Terkait PFAS, Peneliti: Beralih dari Plastik ke Kertas dan Serat Bisa Timbulkan Masalah Baru
Sebuah studi peer-reviewed terbaru (28 Maret 2023) mengungkap potensi bahaya kesehatan satu bahan kimia yang merupakan bagian dari kelompok bahan kimia PFAS (Per- and polyfluoroalkyl substances). Bahan kimia ini telah lama diklaim oleh industri sebagai aman untuk digunakan dalam kemasan makanan. Studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Toronto, Kanada, ini menyoroti pelarutan dan perpindahan bahan kimia tersebut ke dalam makanan dan minuman.
Meskipun dipromosikan sebagai alternatif yang aman untuk senyawa PFAS generasi pertama yang sangat beracun—dan yang sebagian besarnya telah dilarang diproduksi di Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa—subkelompok PFAS yang disebut “fluorotelomer” ditemukan sama beracunnya dengan subkelompok PFAS lain yang telah dilarang. Pada 2021, media Inggris, The Guardian, juga pernah mengungkap bahwa industri bahan kimia menyembunyikan penelitian yang menunjukkan bahwa “fluorotelomer” juga bisa sangat beracun. Studi baru ini menekankan risiko senyawa ini berpindah dari kemasan ke dalam makanan.
PFAS sendiri adalah kelompok bahan kimia yang terdiri dari sekitar 14.000 bahan kimia. PFAS sering digunakan untuk membuat produk tahan air, noda, dan panas. Sering disebut sebagai “bahan kimia abadi”, PFAS tidak terurai secara alami dan telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan yang serius seperti kanker, liver, masalah tiroid, cacat lahir, penyakit ginjal, dan penurunan kekebalan tubuh.
Selama bertahun-tahun, produk PFAS dibuat menjadi pembungkus kertas, tas, piring, gelas, dan kemasan makanan lainnya untuk menolak minyak dan air yang dapat menyebabkan makanan rusak. Dalam beberapa kasus, PFAS ditambahkan ke dalam kemasan atau wadah makanan sebagai pencegah pembusukan. Bahan kimia ini terutama lazim ditemukan dalam mangkuk serat, yang biasanya dipromosikan sebagai “ramah lingkungan” dan “mudah terurai”.
Pada 2020, Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) telah mencapai “kesepakatan sukarela” dengan produsen kemasan tertentu untuk menghapus 6:2 FTOH, “fluorotelomer” yang sering digunakan dalam kemasan makanan, dalam jangka waktu lima tahun. Keputusan ini diambil setelah FDA menemukan bahwa produsen bahan kimia telah menyembunyikan bukti toksisitas senyawa tersebut. Komitmen industri untuk berhenti menggunakan 6:2 FTOH dan senyawa serupa dalam kemasan makanan tampak sebagai langkah ke arah yang benar demi keselamatan konsumen.
Namun, Miriam Diamond, salah satu peneliti dan penulis studi di atas, mengatakan bahwa meskipun 6:2 FTOH dan senyawa serupa mungkin tidak lagi ditambahkan secara langsung ke dalam kemasan makanan, keberadaannya dapat tetap ada karena menjadi konsekuensi yang tidak disengaja dari penggunaan kelompok PFAS lain yang disebut “fluoropolimer”.
Industri mengklaim bahwa “fluoropolimer” tidak berpindah dari kemasan makanan ke dalam makanan karena ukurannya yang lebih besar jika dibandingkan dengan kebanyakan PFAS lain. Namun, struktur “fluoropolimer” yang besar dapat mengandung 6:2 FTOH, yang menurut Miriam Diamond, dapat terlepas dari “fluoropolimer” setelah bahan kimia tersebut dimasukkan ke dalam kemasan makanan.
Fenomena ini berpotensi menciptakan celah. Meskipun perusahaan mungkin tidak lagi secara langsung menambahkan 6:2 FTOH ke dalam kemasan makanan dan mematuhi kesepakatan dengan FDA, senyawa ini masih muncul di dalam kemasan setelah diproduksi, sehingga menimbulkan risiko yang berkelanjutan bagi konsumen.
Studi di atas menginvestigasi 42 sampel kemasan makanan dari restoran cepat saji populer untuk makanan seperti burger, burrito, salad, kentang goreng, dan donat. Para peneliti menemukan PFAS di dalam sekitar setengah dari sampel tersebut.
Untuk meneliti lebih lanjut perilaku PFAS, para peneliti menyimpan delapan produk yang mengandung PFAS di ruang tertutup yang gelap selama dua tahun. Mereka mengamati terjadinya pelepasan kadar PFAS sebanyak 85 persen, sehingga bisa memberikan bukti bahwa PFAS memang dapat terlepas dari kemasan seiring berjalannya waktu.
Miriam Diamond mengungkap kecemasan terhadap temuan studi tersebut. Ini karena studi menunjukkan bahwa PFAS terlepas dari kemasan makanan dengan kecepatan tinggi bahkan ketika disimpan dalam kondisi “jinak”. Penelitian sebelumnya sudah mengindikasikan bahwa migrasi PFAS terjadi pada tingkat yang jauh lebih tinggi ketika bersentuhan dengan makanan, cairan, atau barang yang disajikan pada suhu tinggi.
Dari penelitian terbaru tersebut, Diamond juga berpandangan bahwa pembatasan atau bahkan pelarangan penggunaan plastik, yang pada gilirannya bisa meningkatkan penggunaan kemasan kertas atau serat, justru berpotensi mendatangkan bahaya kesehatan yang lebih besar. Jenis kemasan kertas dan serat berpotensi mengandung PFAS dalam level tinggi. Meskipun dipromosikan sebagai bahan yang ramah lingkungan dan mudah terurai, kertas atau serat yang mengandung PFAS juga sebenarnya tidak sepenuhnya dapat terurai karena PFAS yang dikandungnya tidak dapat terurai.
Studi ini juga mengungkap bahwa tingkat migrasi PFAS ke dalam makanan dan minuman melebihi batas asupan harian yang disarankan oleh pemerintah Kanada dan Uni Eropa untuk beberapa senyawa PFAS. Akibatnya, para peneliti berpendapat bahwa beralih dari plastik ke kemasan yang terkontaminasi PFAS justru menimbulkan masalah baru. Pada dasarnya, menurut mereka, ini sama saja dengan menukar satu opsi berbahaya dengan opsi lainnya.[]
Sumber:
Perkins, Tom. 17 April 2023. “Toxic PFAS Chemicals Used in Packaging Can End up in Food, Study Finds.” The Guardian. https://www.theguardian.com/environment/2023/apr/17/pfas-forever-chemicals-food-containers-study.
