
Dari Coca-Cola Sampai Danone, Perusahaan FMCG Penyampah Terbanyak Plastik 2021
Perusahaan barang kebutuhan konsumen atau FMCG seperti Coca-Cola, Nestle, dan Danone masuk ke dalam daftar 10 besar perusahaan penghasil sampah plastik terbanyak di dunia pada 2021. Demikian hasil audit merek atau brand audit yang dilakukan Break Free From Plastic (BFFP), sebuah organisasi nirlaba yang menghimpun jutaan sukarelawan di lebih daripada 40 negara, yang dirilis dalam sebuah laporan pada September 2021.
Audit merek atau brand audit merupakan inisiatif pengumpulan, pendokumentasian, penghitungan merek produk yang ditemukan pada sampah-sampah plastik di lingkungan. Inisiatif ini bertujuan untuk mengidentifikasi perusahaan mana saja yang bertanggung jawab terhadap limbah atau sampah plastik.
Laporan audit merek BFFP pada 2021 melibatkan lebih daripada 11 ribu relawan di lebih daripada 45 negara. Mereka kemudian berhasil mengumpulkan dan menganalisis 330.493 potong sampah plastik.
Menurut BFFP, sampah plastik yang ditemukan tidak hanya mengotori lingkungan tapi juga berkontribusi terhadap pemanasan global, dan pada ujungnya perubahan iklim. Ini karena plastik dibuat dari bahan bakar fosil sehingga penggunaan plastik menjadi salah satu kontributor utama kepada krisis iklim.
Alhasil, menurut BFFP, selain perusahaan penyampah plastik, perusahaan produsen bahan bakar fosil, seperti ExxonMobil, Shell, dan Chevron sebagai penyuplai bahan bakar kepada produsen kemasan plastik, juga harus ikut bertanggung jawab.
Audit merek BFFP juga mengungkap praktik greenwashing yang dilakukan perusahaan besar FMCG seperti Coca-Cola, Pepsi, dan Unilever.
Misalnya, Coca-Cola selalu mengampanyekan janji untuk mengumpulkan satu botol plastik dari setiap botol yang mereka jual. Pada kenyataannya, Coca-Cola justru terus memuncaki daftar 10 perusahaan penyampah plastik terbanyak selama empat tahun berturut-turut menurut audit merek versi BFFP.
Demikian juga Pepsi yang baru-baru ini mengumumkan komitmen ‘sukarela’ mereka untuk mengurangi penggunaan plastik virgin hingga setengahnya dalam produksi mereka. Tapi, Pepsi tetap mantap berada di tiga besar dari daftar tersebut.
Unilever malah lebih ironis lagi. Perusahaan ini menjadi mitra kerja utama dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26 (COP26) tapi pada 2021 masuk ke dalam jajaran tiga besar perusahaan penghasil sampah plastik terbanyak.
Metodologi audit mereka BFFP memprioritaskan jumlah negara dimana sampah plastik bermerek dikumpulkan dan didokumentasikan. Kemudian, perusahaan produsen merek itu diberikan peringkat berdasarkan jumlah plastik mereknya berdasarkan data yang ditemukan. Di titik ini, BFFP lalu menentukan perusahaan mana saja yang paling banyak mencemari negara-negara dengan sampah plastiknya.
Analisis terhadap data 2021 mengungkap peringkat 10 pencemar plastik terbanyak sebagai berikut:
- Coca-Cola di 39 negara, dengan 19.826 potong sampah plastik
- Pepsi di 35 negara, dengan 8.231 potong sampah plastik
- Unilever di 30 negara, dengan 6.079 potong sampah plastik
- Nestle di 30 negara, dengan 4.149 potong sampah plastik
- P&G (Procter & Gamble) di 30 negara, dengan 1.939 potong sampah plastik
- Mondelez International di 28 negara, dengan 2.065 potong sampah plastik
- Philip Morris di 26 negara, dengan 1.505 potong sampah plastik
- Danone di 25 negara, dengan 3.223 potong sampah plastik
- Mars, Inc, di 24 negara, dengan 961 potong sampah plastik
- Colgate-Palmolive di 22 negara, dengan 941 potong sampah plastik
Dalam laporannya, Break Free From Plastic (BFFP) menuntut perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengungkap jumlah total kemasan plastik yang mereka produksi dan juga jumlah emisi gas rumah kaca yang terkait dengan penggunaan kemasan plastik mereka. Perusahaan harus mengetahui seberapa banyak mereka membuat kemasan plastik lalu berbagi data itu dengan publik. Perusahaan harus transparan terkait dengan jumlah unit kemasan plastik yang mereka produksi dan tidak hanya melaporkan beratnya.
Menurut BFFP, melaporkan produksi dan penggunaan plastik per unit penting untuk memastikan bahwa pengurangan plastik tidak hanya dicapai melalui pengurangan berat, sementara perusahaan masih memproduksi jumlah unit yang sama.
Perusahaan juga harus bertanggung jawab untuk mengungkap emisi gas rumah kaca yang terkait dengan produksi kemasan plastik mereka, termasuk manajemen limbah dari produk-produk kemasan plastik mereka. Hingga kini, perusahaan penyampah terbesar plastik hanya mengungkap jumlah produksi kemasan plastik mereka dalam berat keseluruhan (metrik ton). Coca-Cola misalnya hanya melaporkan bahwa mereka menghasilkan hampir 3 juta metrik ton kemasan plastik pada 2020.
Lalu, BFFP menuntut perusahaan mengurangi jumlah plastik yang diproduksi. Perusahaan harus secara teratur mengurangi penggunaan plastik, baik secara berat maupun unit dan menetapkan target terukur yang bisa dipantau oleh publik.
Terakhir, BFFP menuntut perusahaan mendesain ulang produk, sehingga kemasannya bisa digunakan ulang. Kemasan guna ulang yang diproduksi juga harus aman dan terjangkau bagi semua kalangan.
Selain itu, BFFP menuntut pemerintah agar bekerja untuk memastikan regulasi yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan penghasil sampah plastik berdasarkan atas kebijakan iklim internasional sebagaimana yang dinegosiasikan dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-26 (COP26). Pemerintah juga harus menghindari standar-standar menyesatkan, yang hanya menjadikan solusi-solusi iklim sebagai kedok di bawah kerangka kerja “net zero”. Pembakaran sampah plastik, investasi pada teknologi-teknologi yang belum terbukti, seperti daur ulang, sementara terus memproduksi plastik berbasis bahan bakar fosil akan terus menghasilkan emisi karbon yang masif dan secara serius menghambat kemampuan global untuk membatasi pemanasan global ke 1,5 derajat Celcius.[]
Sumber:
“Branded: Brand Audit Report 2021: Holding Corporations Accountable for The Plastic and Climate Crisis.” https://www.breakfreefromplastic.org/wp-content/uploads/2021/10/BRAND-AUDIT-REPORT-2021.pdf. Diakses pada 6 November 2022.