Skip to main content
  • Administrator

Ahli: Model Penjualan AMDK Galon Bekas Pakai adalah Praktik Persaingan Usaha Tidak Sehat

Dalam dunia bisnis, praktik vendor lock-in seringkali menjadi isu kontroversial. Vendor lock-in terjadi ketika konsumen terikat pada satu pemasok atau produsen tertentu dan menghadapi hambatan signifikan untuk beralih ke pesaing atau alternatif. Hambatan itu biasanya berupa biaya peralihan atau switching cost signifikan yang harus ditanggung oleh konsumen. Biaya lock-in telah menciptakan hambatan untuk memasuki pasar (barrier to entry), sehingga dapat melanggar aturan hukum terkait antimonopoli.

Kasus vendor lock-in biasanya terjadi ketika sejumlah faktor mempengaruhi konteks dan kondisi pasar, sehingga membuat konsumen sulit untuk beralih ke pesaing atau alternatif. Beberapa faktor yang dapat menciptakan vendor lock-in antara lain: (1) biaya peralihan yang signifikan (biaya ini mencakup biaya langsung maupun tak langsung); (2) eksklusivitas produk atau layanan (perusahaan menawarkan produk atau layanan eksklusif dan tidak ada alternatif yang setara di pasar); (3) ketergantungan teknologi; (4) hambatan kontrak; (5) kekuatan pasar (perusahaan memiliki posisi dominan di pasar, sehingga mampu mengontrol harga, distribusi, atau akses ke sumber daya penting dan membuat pesaing atau alternatif kurang menarik atau sulit dijangkau); (6) efek jaringan (produk atau layanan digunakan banyak orang).

Ketika satu atau lebih faktor di atas terjadi, maka praktik vendor lock-in bisa dikatakan tengah berlangsung. Konsumen menghadapi hambatan signifikan untuk beralih ke pesaing atau alternatif.

Contoh kasus vendor lock-in adalah yang pernah disangkakan terhadap Microsoft. Perangkat lunak produksi Microsoft hanya kompatibel dengan sistem operasi Microsoft Windows. Pengguna yang telah berinvestasi dalam perangkat lunak Microsoft akan merasa sulit untuk beralih ke sistem operasi lain, seperti macOS atau Linux.

Produk dan layanan Apple, seperti iPhone, iPad, Mac, dan ekosistem aplikasinya juga sering dianggap sebagai contoh vendor lock-in. Pengguna yang telah terbiasa dengan perangkat keras dan perangkat lunak Apple mungkin merasa sulit untuk beralih ke merek atau platform lain karena adanya integrasi erat antara produk Apple dengan ekosistem aplikasinya.

Nah, ahli bisnis dan persaingan usaha Universitas Indonesia, Tjahjanto Budisatrio, mengungkap salah satu contoh menarik lain yang bisa dianggap sebagai praktik vendor lock-in, yakni model penjualan non-refundable air minum dalam kemasan (AMDK) galon bekas pakai. Tjahjanto memandang model penjualan ini sebagai praktik vendor lock-in, sehingga berdampak terhadap penegakan Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Menurut Tjahjanto, praktik non-refundable dalam bisnis AMDK galon bekas pakai sudah begitu umum di Indonesia, sehingga konsumen seringkali tidak sadar bahwa model penjualan seperti ini masuk ke dalam kategori vendor lock-in. “Pertama, konsumen sudah terkunci. Kedua, si produsen mendominasi pasar, sehingga menghalangi pesaing lain masuk,” jelasnya. Dia juga menambahkan bahwa model penjualan ini telah menciptakan barrier to entry, yang merupakan salah satu pelanggaran terhadap Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Mengacu kepada faktor-faktor yang disebutkan sebelumnya, penjualan AMDK galon dengan sistem non-tukar kembali (non-refundable) bisa dianggap sebagai bentuk vendor lock-in. Konsumen perlu membayar biaya tambahan untuk membeli galon baru atau membayar ‘deposit’ ketika ingin beralih ke pemasok atau produsen lain. Perusahaan yang menjual AMDK galon bekas pakai dengan model ini juga terbukti memiliki posisi dominan di pasar, sehingga mungkin dapat mempengaruhi harga dan distribusi dan membuat pesaing atau alternatif lain kurang menarik.

Namun, bukankah konsumen AMDK galon masih bisa beralih ke galon merek lain? Dan bukankah biaya peralihannya (switching cost) tidak semahal seperti dalam kasus Microsoft atau Apple?

Tjahjanto mengatakan, dalam model penjualan galon non-tukar kembali, konsumen tetap perlu mempertimbangkan biaya peralihan sebelum membuat keputusan beralih ke merek lain. Meskipun switching cost dalam kasus ini ‘hanya’ 30 ribuan rupiah, itu tetap signifikan bagi konsumen. “Ini karena ekonomi itu tidak bicara nominal. Kalau kita membeli barang, dan barang itu tidak bisa kita pakai lagi, tidak bisa kita jual kembali, maka konsumen tidak mendapatkan kurva kepuasan karena kurva kepuasannya menjadi nol. Ini sudah bisa disebut signifikan bagi konsumen,” jawab Tjahjanto dalam diskusi terbatas dengan FMCG Insights pada Maret 2023.

Tjahjanto menjelaskan lebih jauh, dalam konteks AMDK galon bekas pakai, praktik vendor lock-in bisa mengakibatkan stagnasi pada tingkat kepuasan konsumen. Ini karena mereka terpaksa untuk terus menggunakan produk dari penyedia yang sama meskipun ada pilihan lain yang lebih baik dan sehat di pasaran. Menurutnya, kasus vendor lock-in dalam model bisnis AMDK galon bekas pakai menjadi semakin parah karena adanya ekternalitas negatif berupa kandungan BPA yang berbahaya pada kemasan galon polikarbonat.

“Di sini, pemerintah mestinya masuk,” tegas Budisatrio. “Pemerintah perlu memastikan bahwa peraturan yang ada diberlakukan secara efektif untuk melindungi konsumen dari dampak buruk ekternalitas negatif tersebut.”

Selain itu, Tjahjanto menyinggung masalah ketidakjelasan informasi yang diberikan kepada konsumen terkait model bisnis AMDK galon ini. Ketidakjelasan informasi terjadi karena konsumen tidak mengetahui jenis akad apa yang terjadi ketika membeli galon dari produsen AMDK galon bekas pakai: apakah itu jual-beli, sewa-menyewa, atau deposit.

Kalau akadnya jual-beli, tidak bisa galon itu disebut “property” perusahaan. “(kalau akad jual-beli) Itu sudah menjadi milik konsumen, sehingga konsumen berhak mengisi galon itu dengan air dari produsen lain.

Kalau sewa-menyewa, uang konsumen pasti akan hangus dalam jangka waktu tertentu. Kalau deposit, itu berarti uang jaminan yang bisa kembali.

“Tapi, pada kenyataannya, baik produsen maupun penjual tidak ada yang mau menerima penukaran galon itu dengan uang konsumen,” kata Tjahjanto. “Alhasil, saya melihat hal seperti ini adalah kesenjangan informasi, atau informasi yang tidak simetris yang diterima konsumen dan berpotensi melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen.”[]

amdk, galon bekas, persaingan usaha