanaskan makanan dalam plastik di microwave, mencuci tangan setelah menyentuh struk kertas, menghindari makanan kaleng dan makanan cepat saji dalam plastik, serta menggunakan penyaring kopi alih-alih pembuat kopi plastik yang mungkin mengandung tangki air berbasis polikarbonat. Siswa kemudian memberikan sampel urin sebelum dan setelah mengikuti intervensi diet ini.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa peserta ternyata tidak mampu mengurangi kadar BPA dalam urin mereka selama periode percobaan 7 hari meskipun mereka patuh kepada pedoman yang diberikan. Temuan mengkhawatirkan ini menunjukkan bahwa BPA sangat meluas di lingkungan kita sehingga, meskipun kita mengambil langkah-langkah untuk meminimalkan paparan, hampir tidak mungkin untuk menghindarinya sepenuhnya.

Para penulis studi tersebut menyatakan bahwa paparan BPA dapat terjadi melalui pengisapan debu, penyerapan kulit, dan BPA yang bocor ke dalam makanan dari wadah polikarbonat atau lapisan epoksi pada kaleng. Laju migrasi BPA juga ternyata meningkat seiring suhu yang lebih tinggi dan waktu pemakaian.

Sebagian besar peserta studi tersebut (66 persen) mengatakan sulit bagi mereka untuk mempertahankan diet pengurangan BPA dalam jangka panjang. Ini karena kurang adanya label BPA pada sejumlah produk, tantangan dalam mencari alternatif, dan keharusan mengubah preferensi makanan. Hal ini sekali lagi menegaskan betapa sulitnya mengurangi paparan BPA dalam kehidupan sehari-hari dan mengungkap kebutuhan akan upaya lebih lanjut untuk mengurangi keberadaan BPA dalam produk-produk yang kita gunakan sehari-hari.

Para peserta studi tersebut juga menyampaikan komentar mengenai prevalensi kemasan plastik dan ketidakjelasan pelabelan pada produk. Banyak kemasan yang tidak mencantumkan jenis plastik yang digunakan atau apakah ia mengandung BPA. Situasi ini menggambarkan betapa sulitnya menghindari paparan BPA jika konsumen tidak memperoleh informasi yang layak pada kemasan produk.

Para peneliti menyerukan pelabelan yang lebih konsisten pada kemasan untuk memudahkan orang menghindari BPA. Profesor Lorna Harries, salah satu penulis studi tersebut, mengatakan: “Dalam dunia yang ideal, kita akan memiliki pilihan tentang apa yang kita masukkan ke dalam tubuh kita. Pada saat ini, karena sulit untuk mengidentifikasi makanan dan kemasan yang mengandung BPA, tidak mungkin untuk membuat pilihan tersebut.” Hal ini menegaskan perlunya perubahan dalam praktik pelabelan untuk memberi masyarakat informasi yang diperlukan untuk mengurangi paparan BPA.[]

Sumber:

Galloway, Tamara S, Nigel Baglin, Benjamin P Lee, Anna L Kocur, Maggie H Shepherd, Anna M Steele, and Lorna W Harries. 2018. “An Engaged Research Study to Assess the Effect of a ‘Real-World’ Dietary Intervention on Urinary Bisphenol a (BPA) Levels in Teenagers.” BMJ Open 8 (2): e018742. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2017-018742.

amdk, BPA, pelabelan