Skip to main content
  • Administrator

Mengapa Kita Masih Butuh Plastik

Kehidupan kontemporer sangat terkait erat dengan penggunaan plastik. Bahan ini ada di mana-mana ini, mulai dari botol air minum hingga peralatan medis yang menyelamatkan kehidupan. Semuanya telah menjadi komponen integral dari kehidupan kita sehari-hari.

Perjalanan menuju titik di mana kita menghasilkan 400 juta ton sampah plastik setiap tahunnya mendorong kita untuk merefleksikan hubungan kita dengan bahan buatan ini.

Pada era pasca-Revolusi Industri di 1860-an, produksi barang-barang konsumsi yang terus meningkat mulai melampaui ketersediaan sumber daya alam, sehingga menyebabkan berkurangnya bahan-bahan seperti gading gajah, kayu, dan kulit penyu. Entitas industri merasa cemas meskipun kekhawatiran mereka tidak berakar pada potensi musnahnya spesies seperti gajah atau kehancuran habitat mereka.

Para konservasionis tentu juga khawatir. Sebuah artikel di New York Times pada 1867 memperingatkan kepunahan gajah yang akan segera terjadi di wilayah yang dulu bernama Ceylon (sekarang Sri Lanka) akibat perburuan liar, kecuali jika pengganti gading gajah ditemukan. Gading adalah bahan yang sangat penting, digunakan dalam pembuatan berbagai barang seperti tempat pena, sisir, dan bola biliar. Dengan meningkatnya kelangkaan dan kenaikan harga bahan-bahan alami ini, pencarian untuk menemukan alternatif yang lebih ekonomis pun dimulai.

Seluloid pun muncul sebagai pelopor plastik semi-sintetis. Ia tidak hanya merupakan pengganti gading yang lebih hemat biaya, tetapi juga memiliki keserbagunaan yang lebih baik, sehingga dapat digunakan dalam banyak aplikasi.

Bahan yang baru lahir ini dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk dan tidak memiliki kerentanan yang sama dengan gading, kayu, atau logam terhadap air, pembusukan, atau korosi. Produk mulai dari mainan dan bingkai kacamata hingga film fotografi segera diproduksi dari seluloid.

Inovasi ini mendemokratisasi akses terhadap produk-produk, membuat apa yang tadinya eksklusif untuk orang kaya menjadi dapat diakses oleh orang dari kelas sosial yang lebih luas.

Terlepas dari kegunaannya yang inovatif, seluloid memiliki kelemahan, seperti mudah terbakar, sehingga mendorong munculnya plastik yang lebih stabil dan sepenuhnya sintetis. Plastik yang berasal dari minyak bumi, seperti nilon dan polietilena, muncul pada awal Abad ke-20.

Dengan dimulainya Perang Dunia II, industri plastik mengalami pertumbuhan eksponensial. Nilon, yang awalnya digunakan dalam stoking sutra dan berhasil dipasarkan untuk wanita, menemukan aplikasi lebih lanjut dalam parasut, tali, dan pelapis helm selama perang, sementara Plexiglass menawarkan alternatif yang lebih ekonomis untuk jendela pesawat.

Kemajuan teknologi dalam produksi plastik, yang diperlukan oleh perang, memicu ledakan industri pasca-Perang Dunia II. Selama 80 tahun terakhir, ketergantungan kita kepada plastik berbasis minyak bumi ini telah meluas, melampaui sekadar kenyamanan dan menjadi sangat penting untuk berbagai kebutuhan, terutama di bidang medis.

Kapasitasnya untuk sterilisasi—yang terlihat pada jarum suntik, sarung tangan bedah, dan berbagai permukaan keras—menggarisbawahi sifat plastik yang sangat diperlukan, karena dapat bertahan dalam desinfeksi yang ketat tanpa mengorbankan sifat-sifatnya. Di bidang medis, pengamanan obat-obatan dan sampel darah dari kontaminasi atau degradasi kelembapan dijamin oleh wadah plastik. Biokompatibilitas plastik membuatnya cocok untuk implan medis, seperti penggantian pinggul dan stent trakea, yang seringkali menghadirkan alternatif yang lebih ekonomis daripada logam seperti titanium. Di tengah pandemi COVID-19 pun, APD berbahan dasar plastik berperan penting dalam melindungi petugas-petugas kesehatan.

Yang mengejutkan, aplikasi plastik tertentu dapat berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca. Penggabungan plastik yang tahan lama dan ringan pada komponen mobil, seperti roda kemudi dan spatbor, mengurangi bobot kendaraan, sehingga mengurangi emisi CO2 dan meningkatkan penghematan bahan bakar.

Sebuah studi pada 2021 oleh EPA di Amerika Serikat mengungkap bahwa telah terjadi penurunan 23 persen emisi CO2 kendaraan sejak 2004. Plastik lebih lanjut berkontribusi pada efisiensi energi di gedung-gedung, mengurangi biaya energi, sementara penggunaannya dalam kemasan makanan mengurangi emisi gas rumah kaca dengan memperpanjang umur simpan makanan dan meminimalkan limbah. Project Drawdown menekankan bahwa mengurangi limbah makanan 15 kali lipat lebih berdampak dalam meminimalkan jejak karbon manusia daripada daur ulang.

Meskipun plastik telah mendorong kemajuan masyarakat dalam berbagai aspek, dampak lingkungan yang merugikan dari produksi dan pembuangan plastik telah menarik perhatian akhir-akhir ini.

Tapi, pertanyaannya adalah, apakah plastik harus berasal dari minyak bumi?

Seluloid tidak diekstraksi langsung dari bahan bakar fosil, tetapi berasal dari kapas. Plastik berbasis bio, mirip dengan seluloid, menjadi kurang populer di awal Abad ke-20 karena manfaat yang ditawarkan oleh plastik berbasis minyak bumi. Sebuah studi OECD menunjukkan bahwa 90 persen emisi gas rumah kaca plastik berasal dari produksinya yang berbasis bahan bakar fosil, sementara 10 persen sisanya berasal dari emisi di akhir masa pakai.

Pergeseran strategis dari produksi plastik berbasis bahan bakar fosil dapat secara substansial mengurangi dampak lingkungan dari plastik. Pada abad ini, kemajuan teknologi telah memfasilitasi produksi plastik yang kuat tapi dapat dikomposkan dari sumber daya terbarukan.

Plastik berbasis bio ini mempertahankan keunggulan plastik konvensional dan, dalam beberapa kasus, dapat diintegrasikan ke dalam aliran daur ulang yang ada. Perusahaan seperti Avantium dan BASF telah memelopori produksi plastik berbasis bio dari bahan baku, sementara entitas penelitian di Irlandia mengeksplorasi metode yang lebih berkelanjutan untuk menghasilkan plastik berbasis bio, memanfaatkan aliran limbah daripada bahan baku.

Transisi dari plastik berbasis bahan bakar fosil ke plastik berbasis bio merupakan langkah penting menuju masa depan yang lebih berkelanjutan secara ekologis.[]


Sumber:

Loughlin, Jennie O. Oktober 2023. “Why We Need Plastics (and What to Do about It).” Www.rte.ie. https://www.rte.ie/brainstorm/2023/1013/1410628-plastic-production-bio-based-plastics-environmental-impact/.

plastik, emisi karbon