WHO Tetapkan Aspartam Potensi Penyebab Kanker, Lalu Bagaimana Konsumen Harus Bersikap?
Pada 14 Juli 2023, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa pemanis buatan yang banyak digunakan, aspartam, berpotensi sebagai karsinogen (yang dapat menyebabkan kanker) berdasarkan beberapa “bukti terbatas yang ditemukan dalam penelitian pada manusia”.
Namun, WHO juga menyatakan bahwa data yang ada tidak mengharuskan adanya perubahan dalam asupan aspartam harian yang telah ditetapkan.
The Conversation meminta pendapat dari Paul D. Terry, seorang ahli epidemiologi penyakit kronis, Jiangang Chen, seorang ahli kesehatan masyarakat, dan Ling Zhao, seorang ahli nutrisi, semuanya dari University of Tennessee, untuk memberi perspektif terhadap penemuan-penemuan yang tampaknya bertentangan berdasarkan data ilmiah yang ada.
1- Apa alasan di balik klasifikasi aspartam sebagai karsinogen potensial?
Aspartam, pemanis buatan yang ditemukan dalam berbagai makanan, permen, permen karet, dan minuman, kira-kira 200 kali lebih manis daripada gula pasir, sehingga lebih sedikit dibutuhkan dan menyumbang lebih sedikit kalori. Aspartam dipasarkan dengan nama-nama merek seperti “NutraSweet” dan “Equal” untuk penggunaan terpisah.
Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC), sebuah institusi di bawah WHO, menganalisis data dari penelitian pada manusia dan hewan tentang aspartam dan kanker. Tim menemukan beberapa hubungan antara konsumsi aspartam dan “karsinoma hepatoseluler”, sejenis kanker hati.
Kelompok ilmuwan di dalam WHO ini menggunakan klasifikasi seperti “terbatas”, “tidak memadai”, atau “menunjukkan kurangnya karsinogenisitas” untuk menunjukkan tingkat bukti yang mendukung potensi suatu zat menyebabkan kanker. Dalam kasus aspartam, bukti “terbatas” ini menunjukkan bahwa, meskipun beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan, namun bukti-bukti itu tidak cukup untuk menetapkan hubungan sebab-akibat (casual relationship).
IARC mencatat bahwa berbagai kendala keterbatasan bukti itu tetap dapat menjelaskan korelasi positif yang ditemukan dalam penelitian. Ini termasuk sejumlah kecil penelitian pada manusia, sulitnya mempelajari perilaku diet manusia, dan potensi bias dari individu berisiko tinggi, seperti mereka yang menderita diabetes dan mungkin lebih sering mengonsumsi produk diet yang mengandung aspartam. Klasifikasi “bukti terbatas” ini menunjukkan masih perlunya penelitian lanjutan.
Aspartam terdapat dalam berbagai macam produk, termasuk soda diet, es krim, sereal, pasta gigi, dan obat-obatan tertentu.
2- Berapa jumlah asupan aspartam yang direkomendasikan saat ini?
Komite Ahli Gabungan untuk Bahan Tambahan Pangan, sebuah tim ahli internasional yang beroperasi di dalam WHO dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini merekomendasikan asupan aspartam hingga 40 miligram per kilogram berat badan per hari.
Jumlah ini setara dengan sekitar delapan hingga dua belas kaleng soda, atau sekitar 60 bungkus aspartam, untuk orang dengan berat badan 132 pon (60 kilogram). Untuk anak dengan berat badan 33 pon (15 kilogram), jumlah tersebut setara dengan dua hingga tiga kaleng soda yang dimaniskan dengan aspartam, atau sekitar 15 bungkus aspartam. Meskipun beberapa orang mungkin mengonsumsi lebih dari ini, asupan tinggi seperti ini tidak lazim.
3- Apakah posisi baru WHO mempengaruhi rekomendasi tersebut?
Terpisah dari panel ahli kanker, kelompok keamanan pangan di dalam WHO menilai bukti ilmiah yang tersedia tidak “cukup meyakinkan” untuk menunjukkan efek buruk dari konsumsi aspartam dalam batas harian yang saat ini ditetapkan.
