Skip to main content
  • Administrator

Kalau Punya Niat, Pemerintah Tak Sulit Terapkan Cukai Minuman Berpemanis

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Julius Ibrani, mengatakan, jika memiliki niat untuk melindungi kesehatan masyarakat, pemerintah tidak akan sulit menerapkan kebijakan pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). “Manfaat cukai ini kan untuk masyarakat karena tugas negara adalah memastikan kesehatan warganya,” katanya acara Forum for Young Indonesians (FYI) yang bertajuk “Dunia Tipu-Tipu Minuman Berpemanis dalam Kemasan” yang diselenggarakan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) di Jakarta pada 17 September 2022.

Julius menjelaskan bahwa instrumen hukum yang menjadi dasar pengenaan cukai terhadap MBDK sudah banyak, dari mulai Undang-Undang Cukai dan peraturan lainnya. Belum lagi ada dampak eksternalitas dari MBDK, seperti prevalensi obesitas dan diabetes yang meningkat dan beban anggaran kesehatan.

Namun, yang lebih utama bagi Julius, adalah perlindungan hak asasi manusia (HAM). Dalam konsep HAM yang diberikan oleh Konstitusi, terdapat hak masyarakat untuk mendapatkan kesehatan. Inilah yang harus dipenuhi dan dilindungi negara. Instrumen cukai dalam konteks MBDK merupakan tugas negara untuk melindungi warga negara dari mengonsumsi sesuatu yang bisa merusak kesehatannya.

“Jadi, kalau nawaytu-nya (niat) sudah ke situ, tidak ada yang susah untuk menerapkan kebijakan cukai ini,” katanya, “instrumen hukumnya sudah banyak dan instrumen HAM-nya juga ada.”

Hingga 2020, menurut Julius,  sudah ada 48 negara yang memberlakukan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan. Itu karena Dewan HAM PBB sudah mengadopsi konsep “bussiness and human rights” pada 2011, yang mengamanatkan agar negara-negara merangkul korporasi—yang beroperasi atas izin negara—supaya menerapkan batasan-batasan terhadap produk dan konsumsinya.

“(Tapi) Indonesia sampai sekarang belum (menerapkan cukai atas minuman berpemanis).”

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan, Eva Susanti mengatakan Indonesia sebenarnya sudah memiliki peraturan untuk membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak. Konsumsi gula yang dibatasi Kementerian Kesehatan adalah 50 gram per hari atau 9,6 sendok teh, masih lebih tinggi daripada batasan konsumsi gula yang disarankan American Heart Association, yaitu 25 gram per hari atau 4,8 sendok teh.

Meskipun demikian, menurut Eva, aturan pembatasan tersebut ternyata tak menurunkan konsumsi gula di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), satu orang Indonesia rata-rata mengonsumsi gula 1.123 gram per minggu (2021). Itu berarti 160 gram dalam sehari. Angka ini lebih tinggi 3 kali daripada batasan Kementerian Kesehatan dan 6 kali lebih tinggi daripada saran American Heart Association.

Eva melanjutkan tingginya konsumsi gula tersebut bersesuaian dengan meningkatnya jumlah penderita obesitas di Indonesia. “Pada 2011, penduduk Indonesia yang obesitas 11 persen, tapi pada 2018, data kami terakhir, itu naik menjadi 21 persen,” kata Eva dalam acara yang sama.

Eva mengakui persoalan obesitas tidak hanya berkaitan dengan konsumsi gula. Kurangnya aktivitas fisik alias “mager” (malas gerak) juga ikut mempengaruhi persoalan ini. Masyarakat Indonesia juga, menurutnya, sangat kurang mengonsumsi serat. Penelitian Kementerian Kesehatan mengungkap 95 persen penduduk Indonesia jarang makan buah-buahan dan sayuran.

“Jadi, masalahnya banyak.”

Eva melanjutkan konsumsi garam 56,5 persen penduduk Indonesia juga lebih daripada yang disarankan, yakni 2.000 miligram (atau 1 sendok teh) per hari. Lalu, konsumsi lemak juga lebih daripada yang seharusnya, yakni 67 gram atau 5 sendok makan per hari.

“Masyakat kita tidak mematuhi itu,” katanya.

