Pelarangan Pestisida Klorpirifos pada Makanan: Perlindungan Lingkungan Versus Industri
Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA) telah melarang penggunaan klorpirifos, pestisida yang dikaitkan dengan efek merugikan pada otak anak-anak. EPA melarang penggunaan bahan kimia berbahaya tersebut pada makanan. Ini sebuah keputusan yang dipuji sebagai langkah signifikan dalam kesehatan dan keselamatan publik.
Namun, anehnya, sikap tegas terhadap klorpirifos ini kemudian dipertanyakan di tingkat global. Michael Regan, Kepala EPA, sebelumnya telah mengumumkan larangan tersebut dengan menekankan komitmen EPA terhadap penelitian ilmiah dan memprioritaskan kesehatan dan keselamatan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak dan buruh tani. Namun, sebagaimana dilaporkan The Guardian dan ProPublica, dalam sebuah pertemuan yang diadakan di Roma untuk membahas usulan pelarangan global terhadap pestisida tersebut, sebuah kontradiksi tak terduga muncul. Seorang pejabat senior dari EPA, organisasi yang secara domestik telah melarang pestisida tersebut, ternyata membela penggunaan klorpirifos.
Karissa Kovner, seorang penasihat kebijakan senior untuk Badan Perlindungan Lingkungan (EPA), memainkan peran penting dalam mewakili Amerika Serikat di Konvensi Stockholm. Badan PBB ini ditugaskan untuk mengelola beberapa bahan kimia paling berbahaya yang dikenal manusia, termasuk klorpirifos. Meskipun pemerintah AS memiliki peraturan ketat yang tidak hanya melarang penggunaan klorpirifos pada makanan, tetapi juga melarang impor produk yang dibudidayakan dengan bahan kimia tersebut, Kovner mengindikasikan keengganan AS untuk mendukung pelarangan global terhadap pestisida tersebut melalui konvensi tersebut.
Selama pertemuan konvensi, Kovner memicu perdebatan dengan mempertanyakan apakah klorpirifos memang layak dimasukkan ke dalam daftar bahan kimia yang dibatasi dan dilarang dalam Konvensi Stockholm. Intervensi ini dipandang oleh beberapa peserta sebagai penghalang yang signifikan terhadap kemajuan pelarangan global. Di antara para peserta yang hadir adalah Meriel Watts, seorang ilmuwan dan ahli pestisida yang berbasis di Selandia Baru, yang mengamati bahwa peran utama Kovner tampaknya adalah memperlambat proses dan mencegah penambahan bahan kimia ke dalam daftar terlarang.
Dalam sebuah wawancara dengan ProPublica, Karissa Kovner, penasihat kebijakan senior untuk EPA, menjawab persepsi bahwa ia mungkin tidak peduli dengan masalah kesehatan masyarakat dan lingkungan. Dia mengklarifikasi posisinya, menekankan bahwa meskipun dia adalah bagian dari EPA, perannya tidak hanya mewakili Amerika Serikat secara keseluruhan, dan dia hanyalah salah satu komponen dari mesin pemerintah AS yang lebih luas yang menangani masalah polutan yang terus-menerus. Entitas lain yang terlibat dalam upaya ini termasuk Departemen Perdagangan, Kantor Perwakilan Dagang AS (tempat Kovner bertugas sebelumnya), dan Departemen Pertanian. Sekretaris Departemen Pertanian, Thomas Vilsack, telah menyuarakan keraguannya terhadap keputusan EPA untuk melarang semua penggunaan klorpirifos yang berhubungan dengan makanan.
Kovner juga mencatat perbedaan penting antara aturan Konvensi Stockholm, yang menentukan pembatasan bahan kimia global, dengan peraturan domestik yang mengatur bahan kimia di AS. Dia menegaskan bahwa posisi yang dia dan rekan-rekannya ambil di Konvensi Stockholm sepenuhnya didasarkan pada penelitian ilmiah, menepis anggapan bias atau pengambilan keputusan sepihak. Penegasannya menyiratkan keyakinan yang kuat bahwa kontribusi ilmiah mereka telah memainkan peran penting dalam memajukan tujuan konvensi.
EPA mendukung pernyataan Karissa Kovner bahwa kriteria pembatasan bahan kimia secara internasional berbeda dengan kriteria yang diikuti oleh EPA di dalam negeri. Seorang juru bicara badan tersebut mengklarifikasi bahwa peran Kovner tidak mencakup melakukan tinjauan ilmiah terhadap bahan kimia. Sebaliknya, perannya di Konvensi Stockholm adalah untuk memajukan kebijakan domestik AS di tingkat internasional. Namun, sikap ini tampaknya menimbulkan kebingungan di antara para ahli yang mewakili masyarakat yang terkena dampak polusi pada pertemuan Konvensi Stockholm. Mereka melihat adanya ketidaksesuaian antara misi EPA yang dinyatakan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup, dengan tindakannya yang tampaknya berlawanan di forum-forum internasional.
