Skip to main content
  • Administrator

Mengurai Kecanduan Gula: Bagaimana Gula Mengubah Kimiawi Otak Anda?

Konsep kecanduan makanan memicu perdebatan cukup sengit di dalam komunitas ilmiah. Sebuah tim peneliti dari Aarhus University, Denmark, telah menyelidiki masalah yang diperdebatkan ini, dengan fokus pada dampak konsumsi gula pada otak babi. Temuannya sangat mengejutkan: gula ternyata memengaruhi sirkuit penghargaan (reward) di dalam otak seperti halnya zat adiktif. Hasilnya diungkap dalam jurnal Scientific Reports pada 15 November 2019.

Kebanyakan orang seringkali tak bisa menahan keinginan untuk mencari-cari sepotong cokelat yang sudah lama hilang di dapur. Ini membuktikan bahwa keinginan kita untuk makan makanan lezat terkadang bisa sangat berlebihan. Namun, apakah hal ini termasuk dalam kategori kecanduan?

“Tidak dapat disangkal bahwa gula memiliki banyak dampak fisiologis, dan ada banyak alasan mengapa gula tidak sehat. Namun, saya selalu mempertanyakan efek gula terhadap otak dan perilaku kita, dengan harapan dapat menyanggah mitos yang beredar,” ujar Michael Winterdahl, seorang Associate Professor di Departemen Kedokteran Klinis di Aarhus University, yang juga merupakan penulis utama studi ini.

Penelitian ini didasarkan pada eksperimen yang melibatkan tujuh ekor babi, masing-masing diberi dua liter air gula setiap hari selama 12 hari. Untuk memetakan efek dari konsumsi gula ini, tim mengambil pencitraan otak babi di awal percobaan, setelah hari pertama, dan pada hari ke-12 konsumsi gula.

“Hanya mengonsumsi gula selama 12 hari saja sudah memicu perubahan signifikan pada sistem dopamin dan opioid otak. Faktanya, sistem opioid, yang bertanggung jawab atas perasaan senang dan nyaman, diaktifkan tepat setelah asupan gula pertama,” kata Winterdahl.

Otak kita menghadiahi kita dengan perasaan senang dan puas ketika kita terlibat dalam pengalaman yang bermakna. Imbalan ini dapat dipicu oleh rangsangan alami seperti hubungan intim atau keterlibatan sosial, atau dengan memperoleh pengetahuan baru. Baik stimulus “alami” maupun “buatan”, seperti obat-obatan, merangsang sistem penghargaan otak kita, yang mengarah kepada pelepasan neurotransmiter seperti dopamin dan opioid, menurut Winterdahl.

“Jika gula dapat mengubah sistem penghargaan otak hanya dalam waktu dua belas hari, seperti yang kami amati pada babi, bisa dibayangkan bahwa rangsangan alami seperti belajar atau interaksi sosial dapat digantikan oleh gula dan rangsangan ‘buatan’ lainnya. Kita semua mengejar dopamin yang tinggi, dan jika ada sesuatu yang memberi kita sensasi yang lebih kuat atau lebih intens, kita secara alami tertarik padanya,” jelas Winterdahl.

Ketika menyelidiki apakah zat seperti gula dapat membuat kecanduan, praktik yang biasa dilakukan adalah mempelajari efeknya pada otak hewan pengerat. “Skenario yang ideal adalah melakukan penelitian semacam itu pada manusia, tetapi mengendalikan perilaku manusia dan tingkat dopaminnya merupakan hal yang menantang karena (dopamin manusia) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini berkisar dari pola makan kita, penggunaan ponsel kita, hingga memasuki hubungan romantis baru di tengah-tengah uji coba, yang semuanya dapat menyebabkan variabilitas data yang signifikan. Babi adalah pengganti yang berguna karena otaknya lebih rumit dan berputar seperti otak manusia, dan cukup besar untuk mencitrakan struktur otak bagian dalam dengan menggunakan pemindai otak manusia. Penelitian ini memperkenalkan eksperimen yang dikontrol secara ketat dengan ada atau tidak adanya gula dalam makanan sebagai satu-satunya variabel.”[]


Sumber:

Michael Winterdahl, Ove Noer, Dariusz Orlowski, Anna C. Schacht, Steen Jakobsen, Aage K. O. Alstrup, Albert Gjedde and Anne M. Landau. “Sucrose intake lowers μ-opioid and dopamine D2/3 receptor availability in porcine brain”. 15 November 2019. Scientific Reports.

 

gula, minuman berpemanis