Skip to main content
  • Administrator

Tren Mengkhawatirkan: Konsumsi Minuman Berpemanis Stabil Meningkat Secara Global

Survei Global Dietary Database untuk tahun 1990, 2005, dan 2018 menemukan bahwa konsumsi minuman berpemanis secara keseluruhan meningkat hampir 16 persen di seluruh dunia selama periode 28 tahun yang diteliti. Peningkatan asupan tiap-tiap regional sangat bervariasi. Laporan para peneliti di Friedman School of Nutrition Science and Policy, Tufts University, Amerika Serikat, menilai bahwa keputusan untuk membeli minuman berpemanis sangat dipengaruhi oleh tempat tinggal. Laporan ini merupakan hasil dari sebuah studi terbaru yang diterbitkan pada 3 Oktober di jurnal Nature Communications.

Minuman berpemanis merupakan masalah kesehatan masyarakat karena minuman berpemanis telah banyak dikaitkan dengan obesitas dan penyakit kardiometabolik, yang merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Badan Kesehatan Dunia atau WHO telah merekomendasikan untuk membatasi konsumsi gula tambahan hingga kurang dari 5 hingga 10 perse dari kalori harian. Bahkan, beberapa negara mengenakan pajak atas konsumsinya untuk membantu penduduknya memenuhi tujuan ini.

Studi di atas merupakan gambaran terbaru tentang bagaimana orang dewasa di 185 negara mengonsumsi minuman berpemanis, khususnya minuman ringan, minuman berenergi, jus buah, punch, limun, dan aguas fresca yang mengandung lebih daripada 50 kalori per porsi (8 ons). Asupan tersebut sangat bervariasi di setiap wilayah dunia. Misalnya, pada 2018, rata-rata orang mengonsumsi 2,7 porsi minuman bermanis per pekan, tetapi ini berkisar antara 0,7 porsi per pekan di Asia Selatan hingga 7,8 porsi per pekan di Amerika Latin dan Karibia.

Asupan minuman berpemanis global terlihat lebih tinggi pada pria jika dibandingkan dengan wanita, dan pada orang yang lebih muda jika dibandingkan dengan orang yang lebih tua. Namun, peran pendidikan dan tempat tinggal (di pedesaan atau perkotaan) lebih banyak dipengaruhi oleh wilayah asal. Konsumsi minuman berpemanis lebih banyak terjadi pada orang dewasa dengan pendidikan tinggi dan rendah di Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, dan Amerika Latin/Karibia, sementara hal sebaliknya terjadi di Timur Tengah/Afrika Utara. Secara keseluruhan, asupan minuman berpemanis tertinggi di dunia ada di kalangan orang dewasa perkotaan dan berpendidikan tinggi di Afrika Sub-Sahara (12,4 porsi per pekan) dan di Amerika Latin/Karibia (8,5 porsi per pekan).

Di tingkat nasional, negara-negara yang masyarakatnya mengonsumsi jumlah porsi minuman berpemanis tertinggi per pekan adalah Meksiko (8,9 porsi), Etiopia (7,1 porsi), Amerika Serikat (4,9 porsi), dan Nigeria (4,9 porsi), jika dibandingkan dengan India, Cina, dan Bangladesh (masing-masing 0,2 porsi).

“Kami dikejutkan oleh variasi yang luas berdasarkan wilayah dunia pada 2018; bahwa Amerika Latin/Karibia memiliki asupan terbesar di semua titik waktu meskipun terjadi penurunan secara keseluruhan dari waktu ke waktu; dan bahwa Afrika Sub-Sahara memiliki peningkatan terbesar di semua titik waktu,” kata penulis studi tersebut, Laura Lara-Castor, seorang kandidat PhD di program Epidemiologi Gizi dan Ilmu Data di Friedman School. “Hasil ini menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, terutama terkait intervensi yang berhasil seperti peraturan pemasaran, pelabelan makanan, dan cukai.”

Informasi dari Global Dietary Database—yang mengumpulkan ratusan hasil survei tentang apa yang orang makan dan minum—juga mengungkapkan hubungan antara minuman berpemanis dengan status sosial ekonomi. Antara 1990 dan 2018, peningkatan konsumsi terbesar terjadi di Afrika Sub-Sahara (+2,99 porsi; +81,9 persen). Asupan meningkat kemudian turun di negara-negara berpenghasilan tinggi, dan menurun kemudian meningkat di Amerika Latin/Karibia, keduanya kembali mendekati tingkat dua dekade sebelumnya pada 2018. Wilayah dunia lainnya mengalami peningkatan yang lebih sederhana dan stabil dari waktu ke waktu. Pola yang sama juga terlihat pada jenis kelamin, usia, pendidikan, dan wilayah tempat tinggal.

Meskipun penelitian ini tidak mengidentifikasi alasan dari tren ini, para peneliti berhipotesis bahwa perubahan tersebut dapat dikaitkan dengan efektivitas taktik pemasaran yang ditargetkan dari industri soda dan makanan, asosiasi pola makan Barat dengan status sosial yang tinggi, serta akses terhadap air. “Soda dapat menjangkau tempat-tempat terjauh, dan di negara-negara di mana air bersih kurang dapat diakses, minuman ini mungkin menjadi satu-satunya yang tersedia untuk diminum,” kata Lara-Castor.

“Asupan minuman berpemanis telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir meskipun ada upaya untuk mengurangi daya tariknya,” kata Dariush Mozaffarian, seorang ahli jantung dan Profesor Gizi Jean Mayer di Friedman School. “Beberapa populasi sangat rentan, dan temuan kami memberikan bukti untuk menginformasikan kebutuhan dan desain kebijakan nasional dan lebih tepat sasaran untuk mengurangi asupan mereka di seluruh dunia.”

Para peneliti mengatakan bahwa masih diperlukan lebih banyak penelitian untuk menilai asupan minuman berpemanis pada anak-anak dan remaja, untuk mengukur dampak cukai minuman soda secara global, dan untuk lebih memahami perbedaan di setiap subpopulasi di setiap negara. Tim peneliti juga ingin mengeksplorasi bagaimana minuman manis lainnya, seperti susu, kopi, dan teh, berpengaruh terhadap kebiasaan konsumsi.[]


Sumber:

Lara-Castor, Laura, dkk. 2023. “Sugar-sweetened beverage intakes among adults between 1990 and 2018 in 185 countries”. Nature Communications, 3 Oktober 2023.

minuman berpemanis