Setelah meninjau temuan dari kedua kelompok tersebut, Direktur Departemen Gizi dan Keamanan Pangan WHO menyatakan bahwa meskipun keamanan bukanlah masalah yang signifikan pada dosis aspartam yang umum, penelitian yang lebih banyak dan lebih baik tetap diperlukan untuk menyelidiki efek potensial. American Cancer Society juga telah menyatakan dukungannya terhadap penelitian lebih lanjut mengenai potensi masalah kesehatan yang berkaitan dengan aspartam.
Perlu dicatat bahwa individu dengan kelainan genetik langka fenilketonuria (PKU) harus membatasi atau menghindari konsumsi aspartam.
4- Bagaimana bisa dua kelompok di dalam WHO mencapai kesimpulan yang berbeda?
Bukanlah hal yang aneh jika kelompok konsensus ilmiah mencapai kesimpulan yang berbeda tentang klasifikasi risiko berdasarkan hasil studi, bahkan jika mereka berafiliasi dengan lembaga atau organisasi induk yang sama.
Meskipun sikap kelompok ahli kanker mungkin tampak lebih mengkhawatirkan daripada sikap komite keamanan pangan, sikap “tidak ada bukti yang cukup meyakinkan” dari komite keamanan pangan tetaplah konsisten dengan klasifikasi “bukti terbatas” dari kelompok ahli kanker. WHO juga mendukung rekomendasi komite keamanan pangan yang sudah ada untuk asupan aspartam harian karena mempertimbangkan risiko pada tingkat konsumsi tertentu.
Sebagai catatan, asupan harian maksimum yang direkomendasikan komite keamanan pangan WHO masih lebih konservatif jika dibandingkan dengan batas harian maksimum yang direkomendasikan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US FDA), yaitu 50 miligram aspartam per kilogram berat badan per hari.
5- Bagaimana aspartam dibandingkan dengan pemanis lainnya?
Pemanis buatan lainnya seperti sakarin dan sukralosa, gula alkohol seperti sorbitol dan xylitol, pemanis alami bebas gula seperti Stevia, dan gula sederhana dari tebu, bit gula, dan madu merupakan alternatif pengganti aspartam.
Namun, seperti halnya aspartam, banyak dari pemanis ini telah dikaitkan dengan perkembangan kanker. Daftar ini termasuk acesulfame potassium (Ace-K), pengganti gula sintetis bebas kalori, serta gula alkohol dan bahkan gula sederhana.
Meskipun berbagai pemanis yang disetujui tampaknya bermanfaat, mempelajari potensi risiko yang terkait dengan pemanis merupakan hal yang menantang karena kebiasaan dan gaya hidup masyarakat yang kompleks.
6- Apa yang harus dilakukan konsumen?
Sampai saat ini, pemanis-pemanis ini, termasuk aspartam, tetap disetujui untuk digunakan oleh manusia karena tidak ada cukup bukti yang menunjukkan adanya kaitan dengan kanker. Mayo Clinic mencatat bahwa pemanis buatan mungkin bermanfaat bagi mereka yang ingin mengatur berat badan atau mengontrol asupan gula. Penelitian menunjukkan bahwa gula dapat membuat ketagihan bagi beberapa orang.
Ketika memutuskan untuk mengonsumsi pemanis, konsumen harus mempertimbangkan faktor-faktor seperti preferensi rasa, berat badan dan komposisi tubuh, risiko diabetes, potensi reaksi alergi, dan temuan penelitian di masa depan. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti individu yang menderita atau berisiko diabetes, orang harus berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan mereka untuk membuat pilihan terbaik.
Satu fakta yang jelas: penelitian tentang konsumsi aspartam akan terus berlanjut, dan sangat penting bagi konsumen dan komunitas penelitian untuk terus mengevaluasi potensi risikonya.[]
Sumber:
Chen, Jiangang, Ling Zhao, dan Paul D. Terry. 2023. “WHO Expert Cancer Group States That the Sweetener Aspartame Is a Possible Carcinogen, but Evidence Is Limited – 6 Questions Answered.” The Conversation. 21 Juli 2023. https://theconversation.com/who-expert-cancer-group-states-that-the-sweetener-aspartame-is-a-possible-carcinogen-but-evidence-is-limited-6-questions-answered-209957.
pemanis buatan, minuman berpemanis, aspartam, pemanis non-gula, karsinogenik, soda diet