Kebingungan ini juga digaungkan oleh Pam Miller, Direktur Eksekutif Alaska Community Action on Toxics, yang merasa aneh melihat tekad EPA AS untuk menggagalkan pencantuman bahan kimia berbahaya dalam daftar bahan kimia berbahaya pada pertemuan-pertemuan internasional ini. AS, yang merupakan rumah bagi perusahaan-perusahaan kimia yang berpengaruh, seringkali dianggap tertinggal dalam pelarangan senyawa beracun jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Meskipun EPA mengklaim bahwa delegasi AS telah mendukung pembatasan beberapa bahan kimia pada konvensi tersebut, para pengamat mencatat bahwa dukungan ini seringkali muncul setelah pengecualian yang sangat penting dimasukkan bagi industri Amerika. Joe DiGangi, seorang ahli kimia, merefleksikan dikotomi ini dengan menyatakan bahwa sementara banyak negara berkembang melihat Konvensi Stockholm sebagai peluang untuk meningkatkan perlindungan mereka, AS sering melihatnya sebagai ancaman potensial bagi industri mereka.
Pada konvensi baru-baru ini yang diadakan di Jenewa, sebuah konsensus dicapai di antara lebih dari 120 negara untuk menambahkan dua bahan tambahan plastik ke dalam daftar zat yang dijadwalkan untuk dilarang secara global. Namun, delegasi AS mengambil sikap yang kontras dengan menentang pelarangan salah satu zat aditif ini, yakni Dechlorane Plus—penghambat nyala api yang terbukti menyebabkan kerusakan hati dan gangguan perkembangan. Penentangan ini menimbulkan pertanyaan, khususnya di kalangan pendukung lingkungan.
Dalam sebuah pengamatan yang dapat menjelaskan sikap ini, Pam Miller, dari kelompok lingkungan Alaska, menyaksikan Kovner berkonsultasi dengan perwakilan industri penerbangan dalam pertemuan sebelumnya. Setelah konsultasi ini, Kovner mengusulkan pengecualian terhadap rencana pelarangan Dechlorane Plus atas nama industri. Ketika dikonfrontasi tentang interaksi ini, Kovner membela tindakannya, dengan menekankan bahwa berbicara dengan berbagai pemangku kepentingan adalah bagian mendasar dari perannya. Dia lebih lanjut membenarkan pengecualian tersebut dengan menyatakan bahwa Dechlorane Plus sangat dibutuhkan untuk program-program NASA. Sebagai akibatnya, berkat advokasi Kovner, negara-negara anggota Konvensi Stockholm setuju untuk mengizinkan penggunaan khusus penghambat api pada suku cadang sektor kedirgantaraan dan otomotif.
Dalam pernyataannya, Kovner mengatakan bahwa AS masih terbuka terhadap kemungkinan pelarangan global klorpirifos di bawah Konvensi Stockholm. “Kami menantikan diskusi yang dapat memberikan karakterisasi atau klarifikasi tambahan untuk memperkuat argumen pencantuman klorpirifos di bawah konvensi tersebut,” ujarnya.
Di Indonesia sendiri, klorpirifos tampaknya masih digunakan sebagai pestisida. Sebuah observasi yang dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan, Poltekkes Kemenkes, Makassar, menemukan residu klorpirifos pada sawi hijau yang dijual di Pasar Terong Kota Makassar. Namun, kadarnya—yakni 0,045 mg/kg—masih di bawah Batas Maksimum Residu (BMR) dalam SNI sebesar 1 mg/kg. Apalagi, menurut makalah ilmiah hasil observasi tersebut (yang diterbitkan pada Desember 2016), residu bisa hilang jika sayuran dicuci dengan air mengalir.[]
Sumber:
Zaenab, Nita Nirmala.Y, dan Alifia Citra Bestari. 2016. “Identifikasi Residu Pestisida Chlorpyrifos dalam Sayuran Sawi Hijau (Brassica Rapa Var.Parachinensis L.) di Pasar Terong Kota Makassar”. Media Kesehatan Politeknik Kesehatan Makassar (Vol. XI, No. 2.).
Lerner, Sharon. 2023. “The US Banned a Brain Harming Pesticide on Food: Why Has It Slowed a Global Ban?” The Guardian. July 6, 2023. https://www.theguardian.com/environment/2023/jul/06/chlorpyrifos-brain-harming-pesticide-food-epa.