Pengamat Persaingan Usaha: KPPU Harus Mengawasi Standar pada Industri AMDK
Pengamat Persaingan Usaha dari Universitas Indonesia (UI), Tjahjanto Budisatrio, meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengawasi standar pada industri air minum dalam kemasan (AMDK), baik itu standar yang ditentukan oleh SNI maupun lembaga berwenang lainnya. “Misalnya, BPA (Bisfenol A) itu kan standar kesehatan yang sudah diminta oleh BPOM berdasarkan riset dan survei lapangan, sehingga KPPU harus mengawasi industri AMDK yang tidak memenuhi standar ini,” katanya dalam diskusi dengan FMCG Insights pada 8 November 2022.
Tjahjanto meminta KPPU tidak hanya memperhatikan praktik persaingan usaha yang berkaitan dengan penetapan harga, seperti predatory pricing, tapi juga standar-standar yang seharusnya diberlakukan dalam suatu industri. Standar kemasan AMDK bebas dari bahan kimia yang melebihi ambang batas, menurutnya, juga berkaitan dengan persaingan usaha. Produsen yang menggunakan galon guna ulang yang mengandung BPA bisa menjual produknya lebih murah daripada produk lain karena tak harus memproduksi galon baru. “Tapi sementara itu, risikonya adalah kesehatan masyarakat,” kata staf pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI itu.
BPA atau Bisfenol A adalah salah satu senyawa kimia pembentuk (monomer) plastik polikarbonat—jenis plastik yang kita kenal dengan karakternya yang keras dan kuat. Sebagian besar polikarbonat diproduksi untuk dijadikan kemasan wadah pangan olahan, baik makanan maupun minuman. Salah satunya adalah galon guna ulang untuk AMDK. Hampir 90 persen AMDK galon dibuat dari polikarbonat.
Dampak kesehatan BPA bagi tubuh manusia telah menjadi isu dalam banyak riset ilmiah. Ini karena BPA merupakan xenoestrogen, kelompok senyawa kimia yang meniru aktivitas estrogen di dalam tubuh sebagai pengganggu endokrin (endocrine-disrupting chemical) atau sistem hormonal. Estrogen sendiri adalah hormon yang berperan dalam perkembangan sistem reproduksi manusia. Alhasil, BPA kerap dikaitkan dengan gangguan sistem reproduksi (seperti kemandulan), kelainan pada janin, risiko penyakit kardiovaskular, dan bahkan kanker.
Hasil uji post-market terhadap migrasi BPA pada produk AMDK galon polikarbonat yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada 2021 menunjukkan bahwa TDI (tolerable daily intake—jumlah asupan senyawa kimia yang aman bagi manusia dalam jangka panjang) BPA di empat kabupaten dan kota ternyata telah melebihi angka 100 persen, atau melampaui ambang batas aman 4 mikogram per kilogram berat badan per hari. Hasil uji itu juga menunjukkan ada 3,4 persen sampel AMDK di sarana distribusi yang tingkat migrasi BPA-nya sudah melampaui 0,6 bpj (ambang batas aman migrasi BPA di Indonesia).
Berdasarkan hasil uji post-market itulah, BPOM merancang revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Dalam revisi tersebut, BPOM antara lain mengatur kewajiban produsen AMDK yang menggunakan galon plastik polikarbonat untuk mencantumkan label “Berpotensi Mengandung BPA”. Pada 2017, Menteri Kesehatan juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 62 Tahun 2017 yang mewajibkan botol susu bayi mencantumkan label “Bebas BPA”.
Hasil uji post-market BPOM terhadap migrasi BPA, menurut Tjahjanto, sudah menunjukkan adanya eksternalitas negatif yang bisa membahayakan konsumen. “Maka, di sinilah peran pemerintah untuk melakukan regulasi atas galon guna ulang,” katanya. “Dari yang paling sederhana dengan memberi label hingga mengenakan cukai bagi galon yang mengandung BPA tersebut.”
Lebih jauh, menurut BPOM, migrasi BPA ini sangat berkaitan dengan penggunaan berulang kemasan pangan. Potensi migrasi BPA makin besar jika galon digunakan ulang tanpa batas masa atau usia pakai sementara hingga kini belum ada ketentuan terkait batas usia pakai produk AMDK galon guna ulang berbahan polikarbonat.
Itulah mengapa Tjahjanto memandang persoalan BPA pada galon guna ulang polikarbonat memiliki persoalan eksternalitas negatif berupa dampak kesehatan sekaligus persaingan usaha tidak sehat karena produsen AMDK tertentu bisa terus menjual produknya tanpa harus sering memproduksi galon baru. “Di sini, KPPU semestinya bisa berperan mendukung kebijakan BPOM.”
Masalahnya, KPPU malah terkesan mendukung penolakan asosiasi produsen AMDK yang menolak revisi peraturan BPOM tersebut. KPPU bahkan terburu-buru menyuarakan dalih asosiasi produsen bahwa revisi peraturan itu bisa menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, padahal tidak pernah melakukan riset terkait hal itu.[]