Di Indonesia, berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) pada 2021, penderita diabetes sudah mencapai 19,47 juta orang. Dalam daftar 10 negara dengan penderita diabetes terbanyak, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara (pada urutan ke-5). Bahkan, diperkirakan pada 2030, jumlah penderita diabetes di Indonesia bisa mencapai 30 juta orang.

WHO menyatakan diabetes adalah penyebab utama kebutaan, gagal ginjal, serangan jantung, tekanan darah tinggi dan amputasi tubuh bagian bawah. Setiap tahunnya diperkirakan lebih daripada 1 juta kematian yang terjadi di dunia disebabkan oleh diabetes secara langsung.

Kondisi tersebut, dari kacamata pemerintah, berarti bahwa beban biaya kesehatan akan makin tinggi. Dari 7 penyakit tidak menular penyebab kematian, menurut Eva, penyakit jantung, kanker, ginjal, dan diabetes dengan komplikasinya menyebabkan biaya kesehatan terus naik dari tahun ke tahun. “Satu penyakit saja bisa menghabiskan anggaran sampai 7 triliun rupiah,” katanya.

Karena aturan pembatasan tak cukup mampu membendung konsumsi gula dan minuman berpemanis, menurut Direktur Kebijakan CISDI, Olivia Herlinda, pihaknya mendorong pemerintah untuk mengenakan cukai terhadap MBDK. Peningkatan prevalensi diabetes dan obesitas serta beban biaya kesehatan yang sudah sangat tinggi akibat semua itu, menurut CISDI, membutuhkan kebijakan yang cukup radikal.

Kebijakan cukai terhadap MBDK, sesuai praktik terbaik di sejumlah negara, bisa menurunkan konsumsi dan kemudian menurunkan prevalensi penyakit-penyakit tersebut. “Dari pengalaman di banyak negara lain, cukai ini instrumen fiskal cost effective dan mampu menurunkan konsumsi pada taraf kenaikan cukai tertentu, dan saat inilah momen yang tepat untuk menerapkan kebijakan ini,” ujar Olivia yang mengatakan bahwa CISDI mengusulkan cukai di angka 20 persen.

Selain itu, menurut Olivia, edukasi terkait dampak kesehatan minuman berpemanis juga perlu terus disampaikan. Survei CISDI kepada 2.600 responden menunjukkan bahwa 70 persennya tidak mengetahui berapa batas aman dalam mengonsumsi minuman berpemanis.

“Jadi, ini pekerjaan rumah yang sangat besar,” ujarnya, “tapi sambil menunggu masyarakat teredukasi, pemerintah tetap punya peran besar sebagai regulator untuk memastikan bahwa masyarakat mengambil pilihan konsumsi yang baik.”

Febri Adrian Pangestu, Analis Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan, mengakui bahwa minuman berpemanis dalam kemasan sebenarnya cukup layak untuk dikenai cukai berdasarkan empat kategori barang kena cukai dalam Undang-Undang Cukai. Keempat kategori tersebut adalah: (1) barang yang konsumsinya perlu dibatasi; (2) yang peredarannya perlu diawasi; (3) yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan; dan (4) yang pembebanannya perlu atas dasar keseimbangan dan keadilan.

Jadi, Febri menjelaskan bahwa sejak 2018 Kementerian Keuangan, yang didukung oleh Kementerian Kesehatan, sudah mulai mengkaji kelayakan pengenaan cukai terhadap MBDK menyusul adanya perhatian terhadap masalah kesehatan. Hasil kajian itu menunjukkan adanya kelayakan pengenaan cukai, sehingga pada 2020 Menteri Keuangan di depan DPR menyampaikan rencana untuk mengenakan cukai terhadap MBDK.

“Dalam UU Cukai itu, ada klausul bahwa penambahan atau pengurangan barang kena cukai diatur dalam peraturan pemerintah,” papar Febri, “jadi memang saat ini kami sedang dalam proses penyusunan rancangan peraturan pemerintah terkait penetapan MBDK untuk menjadi barang kena cukai.”

Lalu mengapa, rancangan itu belum juga rampung hingga kini?

Febri beralasan bahwa setiap pembebanan baru memerlukan perhitungan dampak terhadap banyak pihak. “Di situ kan ada industri, lapangan kerja, dan sebagainya yang perlu kami pikirkan.”[]

cukai minuman berpemanis, cukai, pemerintah